Pendidikan yang Aman dan Setara untuk Semua

Muhamad Ikhwan Abdul Asyir
Manajer Program Al Wasath Institute, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Jayabaya dan Ketua DPD IMM Jawa Tengah bidang Hukum dan HAM
Konten dari Pengguna
11 Oktober 2023 16:38 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Ikhwan Abdul Asyir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pendidikan setara. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pendidikan setara. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hampir setiap orang tua tentu menginginkan anak-anaknya mendapatkan akses Pendidikan yang layak dan memadai, setiap orang tua bahkan rela memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah yang secara beban administratif tidak murah, di kota kota besar label semacam sekolah favorit adalah incaran bagi para calon siswa. Setiap orang tua tentu memiliki keinginan anaknya sekolah di tempat yang mampu mengembangkan betul segala potensi yang ada dalam diri setiap anak.
ADVERTISEMENT
Bahwa dengan lingkungan sekolah yang mendapati label favorit, sekolah ini dianggap akan bisa memberikan kesempatan yang lebih dibandingkan dengan sekolah lainnya. Setiap orang tua tentu sudah mestinya menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Kecuali karena keterbatasan keadaan atau posisi kelas ekonomi menengah ke bawah, menghendaki anaknya masuk dan berproses di sekolah yang bagus adalah hal yang semacam menjadi keharusan.
Alasannya bisa beragam, bisa jadi karena sekolah favorit ini memiliki banyak instrumen berupa sarana dan prasarana yang menunjang, ekosistem yang baik dalam membentuk karakter positif pada anak, masa depan cerah yang lebih mudah digapai, bekal jejaring sosial sampai persoalan gengsi atas atensi sosial. Masing-masing alasan ini memberikan orientasi atau perspektif yang berbeda pula, malah dalam hal yang lebih lanjut, alasan menempuh Pendidikan di sekolah kelas atas (anggapan karena merupakan sekolah favorit) memberikan pola pengasuhan pada anak itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Tak jarang pula malah, anak yang merasakan Pendidikan di sekolah favorit ini merasakan banyak kelebihan ketika dia menjalankan pendidikannya, namun di sisi lainnya, dia diberatkan oleh harapan dan ambisi orang tua yang mengharuskan dia menjadi sosok murid yang nyaris sempurna baik secara nilai akademik maupun moralitas.
Kenyataannya, hal yang demikian malah menjadikan anak terbebani, tuntutan dan ekspektasi besar malah semakin tugas tambahan yang tak pernah selesai oleh anak anak sekalian, prinsip bahwa anak harus belajar dengan serius dan memiliki capaian prestasi akademik yang terbaik yang hanya sebatas nilai tentu malah menjadi hal yang kurang konstruktif.
Padahal selain belajar, anak-anak di sekolah dasar lah paling tidak kan harus juga banyak menghabiskan waktunya dengan bermain. Sebab, mau tidak mau, tak dipungkiri dalam melangsungkan pembelajaran, hal yang tak boleh ketinggalan juga adalah bagaimana menjadikan Pendidikan itu menggembirakan. Bahwa dalam melakukan Pendidikan yang gembira, anak-anak akan bisa lebih aktif dan membangunkan kesan yang semakin positif.
ADVERTISEMENT

Akses Satuan Pendidikan Harus Merata

Menghadapi persoalan semacam label sekolah yang demikian, jawaban konkret tentu perlu kemudian dilakukan dengan langkah yang strategis, bahwa tujuan utama selain dalam penyelenggaraan Pendidikan, pemerataan akses dan kesempatan menjadi kunci yang perlu di akselerasi. Paradigma sekolah satu lebih baik dibandingkan sekolah lainnya tak boleh jadi subur di kalangan masyarakat kita.
Menjawab hal ini perlu langkah yang betul betul evaluatif terhadap satuan pendidikan kita, dalam mengenyam pendidikan tentu di mana saja pun bisa. Semuanya sama sama bisa menghantarkan peserta didik kita pada kesempatan yang luas menjangkau cita cita masa depannya. Pemerataan yang dimaksud adalah pada meratanya akses Pendidikan bagi siapa pun, meratanya kualitas dan kapasitas tenaga kependidikan, meratanya perkembangan sosial masyarakat yang merasakan Pendidikan sampai meratanya agenda akselerasi prestasi siswa.
ADVERTISEMENT
Hal ini kemudian dilakukan agar nantinya, antara satu siswa yang mendapati Pendidikan di lingkungan kota besar dan anak yang merasakan Pendidikan di daerah sama sama terfokus pada proses pembelajaran yang mendukung tumbuh kembang, kalau kemudian tidak bisa sama rata, paling tidak gap yang ada di antara keduanya tidak begitu kontras.
Semacam kesempatan mengeksplorasi dunia Pendidikan juga harus sama sama di rasakan, sebab sejauh inikan, yang jadi soal bahwa murid yang merasakan Pendidikan di kota besar cenderung lebih leluasa dibanding mereka yang di daerah. Ini perlu diurai, alokasi dana yang disesuaikan oleh kebutuhan adalah hal pasti yang perlu berjalan terus menerus. Masalah lain seperti pergaulan siswa di kota besar yang cenderung mengarah ke berbagai hal yang kurang positif, dibandingkan dengan anak-anak yang mengenyam di lingkungan sekolah di daerah yang memiliki karakter lebih positif perlu juga menjadi timbal balik.
ADVERTISEMENT
Pemerataan ini tentunya harus dimulainya oleh semua lintas pihak, baik pemerintah sebagai penanggung jawab utama melalui kebijakannya, satuan Pendidikan melalui pelaksanaannya, guru dan tenaga kependidikan sebagai aktor dan orang tua siswa sebagai pihak yang mengawal keseharian tumbuh kembang anak-anaknya. Perlu kemudian pendalaman lagi terhadap masing-masing peran serta segmentasi tugasnya agar nantinya mengenai pendidikan ini, langkah yang dilakukan semakin mengarah pada keterbaikannya.
Jangan ada kesan justru pihak ini paling bisa ambil peran sentral atas tugas penyelenggaraan ini, apalagi urusan Pendidikan ini merupakan amanah konstitusi yang bagian langsung tujuan negara, konsentrasi penuh terhadap perbaikan Pendidikan adalah idealisme yang perlu diwujudkan bersama.

Memutus Budaya Perundungan

Ilustrasi perundungan (dibully) atau bullying. Foto: Shutterstock
Yang tak kalah penting di lingkungan sekolah adalah hadirnya semacam kebiasaan perundungan yang hari hari ini semakin ramai, ini tentu begitu disayangkan,ya bagaimana tidak coba, lawong sekolah yang di gadang menjadi tempat produksi pengetahuan dan pengembangan pengetahuan, malah berubah menjadi ruang lapang yang bisa bebas mempraktikkan aktivitas berbau kekerasan.
ADVERTISEMENT
Aktivitas yang mengarah kekerasan yang berupa perundungan juga bentuknya bisa macam0macam, ada yang hanya sebatas verbal, sentimensi satu dengan lainnya sampai yang paling parah mengenai fisik tak jarang bisa ditemui. Yang jadi persoalan lanjutnya adalah dampaknya begitu berbahaya, beragam praktik negatif ini jika tak mampu di selesaikan mata rantainya, maka akan menghasilkan generasi bangsa yang minim budi luhur dan karakter yang buruk.
Korban perundungan tak jarang akan mengalami banyak hal buruk seperti turunnya kepercayaan diri dia dalam melakukan aktivitas sekolahnya, hal ini tentu akan berakibat pada turunnya tingkat pengembangan karakter sosialnya di masa pendidikan . Selain itu, akibat hal buruk yang ia alami, lebih parah malah bisa berdampak pada ketakutannya dia ke sekolah.
ADVERTISEMENT
Tentu ini akan sangat berbahaya jika dibiarkan begitu saja, sekolah yang harusnya memberikan kesan baik malah jadi momok bagi peserta didiknya. Dengan dampaknya yang demikian, maka menurunnya kualitas dan prestasi pendidikannya adalah hal yang akhirnya terjadi. Pendidikan yang mulanya memiliki tujuan utama yang mulia malah berubah menjadi salah satu elemen perusak sumber daya manusia kita.
Yang tak kalah mengerikan adalah, mengenai keberlanjutan kasusnya, bahwa mereka yang menjadi korban bisa jadi malah menjadi pelaku di masa setelahnya, pengalaman pahit yang ia alami akibat kelemahan yang ia miliki akan membuka celah keinginan balas dendam yang kemudian terlampiaskan melalui cara yang sama ia lakukan namun pada pihak yang lebih lemah lagi dari dia. Ini kan semacam budaya yang harusnya tidak boleh ada di lingkungan sekolah, tapi menjadi rahasia umum juga bahwa hal demikian memang kerap terjadi.
ADVERTISEMENT
Tak jarang pula malah yang ia lakukan bisa jadi malah lebih parah dibandingkan dengan yang ia alami, sekali lagi latar belakang semacam keinginan balas dendam adalah hal yang ia coba gapai. Selain itu, motif lain seperti keinginan diakui sebagai pihak yang lebih kuat dengan melakukan perundungan bisa jadi faktor yang mendasari, secara tidak langsung apa yang ia alami sebagai korban menanamkan benih bahwa jika ia ingin menjadi lebih baik, kuat atau diakui ya ia juga bisa mencontoh hal yang sama.
Barangkali kasus yang dampaknya besar ini memang bukan pada sekolah kelas dasar, tapi pada kelas menengah, cerita semacam ini malah menjadi kenangan yang sulit dilupakan.
Budaya negatif harus kemudian mulai diputus dengan langkah yang nyata. Misalnya seperti pengadaan sanksi yang memberikan rasa jera pada para pelaku dan sosialisasi betapa bahayanya budaya perundungan ini adalah hal yang perlu digelorakan. Bagi pihak utama semacam pemerintah, pengadaan aturan yang mengatur seputar pencegahan dan penanganan kekerasan yang terjadi di sekolah ataupun satuan Pendidikan lain adalah hal pokok.
ADVERTISEMENT
Penerapannya juga harus penuh dengan efektivitas dan tepat sasaran, jangan hanya menggema tapi jauh dari dampak. Dalam aturan yang ada juga perlu kemudian keterangan bahwa setiap pihak memiliki tugasnya yang merinci, baik bagi pemerintah itu sendiri, pihak sekolah maupun tenaga kependidikan. Dengan adanya aturan yang mengatur, maka menjawab persoalan yang ada bisa dilakukan dengan sistematis, yaa walaupun kembali lagi semuanya tergantung pada pengawalan implementasinya oleh masing-masing pihak, ya termasuk kita.
Semoga saja, setiap sekolah maupun lembaga pendidikan kita mampu ] berjalan dengan baik, baik berupa pemerataanya dalam pembangunannya, baik berupa kualitasnya, baik berupa budayanya, baik berupa peluang aksesnya pada kesempatan meraih gapaian harapan dan cita cita masa depan. Semoga sekolah dan maupun satuan pendidikan kita mampu menjadi semata-mata ruang belajar yang menumbuhkan segala potensi tumbuh kembang generasi penerus kita. Semoga saja kasus kekerasan yang ada akan semakin hilang. Aamin
ADVERTISEMENT
Ihdinas shirotol mustaqim, Wassalam.