Konten dari Pengguna

Truth Claim dan Implikasinya di Kehidupan Kita

Muhamad Ikhwan Abdul Asyir
Manajer Program Al Wasath Institute
7 Februari 2022 14:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Ikhwan Abdul Asyir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
penulis merupakan lulusan IAIN Purwokerto (sekaran UIN Saizu), sumber : dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
penulis merupakan lulusan IAIN Purwokerto (sekaran UIN Saizu), sumber : dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya dewasa ini, perkembangan keilmuan dan keagamaan selalu mampu bertumbuh masif berdampingan dengan perkembangan peradaban manusia yang juga semakin pesat. Munculnya para cendekiawan pemikir ulung melalui produk pemikirannya dan ditandai kemajuan instansi lembaga pendidikan maupun penelitian adalah hal yang mampu terlihat dengan nyata, termasuk di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setiap pemahaman atas nilai dan ajaran agama yang dianut oleh masyarakat semakin menyebar luas, berdampingan dengan pesatnya kemajuan zaman juga teknologinya. Agama selalu eksis dan semacam menjadi trend tersendiri di kehidupan masyarakat Indonesia. Pemanfaatan media teknologi dalam menyebarluaskan ajaran agama tentu menjadi salah satu hal yang dilakukan, selain itu, kontekstualisasi ajaran agama dalam memecahkan dinamika sosial juga menjadi spirit yang membangun perdaban beragama kita.
Bukan hanya sampai disitu, tidak jarang justru semangat semacam ini menjadikan hadirnya rasa sentimentil antar umat beragama, kenyataan yang hadir di lapangan dalam kehidupan masyarakat menyajikan fenomena seperti konflik antar umat beragama, bisa jadi sesama agama atau bahkan lintas agama, yang lebih mengerikan lagi adalah praktik-praktik intoleransi dan dehumanisasi yang dilakukan kelompok agama satu pada kelompok lainnya justru cerminan kehidupan yang jauh akan nuasa damai dan harmoni.
ADVERTISEMENT
Apakah agama kemudian menjadi pemicu konflik yang ada? tentu jika demikian koridor agama yang hadir guna mengatur tatanan kehidupan manusia menjadi lebih baik akan berbalik dengan kenyataan yang ada. Apakah kemudian semangat beragama yang muncul di dalam masyarakat yang majemuk menjadi alasan untuk berkonflik? maka jika demikian, agama yang membawa misi harmonisasi kehidupan manusia justru memberi ruang legitimasi untuk berlaku di luar prikemanusiaan.
Truth Claim di Tengah Pluraritas
Dalam fenomena beragama yang semacam itu, truth claim atau klaim kebenaran yang sepihak inilah yang menjadi akar masalahnya, setiap pemeluk agama tertentu yang menganggap bahwa pemahamannya atas agamalah yang paling benar, sedangkan paham yang lain itu pasti salah, bahkan dilingkup yang lebih spesifik dalam beragama Islam, pemahaman kelompok tertentu atas ajaran Islam yang dianggap paling benar dan menganggap pemahaman kelompok lain adalah salah bahkan kafir menjadi hal yang mudah dilakukan.
ADVERTISEMENT
Kehidupan beragama di tengah masyarakat majemuk memberi tantangan bagaimana agama mampu mendefinisikan diri di tengah masyarakat majemuk atau plural bersandingan dengan agama lain, truth claim sebagai doktrin agama adalah pemicu konflik antar umat beragama. Kurangnya pemahaman dan kesadaran pemeluk agama untuk memiliki sikap penghormatan pada kelompok lain atau umat beragama lain, serta ketidakmampuan memahami makna pluralitas yang hadir juga jadi musabab disharmoni dan disintegrasi antar umat / kelompok beragama.
Pada dasarnya, semangat beragama dan fanatisme agama yang dianut itu merupakan hal yang wajar, namun dalam kehidupan yang majemuk semacam di Indonesia ini, fanatisme buta tanpa diimbangi dengan rasa toleransi, penghargaan, dan penghormatan terhadap agama lain itulah yang memacu konflik antar umat, pemecah belah umat, serta praktik yang jauh dari esensi agama yang erat dengan kedamaian hidup berdampingan.
ADVERTISEMENT
Mudahnya munculnya konflik yang bernuansa agama ini juga disebabkan oleh hadrinya doktrin-doktrin keagamaan dan pemahaman nilai agama dari kitab suci tanpa dilandasi oleh sikap arif dan penuh kebijaksanaan. Ajaran agama justru didefinisikan secara skriptualis belaka dan menjadikan kelompok ekstrimis muncul. Nilai agama yang disebarluaskan membawa nuasa ekstrimis dan radikal, respon yang berlebihan terhadap kelompok-kelompok yang nantinya berseberangan secara keyakinan menjadi alasan yang melegitimasi praktik yang dehumanisasi sekalipun.
Yang lebih memprihatinkan lagi dalam kegiatan truth claim semacam ini adalah adanya oknum yang menggunakan dalam kegiatan praktis belaka, kepentingan politik misalnya. Sentimen agama yang dibangun di tengah masyarakat majemuk seolah memiliki hidden agenda (agenda terselubung) demi mencapai tujuan tertentu baik pribadi maupun kelompoknya guna mencapai target pragmatis belaka. Dalam praktik yang semacam ini, ada pihak yang dengan sengaja menjadikan sentimen keagamaan antar umat menjadi komoditas yang dieksploitasi dan dimanfaatkan sesuai tujuan mereka, sentimen yang ada bahkan kadangkala dipelihara guna memenuhi hasrat pragmatisnya, sungguh praktik mencoreng kesucian ajaran agama.
ADVERTISEMENT
Implikasinya di Kehidupan
Dilain pemahaman, dalam konteks efektivitas agama dalam menciptakan sentimen pengikutnya, Ali Asghar Engineer menegaskan bahwa pada prinsipnya, tidak ada kaitan antara agama dan kekerasan. Kekerasan yang ada tidak lebih merupakan fenomena politik dan sosial yang kemudian oleh para aktornya dimainkan dan dijustifikasi keranah teologis. Ini bisa jadi dikarenakan sebagai upaya menarik simpati dan empati sebanyak mungkin kepada publik Agara seolah-olah yang mereka lakukan adalah kebenaran dalam beragama.
Metode pemahaman yang tekstualis-skriptualis dianggap final dan tidak perlu ikut serta dalam perkembangan pemikiran lain yang lebih modern atau kekinian. Padahal produk pemahaman atau pemikiran tertentu harusnya adalah produk yang terikat dalam dimensi ruang juga waktu, Hasil pemikiran selalu bersikap kondisional dan situasional terhadap problematika kehidupan yang ada.
ADVERTISEMENT
Berbagai kemungkinan mengenai ide baru, konsep baru, fakta baru yang muncul di kehidupan tentu senantiasa membuka peluang terjadinya pergeseran paradigma pemikiran (shifting paradigm). Hal semacam ini dalam dunia pemikiran agama maupun keilmuan adalah hal lumrah yang terjadi, karena sejalan dengan interioritas dan eksterioritas sosial, kultur, politik, dan keagamaan selalu dinamis.
Truth claim pemikiran adalah ketidakmampuan menerima pergeseran semacam ini, karenanya pula truth claim menolak pergerakan cara atau metode produksinya. Truth claim hanya mampu melahirkan dogmatisme pemikiran yang kaku dan keras yang berakhir pada segmentasi penghakiman. Lebih lagi, peniadaan kelompok lain yang berlainan pemahaman melalui pemanfaatan kekuasaan bisa jadi seringkali dilakukan tanpa berbelas kasih.
Setiap produk pemahaman atau pemikiran tentang agama selalu memiliki klaim kebenaran/ truth claim dan nilai kebenaran/ truth values yang disandarkan pada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Hal ini jika dilihat dari segi teologis, klaim kebenaran secara absolut oleh pemeluknya. Akan tetapi hal ini akan berbeda jika dijabarkan dalam paradigma sosiologis, dimana klaim kebenaran akan berubah menjadi simbol agama yang subjektif, personal, dan distingtif bagi pemeluknya. Pada tahap inilah klaim kebenaran tidak lagi utuh dan absolut, maka inilah yang dinamakan pluralitas.
ADVERTISEMENT
Semoga kebaikan menyertai kita semua
Oleh : Muhamad Ikhwan Abdul Ayir, Manajer Program Al Wasath Institute