Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Agama dan Politik
23 Mei 2017 11:44 WIB
Diperbarui 4 Mei 2020 9:31 WIB
Tulisan dari Ikhwan Arif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tolong pisahkan antara agama dan politik. Kalimat ini sering terdengar di ruang publik. Agama dan politik tidak bisa dipisahkan, harus ada perbedaan posisi dan benang merah antara keduanya. Menurut Willian O’Donal dia mengatakan all is about politic, maksudnya segala sesuatu terkait politik.
ADVERTISEMENT
Pada kondisi saat ini ada kerawanan yang mengkhawatirkan dalam dinamika politik demokrasi Indonesia, yakni ketika agama dikonsumsi dalam praktik politik tanah air atau yang sering disebut politisasi agama. Politisasi agama semakin sering digumbar ketika kondisi sistem politik mulai digoncang oleh isu-isu yang berbau SARA.
Banyaknya tuntutan dan gejolak politik pada kondisi transisi demokrasi Indonesia saat ini, bagaikan telur di ujung tanduk. Kekhawatiran ini muncul ketika adanya aksi dan demonstrasi, serta isu-isu yang berbau SARA serta lain seba¬gainya kerap mempengaruhi perilaku politik masyarakat.
Dalam konteks ini, agama kerap sekali menjadi satu-satunya senjata dominan yang bisa memobilisasi pilihan politik masyarakat.
Agama digunakan untuk menangguk dukungan suara pada kontestasi politik. Hal ini seiring dengan segmen pemilih yang berdasarkan agama menjadi perilaku politik dan memilih masyarakat, serta ketidakpercayaan terhadap kondisi sistem politik terutama partai politik.
ADVERTISEMENT
Para kader akar rumput dan petinggi partai politik rata-rata tidak laku dalam pilihan masyarkat. Terbukti dalam bebe¬rapa kali kontestasi politik, partai politik kocar-kacir me¬ncari calon bukan dari kader partai politik itu sendiri, hanya demi meraih kemenangan.
Bahkan ketika agama dijadikan senjata politik dalam keadaan mendesak. Hal ini menggambarkan bahwa tendensi politik yang mengkhawatirkan belakangan ini. Ketika kita melihat agama sering dilakukan dalam kampanye secara tidak langsung, misal mengadakan kegiatan keagamaan menjelang pilkada, saling mencela kepercayaan agama lain, rutin mengunjungi rumah ibadah, menggelar pengajian dan sebagainya.
Ironisnya, ketika pilkada usai, semuanya sunyi dan senyap serta hilang begitu saja.
Kondisi ini dipertajam ketika secara terang-terangan kandidat lawan diserang dengan simbol-simbol agama. Perbedaan agama dieskploitasi sedemikian hebat dan mengutip ayat-ayat kitab suci untuk meraih dukungan konstituen selama kampanye.
ADVERTISEMENT
Dalam momen ini, tidak heran para petarung pilkda mendadak religius, alim dan penuh dengan simbol keagamaan. Tentunya hal ini sudah menjadi sorotan umum dalam konteks demokrasi Indonesia saat ini.
Pada kondisi ini, jika masyarakat tidak berfikir rasional dan tidak mengedepankan prinsip-prinsip kebhinekaan, maka berpotensi merusak keberagaman Indonesia. Tentunya ini akan menimbulkan isu SARA yang berkelanjutan hingga dalam kontestasi pilkada dan pilpres. Kondisi semakin sensitif, hal ini harus dihentikan oleh semua elemen masyarkat.
Benang Merah Agama dan Politik
Keberagaman Indonesia adalah anugerah Tuhan. Terutama negara yang patuh kepada Tuhan sebagai wujud masyarakat yang beragama. Pada sila pertama dalam pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Keberagaman agama diakui dan dijamin oleh negara. Hal ini sebagai manifestasi bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius, mengakui nilai dan norma agama serta Ke-Tuhanan. Agama sebagai sendi tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Seluruh sendi kehidupan lain dipandang subordinat, termasuk politik. Artinya, Agama dan politik bagi masyarakat Indonesia adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan. Memisahkan agama dan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara jelas bertentangan dengan Pancasila.
Namun, mencampur aduk dan salah penempatan antara kepenti¬ngan politik dalam kepentingan agama juga sungguh amat berbahaya.
Jika agama dan politik tidak bisa dipisahkan, harus dibedakan posisi dan benang merah antara agama dan politik, jangan sampai agama dipolitisasi dalam kontestasi politik dengan jargon-jargon yang dapat merusak kerukunan hidup umat beragama.
Sebenarnya di dalam ajaran agama manapun, agama menjadi suatu kajian yang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Maksudnya, nilai-nilai yang ada pada suatu ajaran agama diinput ke dalam sistem politik sebagai salah satu mekanisme, cara dan sistem sosial manusia untuk menciptakan ketentraman, kebaikan ber¬sama dalam menciptakan integrasi.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada kondisi saat ini yang relatif dominan terjadi adalah agama sebagai alat dan senjata politik. Gejolak sosial dan aksi-aksi yang mengatasnamakan agama sangat dominan terjadi terutama pada saat proses pilkada DKI Jakarta, tidak lain adalah politisasi agama demi kepentingan pilkada (politik).
Kondisi ini, orientasinya jelas dipolitisasi untuk pencapaian kepentingan kontestasi politik. Jika ini terus berlanjut hingga pilkada 2018 dan pilpres 2019 tentu akan menimbulkan disintegrasi bangsa.
Benang merah antara agama dan politik ini harus dipahami secara utuh dan jernih oleh seluruh unsur masyarakat. Bagi masyarakat umum, harus kritis memilah dan memilih dalam konteks berdemokrasi, agama sebagai kepercayaan atau agama sebagai senjata politik dalam proses politik.
Pada prinsipnya masyarakat harus cerdas dalam membedakan apakah nilai-nilai agama betul-betul untuk menyuarakan kepentingan umat dan bangsa bukan dipolitisir oleh aksi-aksi yang menyuarakan kepentingan agama dan politik.
ADVERTISEMENT
Karena aks ini bertitik tolak pada ajaran suatu agama yang kemudian diisi oleh muatan politik. Bisa juga sebaliknya muatan politik terlebih dahulu baru dijustifikasi oleh agama yang bersumber pada ajaran-ajaran hadis, sunnah, ayat-ayat suci dan nilai-nilai agama.
Pada prinsipnya semua itu benar bahwa politik tidak lepas dari agama, sebaiknya ayat-ayat suci dan nilai-nilai agama digunakan untuk menciptakan kehidupan yang rukun dan damai bukan hanya dalam konteks pesta demokrasi.
Sebab, demokrasi tidak membenarkan dimana kebebasan dalam beragama dipolitisasi untuk kepentingan politik jangka pendek suatu kelompok. Kita harus berfikir efek jangka panjang dari peggunaan simbol-simbol dalam agama untuk proses-proses agregasi kepentingan politik. (Penulis adalah Direktur Indonesia Political Power)