Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Lewat Buku Berkualitas, Mari Majukan Peradaban Literasi
27 Agustus 2023 5:58 WIB
Tulisan dari Al Iklas Kurnia salam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada terlalu banyak buku berkualitas rata-rata yang hadir hanya untuk menghibur pikiranmu. Oleh karenanya, bacalah hanya buku-buku yang tanpa ragu dianggap berkualitas (Lucius Annaeus Seneca-Filsuf).
ADVERTISEMENT
Kata-kata Seneca, filsuf besar Yunani tersebut adalah pengingat penting bagi semua pihak untuk segera menghadirkan buku-buku bermutu di Indonesia. Buku-buku bermutu itu bisa dilahirkan dari buah pemikiran para penulis Indonesia atau minimal dari hasil penerjemahan buku-buku berkualitas di seluruh dunia.
Proyek pengadaan buku bermutu tinggi ini sangat penting mengingat semangat Kurikulum Merdeka dan program Merdeka Belajar yang digagas Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Mendikbudristek) Nadiem Makarim sangat mengedepankan kreativitas, independensi, dan kemandirian belajar. Ketiga hal tersebut hanya bisa tercapai bila disokong buku-buku berkualitas.
Ambisi dan gairah dalam memberi pasokan buku-buku bermutu tinggi untuk masyarakat umum maupun masyarakat terpelajar di sekolah sudah ada sejak zaman kolonial. Pada era kolonial, pemerintah Hindia Belanda sengaja mendirikan Balai Pustaka untuk memenuhi kebutuhan literasi masyarakat pribumi. Lembaga yang didirikan pada 14 September 1908 ini awalnya bernama Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat.
ADVERTISEMENT
Tugas Balai Pustaka bukan hanya memberi masyarakat bacaan bermutu dengan menerbitkan buku, majalah, dan koran tapi juga memastikan masyarakat, khususnya masyarakat akademik dari kaum priyayi, bisa mengakses dan membaca buku-buku tersebut.
Tugas tambahan ini diwujudkan dengan mendirikan taman bacaan rakyat. Tercatat sebelum Indonesia merdeka Balai Pustaka mampu mendirikan sekitar 2800 taman bacaan rakyat di penjuru negeri.
Ambisi dan strategi klasik era kolonial ini bisa ditiru dan dimodifikasi hari ini. Mendikbudristek bisa membuat rancangan dan target publikasi buku yang secara kuantitas lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, proyek-proyek penelitian berkelanjutan juga bisa direncanakan dalam skala yang lebih panjang agar kualitas buku-buku yang muncul bisa terus diperbaiki.
Bayangkan, bila peneliti-peneliti lokal bisa saling berkorespondensi dan bekerja sama dengan peneliti asing untuk menciptakan maupun mengoreksi teori yang ada secara masif. Tentu kualitas buku dan literasi Indonesia bisa sangat meningkat pesat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, fasilitas percetakaan yang lebih canggih dan akses referensi lebih luas dari era kolonial membuat tuntutan untuk menghasilkan buku-buku berkualitas tinggi bukan lagi jadi persoalan. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah memberi dorongan finansial yang cukup menggiurkan agar para penulis lebih termotivasi untuk melakukan riset dan mempublikasikan karya-karya mereka.
Regulasi pun perlu diatur agar kekayaan intelektual para penulis bisa terjamin. Jangan sampai kreativitas penulis tercekal karena tidak ada perlindungan yang cukup memadai untuk melindungi karya-karya intelektual mereka.
Penindakan pada pelanggar hukum yang telah melakukan plagiasi dan pembajakan karya juga harus tegas. Dengan begitu para penulis bisa fokus berkarya untuk menghasilkan buku-buku bermutu.
Kolaborasi Semua Pihak
Secara garis besar Kemendigbudristek di bawah komando Nadiem Makarim merupakan penanggung jawab utama bagi kehadiran buku-buku serta riset-riset bermutu di Indonesia. Masyarakat akademik mutakhir seperti sekolah, perguruan tinggi, komunitas guru dan dosen, serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bisa dijadikan ujung tombak bagi terwujudnya mimpi lahirnya masyarakat literasi berbasis buku-buku berkualitas.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, cita-cita mulia ini tidak boleh dibebankan hanya pada Nadiem dan Kemendikbudristek. Semua pihak yang ingin memajukan bangsa Indonesia lewat literasi harus ikut bergerak dan memberikan sumbangsih yang sesuai dengan perannya masing-masing. Saya bisa membayangkan suasana kota Baghdad pada era puncak kekhalifahan Abbasiah. Seluruh penjuru kota dipenuhi buku-buku berkualitas dari penjuru dunia.
Kegiatan pengajaran terlihat di semua sudut kota. Pedagang buku berjajar rapi dan toko mereka tak pernah sepi. Ilmuwan dan pelajar datang dari penjuru dunia. Berkumpul untuk memperluas wawasan dan keilmuan. Para penulis dan penerjemah membuka majelis ilmu untuk memajukan peradaban literasi.
Lalu bayangkan bila semua itu terjadi di negeri ini. Semua orang tergerak buat berkolaborasi memajukan bangsa Indonesia lewat literasi. Para penulis sibuk berdebat dan membuat penelitian untuk menghasilkan buku-buku bermutu. Buku-buku berkualitas itu bukan hanya dibeli oleh individu-individu yang sedang belajar tapi juga dibeli oleh instansi dan semua lembaga yang berkepentingan.
ADVERTISEMENT
Perpustakaan bukan hanya hadir di sekolah-sekolah. Perpustakaan juga dibuka di masjid dan semua rumah ibadah. Kantor-kantor pemerintahan pun membuka pojok baca di tempat kerja mereka. Tak ketinggalan, pos-pos polisi yang selama ini sepi literasi disulap menjadi perpustakaan mini yang memberikan fasilitas buku-buku terkait regulasi dan sejarah kebangsaan. Tentu geliat literasi lewat pembuatan dan distribusi buku berkualitas semakin semarak.
Akhirnya, sebagai seorang guru saya berharap kurikulum merdeka dan program merdeka belajar bisa dilanjutkan oleh Kemendikbudristek era kepemimpinan yang akan datang. Selain itu, Kemendikbudristek juga bisa terus mendorong semua pihak agar berkolaborasi dalam memajukan peradaban literasi.
Hingga mimpi menjadikan bangsa Indonesia beradab, berdaulat, dan sejahtera bisa tercapai lewat hadirnya buku-buku berkualitas tinggi dan peradaban literasi. Begitulah.
ADVERTISEMENT