Konten dari Pengguna

Strategi Ciptakan Sekolah Bebas Kekerasan

Al Iklas Kurnia salam
Penyuka buku dan film. Guru di SMA Plus Cordova
29 Oktober 2023 14:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Al Iklas Kurnia salam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bullying di Korea Selatan. Foto: CGN089/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bullying di Korea Selatan. Foto: CGN089/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Maraknya kasus kekerasan di sekolah adalah tragedi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada sebanyak 2.355 kasus laporan kekerasan anak dari Januari hingga Agustus tahun 2023 dan 723 kasus kekerasan di antaranya berhubungan dengan satuan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, banyaknya data kekerasan di sekolah relatif lebih kecil dari kenyataan yang ada. Sebab, masyarakat Indonesia cenderung lebih suka menutup-nutupi kasus kekerasan yang terjadi alih-alih melaporkannya apalagi menuntut balik pelaku kekerasan.
Dalih pembiaran kekerasan di sekolah itu beragam. Ada yang bungkam demi menjaga ketertiban dan kestabilan lingkungan belajar. Dalih ini dilakukan bagi mereka yang tidak suka berkonflik.
Ada juga yang dipaksa tutup mulut untuk menjaga nama baik sekolah atau pihak-pihak yang terlibat dalam bullying. Dalih ini biasanya melibatkan ketimpangan sosial antara pelaku dan korban kekerasan. Korban biasanya orang miskin sehingga bisa ditekan untuk menutup kasus yang menimpa mereka.
Namun apapun dalihnya, kasus kekerasan di dunia pendidikan yang tidak ditangani secara serius pasti akan berdampak buruk. Orang-orang yang dipaksa diam dengan kasus kekerasan akan cenderung mengalami mental illness atau gangguan mental.
ADVERTISEMENT
Bagi si tukang bullying, perilaku mereka akan semakin agresif. Mereka akan mudah menganggap remeh orang lain. Bila terus didiamkan, perilaku ini bisa mengarah pada gejala psikopat, sebuah gejala gangguan kepribadian yang cenderung suka melanggar norma sosial, manipulatif, tidak memiliki empati, dan penyesalan.
Sedangkan bagi korban maupun saksi, trauma dan ketakutan berkepanjangan sulit dihindari. Mereka akan tertekan sehingga memunculkan rasa pesimis dan putus asa. Akibatnya akan ada kecenderungan menutup diri, defensif, dan permisif terhadap kekerasan. Jika sudah seperti ini subkultur kekerasan dalam dunia pendidikan pasti terbentuk.
Dibutuhkan keseriusan dan ketegasan semua pihak untuk terlibat dalam upaya penghentian tindak kekerasan. Bukan hanya guru dan siswa, juga para orang tua dan tokoh masyarakat yang peduli dengan pendidikan.
ADVERTISEMENT

Dimulai dari Rumah

Ilustrasi anak broken home. Foto: Tinnakorn jorruang/Shutterstock
James Gilligan, dalam esai berjudul Violence as Tragedy (1996) menjelaskan semua jenis kekerasan dimulai dari rumah. Baginya, penggunaan kekerasan sebagai alat penyelesaikan konflik antar pribadi, kelompok, bahkan suatu bangsa merupakan strategi yang pertama kali dipelajari di rumah. Dari rumahlah seseorang belajar cara-cara penggunaan kekerasan sebagai solusi dari masalah.
Dengan demikian ada relasi yang menghubungkan kekerasan di sekolah dan kehidupan pribadi seseorang. Kekerasan yang terjadi di sekolah tidak bersifat independen sehingga harus dihubungkan dengan situasi seseorang ketika berada di rumah. Bagaimana relasi antara anak dan orang tua. Bagaimana pula pola asuh peserta didik selama di rumah.
Bila seorang anak tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang tua maka mereka akan cenderung lebih mudah stres, marah, dan sakit hati. Akibatnya mereka akan lebih mudah terjerumus pada perilaku brutal yang mengarah pada kekerasan.
ADVERTISEMENT
Selain itu pola asuh yang didasarkan pada ancaman dan intimidasi juga akan mengarahkan anak pada perilaku arogan yang suka mengancam dan menggertak. Dari sinilah perilaku bullying di sekolah bermula.
Ancaman-ancaman kecil seperti, habiskan makanmu bila tidak ayam kamu mati; atau jangan nangis nanti ada orang yang menculik kamu; merupakan contoh pola didikan yang didasarkan pada ancaman. Pola-pola ini kurang baik bagi pertumbuhan anak dan bisa menjadi bibit dari perilaku kekerasan.
Oleh sebab itu, ada baiknya para orang tua juga memperdalam ilmu parenting agar bisa menjadi teladan bagi anak. Harapannya anak bisa berkembang dengan wajar dan normal sehingga tidak lagi terlibat pada tindak kekerasan.

Jenis-Jenis Kekerasan

Ilustrasi kekerasan di lingkungan pendidikan. Foto: Shutterstock
Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler dalam esai berjudul Kekerasan (1982) menjelaskan secara rinci bentuk-bentuk kekerasan yang biasa terjadi di masyarakat. Ia menyebutkan serangan dengan memukul, pembunuhan, pemerkosaan, dan bahkan bunuh diri sebagai bagian dari bentuk-bentuk kekerasan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, wacana kekerasan di sekolah sering direduksi hanya sebatas pemukulan dan bullying. Padahal pencabulan, perkosaan, pembunuhan, dan bunuh diri juga termasuk tindak kekerasan dalam dunia pendidikan. Selain itu, kekeranan verbal yang melukai harga diri juga harus dimasukkan dalam konteks kekerasan agar lingkungan sekolah benar-benar bisa bebas dari segala bentuk kekerasan.
Pemahaman tentang beragam kekerasan ini penting agar semua pihak bisa menyadari bahaya yang terkandung dalam tindak kekerasan. Selain itu, pemahaman akan jenis-jenis kekerasan juga bisa membuat kita bisa menyiapkan treatment berbeda pada berbagai jenis kekerasan yang terjadi.
Akhirnya, upaya pemerintah dengan membuat aturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan (PPKSP) dalam Permendikbud nomor 46 tahun 2023 harus kita dukung.
ADVERTISEMENT
Kita bisa berkolaborasi dengan menjadi duta anti kekerasan sekolah. Kita juga bisa berperan dengan jalan cara memberikan edukasi tentang bahaya kekerasan di sekolah. Dengan begitu kita bisa selangkah lebih maju dalam proses penciptaan sekolah tanpa kekerasan. Begitu.