Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Khitan bagi Muallaf: Mencakup Hukum dan Manfaatnya
16 Oktober 2021 14:54 WIB
Diperbarui 14 November 2021 12:36 WIB
Tulisan dari Ikrimah Adawiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam Islam tentu kita sudah sering mendengar istilah khitan atau dalam istilah jawa disebut sunatan, dalam ilmu kedokteran disebut circumcisio. Khitan merupakan proses pelepasan kulup atau kulit yang menutupi bagian kepala penis, dengan artian khitan ini hanya dilakukan oleh laki-laki. Khitan bisa dipandang dari dua perspektif, budaya dan agama. Tradisi khitan sampai saat ini masih berlangsung dalam berbagai kebudayaan. Khitan kerap kali dipandang sebagai peristiwa yang sakral, ini tidak terlepas dari asal-usulnya yang memang mengindikasikan nilai kebudayaan didalamnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Imam Hajar Al-Asqolani waktu wajib untuk berkhitan adalah ketika anak laki-laki sudah memasuki usia baligh, sedangkan waktu mustahab atau waktu sunnah untuk berkhitan adalah ketika anak laki-laki belum baligh. Di Indonesia khitan lazim dilakukan saat anak laki-laki berusia 6-10 tahun atau sedang menduduki bangku Sekolah Dasar, namun ada juga beberapa daerah di Indonesia yang melaksanakan tradisi khitan saat anak laki-laki masih bayi. Dokter spesialis bedah saraf, Dr.Mahdian Nur Nasution mengatakan bahwa lebih baik seorang anak dikhitan saat usianya kurang dari 40 hari, “Lebih cepat lebih baik di bawah 40 hari. Manusia sejak bayi hingga dewasa masa tumbuh kembang paling baiknya adalah saat bayi. Waktu-waktu pertumbuhan selnya cepat di usia bayi.” ujarnya saat ditemui dikawasan Matraman, Jakarta Timur, Selasa (18/6/2019), ia juga mengatakan bahwa proses regenerasi akan lebih cepat terjadi pada usia bayi dibandingkan usia remaja dan dewasa, hal ini menyebabkan proses penyembuhan di usia bayi itu lebih cepat.
ADVERTISEMENT
Dalam literatur klasik banyak ditemukan bahwa ummat terdahulu telah melakukan khitan. Dalam Injil Barnabas, dikemukakan bahwa Nabi Adam adalah orang yang pertama dikhitan. Khitannya ini dilakukan sebagai bentuk pertaubatan setelah ia memakan buah Khuldi. Namun keturunannya meninggalkan praktek ini, hingga Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk melakukan khitan. Pada dasarnya khitan ini bukan hanya tradisi untuk ummat muslim tetapi juga untuk ummat kristiani. Hal ini dikarenakan adanya bentuk pengakuan sebagai ummat Nabi Ibrahim, maka diadakanlah korelasi dengan Nabi Ibrahim baik dalam Islam maupun Kristen. Alkitab, sebagai pedoman ummat kristiani juga memaparkan bahwa hukum berkhitan itu wajib. Seiring berjalannya waktu banyak ummat kristiani yang ingkar terhadap tradisi khitan, mereka membuat bermacam dalih agar bisa terbebas dari tradisi khitan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Islam memandang bahwa berkhitan merupakan salah satu bentuk penghambaan dan ketaatan kepada Allah SWT seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Khitan juga kerap kali dimaknai sebagai pengislaman, sehingga jikalau ada laki-laki non muslim yang masuk Islam itu harus dikhitan, jikalau memang ia belum pernah dikhitan.
Setiap muslim tentu berkewajiban untuk melaksanakan syariah Islam, mulai dari yang sunnah sampai yang fardhu, termasuk pula kewajiban untuk berkhitan. Ketentuan ini juga berlaku untuk muallaf, menurut Sayyid Sabiq seorang ulama Fiqh kontemporer muallaf adalah orang yang hatinya perlu dilunakkan untuk memeluk Islam. Tentu dapat kita pahami bahwa muallaf adalah seseorang yang baru masuk Islam, bukan seorang muslim sejak lahir.
Berkaitan dengan khitan, dapat dipastikan bahwa seorang laki-laki muallaf wajib hukumnya untuk berkhitan sekalipun muallaf ini sudah dewasa. Para ulama berpendapat jika laki-laki muallaf merasa takut untuk melaksanakan khitan, maka boleh ditunda terlebih dahulu karena khitan bukanlah syarat sah untuk masuk Islam. Walau demikian alangkah lebih baik jika para lelaki muallaf melaksanakan khitan, karena dengan berkhitan banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh, seperti mengurangi risiko infeksi penyakit seksual menular, mengurangi risiko infeksi saluran kemih yang dapat merujuk kepada masalah ginjal, mengurangi risiko kanker penis, membuat kesehatan penis dapat terjaga, dan masih banyak lagi yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Gunawan (2016) menuturkan, bahwa para ahli modern mendapat berbagai hasil penelitian ilmiah mengenai bermacam-macam penyakit organ seks yang diderita oleh orang-orang yang tidak dikhitan. Prof Wezwill menyatakan dalam artikelnya bahwa pada mulanya ia adalah orang yang sangat menentang praktik khitan, bahkan ia mengampanyekan agar praktik khitan tidak dilaksanakan. Namun pada tahun delapan puluhan ia mendapati hasil penelitian medis yang mengungkapkan adanya peradangan pada kelamin anak-anak yang tidak dikhitan. Kemudian ia meneliti lebih lanjut mengenai hal tersebut dan ia mendapati hasil yang cukup mengejutkan. Hasil penelitian yang ia dapatkan berbanding terbalik dengan yang selama ini ia yakini. Penelitian yang menyebutkan bahwa terjadi peradangan pada kelamin anak-anak yang tidak dikhitan ternyata benar adanya. Sejak saat itu akhirnya ia berubah haluan 180 derajat dengan mengampanyekan agar khitan dilakukan oleh anak-anak.
ADVERTISEMENT