Demokrasi Indonesia: Sedang dalam Bahaya?

Iksan Maulana
Mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta
Konten dari Pengguna
16 Desember 2022 19:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iksan Maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Unjuk Rasa (Source: https://images.pexels.com/photos/3973905/pexels-photo-3973905.jpeg)
zoom-in-whitePerbesar
Unjuk Rasa (Source: https://images.pexels.com/photos/3973905/pexels-photo-3973905.jpeg)

Demokrasi

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Abraham Lincoln menjelaskan bahwa demokrasi adalah sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konsep nilai dan asas dalam penyelenggaraan demokrasi berdasarkan pada adanya kesetaraan hak dan kebebasan warga negara. Sebab prinsip pokok dari demokrasi adalah keutamaan warga negara dalam setiap agenda bernegara.
ADVERTISEMENT
Lalu yang menjadi persoalan adalah manfaat demokrasi ini seakan tidak lagi terukur oleh ambisi etisnya “dari, oleh, dan untuk rakyat”. Melainkan adanya kenyataan bahwa demokrasi sering terperangkap dalam praktik-praktik buruk elit politik yang mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan.

Merenungi Demokrasi Indonesia

Dalam dua tahun terakhir tagar-tagar bermunculan seperti #demokrasidikebiri, #mositidakpercaya #semuabisakena dan slogan tentang pembungkaman pendapat serta narasi lain yang senada telah menjadi sesuatu yang sangat lumrah kita lihat dan kita dengar baik itu di layar ponsel maupun di jalanan.
Pertanyaan yang mungkin terlihat skeptis namun mencoba melihat realitas yang ada di lingkungan sekitar kita. Karena faktanya keresahan yang muncul tersebut beberapa waktu belakangan ini (mulai dari tahun 2019 sampai 2022) seakan-akan menjadi semakin mencerminkan kebenaran bahwa demokrasi sedang dalam bahaya, didukung kenyataan-kenyataan yang mengundang kebingungan bahkan lebih mengarah kepada kecemasan, contohnya seperti berlakunya beberapa produk dari badan legislatif yang diperuntukan sebagai alat kontrol warga negara dalam menjalani aktivitas dan kehidupan bermasyarakat yang bernama “Undang-Undang” namun masih banyak ditentang seperti salah satunya KUHP yang baru-baru ini disahkan, karena dianggap masih bersifat ambigu dan kontroversial bahkan belum matang sehingga wajar ketika banyak dari kita dengan lantang meneriakkan, melakukan aksi dan mendorong pergerakan mulai dari kalangan bawah, menengah sampai atas, mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak, anak muda bahkan orang tua, mahasiswa, wartawan, pengamat politik, jurnalis, komedian, penulis, buruh, bahkan pengusaha ikut menentang kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, hal ini diperburuk dengan data indeks demokrasi yang dilaporkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) yang menunjukkan bahwa Indonesia di tahun 2021 menjadi negara dengan tingkat demokrasi yang cukup rendah, yaitu hanya berada pada urutan ke-52 di dunia dengan skor 6,71 dan di tahun sebelumnya lebih rendah dengan nilai hanya sebesar 6,3. Sedangkan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi ke-4 di atas Thailand dan di bawah Malaysia, Timor Leste dan Filipina.

Survei The Economist Intellegence Unit

Berdasarkan survei dari The Economist Intellegence Unit, negara-negara terbagi ke dalam empat kategori rezim, yaitu: 1). Demokrasi penuh (perfect democracies), 2). Demokrasi tidak sempurna (flawed democracies), 3). Rezim hibrida (hybrid regimes), dan 4). Rezim otoriter (authoritarian regimes).
ADVERTISEMENT
Demokrasi penuh adalah sistem demokrasi yang berjalan dalam suatu negara di mana kebebasan sipil dan kebebasan politik tidak hanya dihormati tetapi juga diperkuat oleh budaya politik yang positif dan matang untuk memungkinkan prinsip-prinsip demokrasi berfungsi. Adanya transparansi administrasi yang baik oleh pemerintah dan lembaga peradilan sangat dijunjung tinggi.
Sedangkan negara dengan kategori demokrasi tidak sempurna, walaupun dalam mekanisme pemilu telah menerapkan prinsip Luber Jurdil (Langsung, Umum, Bersih, Jujur dan Adil). Namun, negara-negara dalam kelompok demokrasi tidak sempurna masih mengalami masalah mendasar seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik antikritik, lemahnya partisipasi masyarakat dalam politik, dan pemerintahan yang kurang optimal.
Berbeda dengan sistem demokrasi hibrida, di mana masih banyak terjadi kecurangan dalam pemilihan reguler dan keberadaan negara dianggap sebagai hambatan bagi warganya untuk mencapai demokrasi yang adil dan bebas. Negara-negara tersebut cenderung memiliki banyak masalah, seperti pemerintahan yang menekan oposisi politik, korupsi yang merajalela, pelanggaran kebebasan pers melalui represi dan pemblokiran jurnalis, lemahnya supremasi hukum.
ADVERTISEMENT
Dan yang terakhir yaitu Rezim otoriter, pada kategori ini pluralisme politik tidak ada atau sangat terbatas. Pelanggaran dan penyalahgunaan kebebasan sipil sering terjadi, pemilu (jika ada) tidak adil dan bebas, media yang ada seringkali dimiliki atau dikendalikan oleh negara atau rezim yang berkuasa, independensi peradilan tidak ditegakkan, penyensoran dan penindasan kritik dalam pemerintahan umum. Dalam hal ini, EIU menggolongkan Indonesia sebagai negara demokrasi tidak sempurna.
Para ahli semakin cemas tentang demokrasi yang barangkali mendapat ancaman bukan hanya di negara Indonesia saja namun juga di seluruh dunia bahkan di tempat-tempat di mana keberadaan demokrasi sudah biasa. Sehingga mungkin bisa saja benar bahwa demokrasi sedang terancam, di mana dunia dihadapkan dengan pemerintahan-pemerintahan populis yang telah menyerang lembaga-lembaga demokrasi, kekuatan-kekuatan ekstremis telah mendapat dukungan, egoisme pemimpin-pemimpin yang memiliki kuasa telah mendapatkan suara lebih dominan.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa pelajaran dari semua hal tersebut? apakah tidak berlebihan bila ada pertanyaan (di mana demokrasi yang kami dambakan?) atau apakah benar adanya kita sedang berada di fase kemerosotan dan kemunduran demokrasi?

Menelisik Sejarah Singkat Kematian Demokrasi di Chile

Jika melihat sejarah demokrasi negara-negara di dunia, misalnya saja di Chile, tanggal 11 September 1973 silam menjadi momen bersejarah bagi Chile setelah ketegangan yang berlangsung selama berbulan-bulan yang akhirnya meningkat sampai aksi-aksi unjuk rasa di tengah jalan Kota Santiago, Chile. Pesawat-pesawat tempur melintas di atas Istana Kepresidenan dan menjatuhkan bom ke Istana La Moneda. Salvador Allende sebagai presiden yang memegang pemerintahan saat itu dijaga ketat. Keresahan-keresahan yang muncul di Chile telah merebak seperti keresahan sosial, krisis ekonomi, dan kelumpuhan politik. Dengan prinsipnya, Allende sebagai presiden yang memegang kuasa saat itu mengatakan bahwa dirinya tidak akan meninggalkan jabatannya sampai dirinya dapat menyelesaikan tugas-tugasnya secara tuntas. Namun, prinsipnya tidak didukung oleh keadaan saat itu, Jenderal Augusto Pinochet sebagai komando angkatan bersenjata Chile mencoba merebut dan memegang kendali negara.
ADVERTISEMENT
Berharap ada titik terang datang, Presiden Allende di pagi hari mencoba untuk berpidato melalui siaran radio nasional, isi pidatonya sangat berapi-api dan menentang tindakan Jenderal Augusto Pinochet beserta pasukannya sambil mengharapkan bahwa para warga membela prinsipnya dan ikut terjun turun ke jalan untuk membela demokrasi. Namun, itu hanyalah pengharapan yang telah sia-sia, pidatonya tidak disambut dengan semangat membara warganya, polisi militer yang menjaga istana perlahan mulai menjauhkan langkah kakinya dari istana, dan tidak berselang lama Presiden Allende dikabarkan tewas. Begitu juga dengan demokrasi di Chile. Seperti itulah sejarah demokrasi Chile dimusnahkan, melalui cara-cara militer dan pemaksaan.

Bukan Hanya Melalui Militer, Ada Banyak Cara Lain untuk Menumbangkan Demokrasi

Terdapat cara lain yang bisa digunakan untuk menghancurkan demokrasi. Bahkan, lebih sistematis dan terukur. Demokrasi bisa berbahaya bahkan mati bukan hanya seperti sejarah yang terjadi di Chile tentang demokrasinya, bukan melalui tangan-tangan Jenderal yang memiliki kuasa dan pengaruh, namun demokrasi dapat pula menghilang dan mati di tangan para pemimpin terpilih yang memiliki kuasa. Seperti Chavez di Venezuela dan para pemimpin lainnya yang telah terpilih namun malah membajak lembaga-lembaga demokrasi.
ADVERTISEMENT
Seberapa rentankah demokrasi kita? mengingat sangat banyak sekali cara-cara yang dapat digunakan untuk membajak, melemahkan dan mematikan demokrasi, mungkin saja koran-koran dan majalah-majalah masih dapat menerbitkan kabar hariannya, namun substansi yang dibawa telah melenceng dari jati dirinya, kelugasan dan daya kritis telah hilang, hanya menyensor diri agar aman. Mungkin saja rakyat masih dapat terus memberikan suara dan kritiknya, namun juga harus bersiap-siap untuk menghadapi masalah hukum. Lembaga-lembaga menjadi “senjata” politik, menjadikan pengadilan dan lembaga netral sebagai tameng kekuasaan, membeli bahkan membungkam media.

Lalu Apakah Benar Demokrasi Terancam?

Paradoks demokrasi ketika lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri secara perlahan mematikan jati dirinya. Kenyataan yang lebih pahitnya lagi adalah bahwa masih banyak yang belum menyadari apa yang terjadi dan tidak sedikit yang tetap optimis bahwa mereka masih hidup di dalam negara demokrasi.
ADVERTISEMENT
Bagaimana pendapat kalian? Tulis di kolom komentar.