Konten dari Pengguna

Jempol Gatal, Hati Kosong: Kenapa Banyak Orang Suka Menghakimi di Kolom Komentar

Ilelli Putri
Mahasiswi Prodi Studi Agama-Agama UIN Imam Bonjol Padang
23 Juli 2025 12:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Jempol Gatal, Hati Kosong: Kenapa Banyak Orang Suka Menghakimi di Kolom Komentar
Kolom komentar kini jadi ruang pengahikiman. Artikel ini mengajak kita merenung: mengapa begitu mudah menilai orang lain, dan bagaimana menjadi netizen yang lebih bijak dan manusiawi.
Ilelli Putri
Tulisan dari Ilelli Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi komenan di berbagai media. sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi komenan di berbagai media. sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Media sosial semestinya menjadi ruang ekspresi. Tapi kini ia lebih sering jadi ruang penghakiman. Di balik layar, orang-orang berlomba melempar opini tanpa filter, seolah kolom komentar adalah ruang siding dan mereka adalah hakim yang paling bijak.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bukanlah hal yang baru, tapi hari demi hari semakin memburuk. Setiap unggahan, terutama dari figur publik selalu diiringi komentar, dari komentar-komentar yang lucu hingga komentar-komentar yang kejam. Apa sebenarnya yang membuat kita begitu cepat menghakimi?
Ada beberapa hal yang memicu hal ini terjadi:
1. Efek Anonimitas: Berani karena Tak Terlihat
Ketika wajah bersembunyi di balik nama pengguna, keberanian semakin meningkat. Orang merasa lebih bebas berkata apa saja karena tidak ada konsekuensinya secara langsung. Efek ini dikenal dengan istilah “Online disinhibition effect, kondisi psikologis di mana seseorang cenderung lebih berani atau ekstrem berpendapat secara daring.
Sayangnya, keberanian ini sering digunakan untuk menyakiti, bukan untuk menyampaikan kebenaran dengan empati.
2. Budaya Cepat dan Dangkal: Baca Judul, Langsung Hakimi
ADVERTISEMENT
Di era scroll cepat dan headline bombastis, banyak dari kita berhenti berfikir dalam. Judul provokatif cukup untuk menyalakan emosi, lalu klik komentar langsung dilontarkan. Padahal sering kali isi konten tak sesuai dengan asumsi.
Kita tidak lagi membaca untuk memahami, tapi hanya untuk membenarkan prasangka.
3. Hasrat Menjadi Benar: Moralitas Semu di Dunia Maya
Mengahakimi orang lain memberi sensasi superioritas. Dengan menuliskan “Dia pantas dihina!” atau “Dia Bodoh Banget Sih!”,
Kita merasa menjadi pihak yang lebih benar, waras, lebih bermoral.
Padahal di balik komentar itu, kita juga manusia biasa, penuh luka, salah, dan kadang lelah.
4. Pelampiasan Emosi yang Tak Tersalurkan
Banyak orang menyimpan tekanan dalam hidup nyata: di rumah, kantor, kampus, atau bahkan dari masa lalu yang belum sembuh. Media sosial jadi pelampiasan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, bukan untyk healing, tapi hurting. Komentar kasar sering lahir bukan karena konten, tapi karena hati yang sedang penuh.
Apa Kita Masih Bisa Menjadi Netizen yang Lebih Waras?
Jawabannya: bisa. Tapi perlu Latihan dan kesadaran.
Sebelum mengetik komentar, kitab isa bertanya:
• Apakah ini fakta atau hanya opini?
• Apakah ini menyakiti atau menguatkan?
• Apakah saya sedang marah karena konten, atau karena hidup saya sendiri?
Media sosial bisa jadi tempat yang lebih sehat, kalau kita menggunakannya dengan hati yang utuh, bukan hati yang haus penghakiman.
Apa yang kita tulis mencerminkan siapa kita, bukan siapa yang kita komentarai.
Kadang, dunia ini sudah cukup keras, jangan biarkan jempol kita ikut menambah beban orang lain.
ADVERTISEMENT