Konten dari Pengguna

Kenapa Burnout Jadi Cerita Besar Generasi Muda di Usia 20-an?

Ilelli Putri
Mahasiswi Prodi Studi Agama-Agama UIN Imam Bonjol Padang
30 Agustus 2025 11:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Kenapa Burnout Jadi Cerita Besar Generasi Muda di Usia 20-an?
Kalau dulu burnout identik dengan pekerja, sekarang hal ini justru jadi cerita sehari-hari anak muda usia 20-an. Kok bisa? #userstory
Ilelli Putri
Tulisan dari Ilelli Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Burnout. Sumber : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Burnout. Sumber : Pixabay
ADVERTISEMENT
Di balik unggahan ceria di Instagram, tawa di TikTok, dan caption penuh motivasi, ada satu kisah yang diam-diam menjadi rahasia bersama anak muda, rasa lelah yang tak terucapkan. Fenomena ini sering disebut burnout, kelelahan fisik, mental sekaligus emosional yang membuat seseorang kehilangan semangat terhadap hal-hal yang dulu sangat ia sukai. Jika dulu istilah ini lebih identik dengan pekerja kantoran, kini burnout justru jadi cerita sehari-hari anak muda di usia 20-an.
ADVERTISEMENT
Generasi Z tumbuh di tengah dunia yang serba cepat. Informasi bergerak seperti kilat, standar kesuksesan terpampang jelas di layar ponsel, dan persaingan seolah ada di setiap langkah. Seorang mahasiswa tidak hanya dituntut untuk pintar di kelas, tetapi juga harus aktif organisasi, jago public speaking, mahir teknologi, punya portofolio menarik, bahkan mulai menghasilkan uang sendiri sebelum wisuda.
Di satu sisi tuntutan itu mendorong untuk berkembang. Namun di sisi lain, tidak sedikit yang merasa hidupnya seperti maraton tanpa garis akhir. Semua terlihat sibuk, semua ingin produktif, dan semua berusaha menjadi versi “sempurna” yang sebenarnya sulit dicapai. Dari sinilah burnout mulai muncul diam-diam, pelan-pelan, tapi nyata.
Tak bisa dipungkiri, media sosial punya peran besar dalam memperparah fenomena ini. Setiap kali membuka Instagram, ada teman yang baru pulang dari luar negeri. Scroll TikTok, ada orang seusia kita yang sudah punya bisnis sukses. Lihat Twitter, ada cerita anak muda yang sudah jadi penulis buku atau pengusaha. Semua itu membuat kita bertanya : “Kenapa aku belum bisa seperti mereka?”
ADVERTISEMENT
Perbandingan yang terus-menerus inilah yang akhirnya memicu rasa tidak cukup. Padahal, semua orang punya jalan masing-masing. Tapi algoritma media sosial tak pernah memberi kita waktu untuk berhenti membandingkan.
Fenomena burnout yang meluas membuat muncul trend-trend baru: healing trip, self-care day, sampai gaya hidup soft living. Anak muda kini lebih berani mengutamakan kesehatan mental dibandingkan sekadar pencapaian. Liburan singkat ke alam, menghabiskan waktu sendiri di cafe, atau sekadar membaca buku di kamar.
Trend ini sebenarnya jadi bentuk perlawanan halus, generasi muda ingin membuktikan bahwa hidup tidak harus selalu berlari. Bahwa istirahat juga bagian dari perjalanan, bukan tanda kemunduran.
Sayangnya, masih banyak yang menganggap burnout adalah kelemahan. Padahal, kelelahan ini justru sinyal bahwa tubuh dan jiwa sedang meminta perhatian. Istirahat bukan berarti gagal, dan berhenti sejenak bukan berarti kalah dari orang lain.
ADVERTISEMENT
Anak muda di usia 20-an sedang belajar memahami hal ini. Mereka mencari agar ambisi tetap terjaga, tetapi tidak mengorbankan diri sendiri. Karena pada akhirnya, perjalanan hidup bukan sekadar soal siapa yang paling cepat sampai tujuan, melainkan siapa yang bisa sampai dengan hati yang utuh dan jiwa yang tenang.
Mungkin inilah kenapa burnout jadi cerita besar generasi muda di era sekarang ini. Semua orang pernah merasakannya, hanya saja tidak semua berani mengakuinya. Namun justru dengan membicarakannya, kitab isa menemukan ruang aman untuk saling menguatkan.
Di usia 20-an, kita sedang berada di titik paling sibuk sekaligus paling rapuh. Kita ingin banyak hal, kita takut ketinggalan, tapi kita juga butuh istirahat. Dan itu wajar, karena hidup bukan lomba lari sprint, melainkan perjalanan panjang, yang penting bukan seberapa cepat kita sampai, tetapi bagaimana kitab isa menikmati setiap langkah tanpa kehilangan diri sendiri.
ADVERTISEMENT