Konten dari Pengguna

Praktik Haragei di Dunia Bisnis Jepang

Ilham Akbar
Mahasiswa S1 Universitas Airlangga
10 Oktober 2024 11:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Situasi di Penyebrangan Shibuya. Source Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Situasi di Penyebrangan Shibuya. Source Unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jepang merupakan salah satu negara maju di dunia, baik dari sisi perkembangan teknologinya, hingga ekonominya. Salah satu alasan mengapa Jepang bisa menjadi negara semaju itu adalah sumber daya manusianya. Salah satu hal yang mendasari mengapa sumber daya manusia Jepang bisa dikategorikan bagus adalah karena sedari kecil, mereka sudah diajari bagaimana cara bersosialisasi, bahkan tanpa menyakiti perasaan orang. Penerapan Haragei 「腹芸」dalam bersosialisasi adalah salah satu cara masyarakat Jepang berkomunikasi tanpa menyakiti perasaan orang lain.
ADVERTISEMENT
Haragei 「腹芸」merupakan istilah dalam budaya Jepang yang merujuk pada seni berkomunikasi secara tersirat. Kata haragei sendiri terdiri dari 2 kata, yaitu “Hara” yang berarti perut, dan “Gei” yang berarti seni, yang jika diartikan secara harfiah, haragei memiliki arti seni perut. Arti perut disini menunjukkan perasaan atau pikiran yang tidak terlihat diluar. Itu berarti penggunaan haragei menunjukkan cara berkomunikasi secara tak langsung, dan mengandalkan kemampuan pemahaman konteks, nada, serta gerak gerik lawan bicara. Menurut sosiolog Jepang, Takeo Doi dalam bukunya The Anatomy of Dependence (1973), haragei adalah salah satu aspek penting dari interaksi antarpribadi di Jepang yang melibatkan pemahaman yang mendalam terhadap situasi dan perasaan orang lain tanpa mengandalkan kata-kata. “Dalam banyak interaksi sosial di Jepang, yang tak terucapkan lebih penting dari yang diucapkan” (Doi, 1973)
ADVERTISEMENT
Haragei sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, mulai dari interaksi antar keluarga hingga ranah bisnis. Di Jepang, pada saat rapat bisnis, jarang terlihat penolakan langsung proposal yang diajukan. Ketika mau menolak biasanya dilakukan dengan halus melalui kata-kata yang ambigu atau melalui gerak tubuh dan ekspresi wajah. Penerapan haragei dimaksudkan untuk menyembunyikan maksud atau perasaan sebenarnya dari lawan bicara. Hal ini dilakukan untuk menjaga hubungan antara satu sama lain, dan berusaha untuk tidak menyakiti perasaan orang lain, serta menghindari adanya konflik.
Di dunia bisnis Jepang, praktik haragei dilakukan dalam berbagai cara, mulai dari negoisasi pada rapat bisnis, bahkan hanya sekadar berkomunikasi antar kolega sekantor. Salah satu aspek penting dalam praktik haragei adalah nemawashi. Nemawashi merupakan salah satu istilah yang berhubungan dengan haragei, yang secara harfiah diartikan sebagai mempersiapkan akar. Dalam konteks bisnis, nemawashi merujuk pada proses mempersiapkan dukungan sebelum memutuskan keputusan secara resmi. Praktik nemawashi melibatkan komunikasi yang halus dan dilakukan secara tidak resmi. Pada saat nemawashi, kedua pihak melakukan diskusi dan salilng bertukar ide mereka. Nemawashi dilakukan untuk memastikan pihak yang terlibat memiliki satu pandangan yang akan mendukung keputusan nanti saat forum resmi. Praktik nemawashi digunakan untuk mencegah munculnya konflik saat forum resmi, dan membantu forum berjalan dengan lancer.
ADVERTISEMENT
Chie Nakane, dalam bukunya yang berjudul Japanese Society (1970), mengatakan bahwa “Budaya perusahaan Jepang cenderung menghindari pernyataan langsung dan lebih mengandalkan petunjuk-petunjuk halus.” Kutipan ini menunjukkan betapa pentingnya peran haragei dalam menjaga keharmonisan dan mencegah konflik dalam mengambil keputusan di ranah bisnis.
Di dunia bisnis Jepang, praktik haragei sering kali terlihat dalam cara bagaimana perusahaan Jepang berinteraksi dengan klien atau mitra bisnis. Penggunaan haragei dapat terlihat pada kasus seperti misalnya, pada saat pertemuan bisnis, saat ingin menolak sebuah tawaran atau proposal sering kali disampaikan dengan cara yang sangat halus, dan hanya mengandalkan nada dan gerak-gerik wajah. Seperti yang dijelaskan oleh Roger J. Davies dan Osamu Ikeno dalam bukunya The Japanese Mind: Understanding Contenporary Japanese Culture (2002) menyebutkan “Dalam budaya Jepang penolakan biasanya dilakukan dengan kata-kata yang tidak langsung, yang mengharuskan pihak lain untuk menangkap maksud tersirat dan memahami maksud sebenarnya.”
ADVERTISEMENT
Misalnya, dalam rapat, daripada mengatakan “tidak” secara langsung, lawan bicara akan memilih menggunakan kata-kata tidak langsung seperti “itu mungkin sulit dilakukan dalam waktu dekat,” atau “bagian ini perlu dipertimbangkan lebih lanjut.” Contoh-contoh tersebut sebenarnya adalah bentuk penolakan, tetapi disampaikan dengan bahasa yang lebih sopan agar tidak menyinggung perasaan lawan bicara. Dengan demikian, lawan bicara diharapkan dapat memahami dan menangkap maksud tersembunyi yang pembicara maksudkan.
Selain nemawashi, kemampuan “kuuki wo yomu,” atau kemampuan dalam membaca suasana juga merupakan bagian penting dari praktik haragei di dunia bisnis Jepang. Kuuki wo yomu adalah kemampuan yang mengharuskan orang untuk membaca suasana, dan memahami keinginan dan kebutuhan orang lain tanpa orang lain harus mengatakan secara langsung. Dalam konteks bisnis, kuuki wo yomu menjadi peran penting dalam komunikasi bisnis, karena memungkinkan orang untuk merasakan ketegangan, ketidaknyamanan dalam suasana forum, hingga memahami kata-kata yang diucapkan secara tersirat.
ADVERTISEMENT
Kuuki wo yomu menjadi keterampilan yang harus dikuasai ketika rapat bisnis di Jepang. Dalam rapat bisnis di Jepang, peserta yang hadir tidak akan mengungkapkan ketidaksetujuannya secara langsung. Sebaliknya, mereka akan menunjukkan tanda-tanda isyarat secara halus seperti merubah nada suaranya, menggunakan bahasa tubuh, atau menggunakan ekspresi wajahnya. Seseorang yang mampu membaca suasana akan memahami isyarat-isyarat tersebut dan menyesuaikan dengan situasi forum agar rapat dapat berjalan dengan lancar.
Hiroshi Takada dalam bukunya yang berjudul Business Practice in Japan (2016) menjelaskan bahwa “Kemampuan untuk membaca situasi dan memahami harapan yang tak terucapkan sangat penting untuk keberhasilan dalam lingkungan bisnis Jepang. Kuuki wo yomu memungkinkan seseorang untuk merespons dengan tepat, baik itu mengubah taktik negoisasi atau menunda keputusan hingga waktu yang tepat.” Ahli budaya bisnis Jepang, Hiroshi Okada juga menjelaskan “Kuuki wo yomu bukan hanya tentang keterampilan komunikasi, melainkan juga cara untuk membangun hubungan yang lebih mendalam dan berkelanjutan di dunia bisnis Jepang.” (Okada, 2016)
ADVERTISEMENT
Namun. Dibalik dari tujuan haragei yang dapat menjaga hubungan dan menghindari konflik, haragei juga dapat menimbulkan tantangan baru bagi orang asing yang tidak terbiasa dengan bentuk komunikasi seperti ini. Dalam survey yang dilakukan oleh Japan Times pada tahun 2021, banyak responden, terutama pada generasi muda Jepang yang bekerja di perusahaan multinasional merasa bahwa praktik haragei dapat menyebabkan miskomunikasi dan banyaknya kebingungan. Responden mengungkapkan bahwa kejelasan dalam sebuah komunikasi sangat penting dalam bisnis internasional. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun praktik haragei memiliki keunggulan dalam menjaga hubungan sosial, haragei tidak dapat digunakan dalam situasi yang membutuhkan komunikasi secara langsung dan terbuka.
Dari sudut pandang orang asing, memahami haragei dapat menjadi tantangan yang sulit. Budaya komunikasi di Barat yang cenderung langsung ke intinya dan terus terang sering kali bertentangan dengan cara berkomunikasi Jepang yang cenderung halus dan implisit. Akibatnya, banyak terjadi kasus orang asing kebingungan ketika rekan kerja mereka yang dari Jepang menghindari suatu kesepakatan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, banyak orang asing yang melatih kepekaan mereka terhadap komunikasi implisit seperti haragei, dan mempelajari lebih dalam dinamika sosial di lingkungan kerja. Mereka juga harus lebih memperhatikan konteks dan suasana, daripada hanya mengandalkan pemahaman kata-kata yang diucapkan. Namun, memahami haragei dapat dilatih dengan observasi dan pengalaman berkomunikasi dengan orang Jepang. Dengan memahami bahwa orang Jepang berkomunikasi secara implisit, para pendatang dapat dengan mudah beradaptasi dengan budaya haragei ini.