Konten dari Pengguna

Optimalisasi Pengelolaan Pajak Daerah Menuju Kemandirian Fiskal Daerah

Ilham Akhmad Fakhrudin
Saya adalah seorang mahasiswa Program Studi Sarjana Terapan Akuntansi Sektor Publik, Politeknik Keuangan Negara STAN, yang memiliki minat pada perpajakan, audit, dan perekonomian.
9 Februari 2025 15:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Akhmad Fakhrudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Uang (sumber: freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Uang (sumber: freepik.com)
ADVERTISEMENT
Pada Senin, 03 Februari 2025, Kementerian Keuangan akhirnya secara resmi melakukan efisiensi terhadap Dana Transfer ke Daerah (TKD). Kebijakan ini tertuang pada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) nomor 29 tahun 2025 tentang Penyesuaian Rincian Alokasi Transfer ke Daerah menurut Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2025 dalam Rangka Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. KMK ini merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisien Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Total anggaran TKD yang dilakukan efisien mencapai angka Rp 50,595 triliun. Untuk rincian TKD yang dilakukan efisien adalah sebagai berikut, Dana Alokasi Umum dipotong sebesar Rp 15,67 triliun, Dana Alokasi Khusus Fisik dipotong Rp 18,3 triliun, Dana Otonomi Khusus (Otsus) dikurangi Rp 509,45 miliar, pos kurang bayar DBH dikurangi Rp 13,9 triliun, dana keistimewaan DIY dikurangi Rp 200 miliar, dan dana desa mengalami efisien sebesar 2 triliun.
ADVERTISEMENT
Menurut Undang-undang nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), Transfer ke Daerah (TKD) adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Dana TKD akan masuk ke dalam pos Pendapatan Daerah pada APBD setiap Daerah, yakni, ke dalam pos pendapatan transfer. Pendapatan Transfer, Pendapatan Asli Daerah, dan Pendapatan Lain-lain merupakan 3 (tiga) komponen Pendapatan Daerah pada APBD.
Berdasarkan reviu atas kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah Tahun 2020 yang dilakukan oleh BPK, ditemukan bahwa 443 dari 503 Pemerintah Daerah (88,07%) masuk ke dalam kategori "Belum Mandiri". Salah satu ciri Pemda yang belum mandiri adalah Pendapatan Daerah yang masih didominasi dari hasil Pendapatan Transfer dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerahnya. Masih menurut reviu yang dilakukan oleh BPK, terdapat 468 Pemda (93,04%) yang kategori kemandirian fiskalnya tidak berubah sejak 2013. Hal ini tentu menjadi catatan tersendiri, karena otonomi daerah telah dilaksanakan sejak tahun 1999, namun hingga saat ini masih banyak Pemda yang bergantung kepada Pemerintah Pusat.
ADVERTISEMENT
Efisiensi dana TKD yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo tentu akan berdampak kepada kondisi APBD Pemda, terutama bagi Pemda yang sangat bergantung pada Dana Transfer dari Pemerintah Pusat. Pemda tentu harus memutar otak bagaimana tetap bisa menjalankan program-program yang telah dicanangkan dengan anggaran yang sangat terbatas. Salah satu topik yang wajib untuk dibahas adalah bagaimana menaikkan Pendapatan Asli Daerah melalui optimalisasi Pajak Daerah.
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang bersifat memaksa dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jika kita berkaca pada Pemeritah Pusat, penerimaan pajak nasional adalah tulang punggung Pendapatan Negara pada APBN, dengan tax ratio antara 9% -10 %. Selanjutnya jika kita melihat pada realisasi Pajak Daerah, kondisinya bagaikan bumi dan langit. Pemda dalam melaksanakan pungutan Pajak Daerah terlihat mengalami kesulitan. Dilansir dari Bisnis.com, baru 2 daerah yang memiliki local tax ratio di atas 3%, yakni Bali dan Nusa Tenggara, dengan capaian 3,23%. Berbanding terbalik dengan Kalimantan Timur, local tax rationya hanya menyentuh angka 0,32%. Dengan demikian, masih banyak ruang perbaikan yang bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk optimalisasi penerimaan Pajak Daerah.
ADVERTISEMENT
Lantas apa yang bisa Pemda lakukan?
Kementerian Keuangan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, telah memberikan sebuah alat bantu dalam hal untuk mengetahui kondisi pengelolaan Pajak Daerah. Alat bantu yang dimaksud adalah Standar Indeks Kinerja Administrasi Pajak Daerah (SIKAP). Analisis SIKAP terdiri dari 9 (sembilan) komponen, yang terbagi dalam 3 (tiga) kelompok besar, yaitu, penerimaan, operasional, dan tata kelola. Setiap komponen terdiri atas berbagai pertanyaan-pertanyaan yang memiliki bobot penilaian tersendiri. Untuk menjaga objektivitas dari analisis SAKIP, nilai-nilai yang diberikan harus berdasarkan kepada alat bukti yang dapat diverifikasi kesahihannya. Pemda dapat melakukan analisis SIKAP secara mandiri, sebagai langkah awal perbaikan pengelolaan administrasi Pajak Daerah.
Melakukan digitalisasi layanan perpajakan daerah dan simplifikasi birokrasi. Hal ini juga tertuang dalam UU HKPD, dimana salah satu tujuan pengesahan UU HKPD adalah penurunan administration dan compliance cost Wajib Pajak. Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah kerja sama dengan perbankan untuk membuka channel pembayaran pajak secara online, pembuatan channel pelaporan pajak yang berbasis aplikasi, dan pemberian layanan konsultasi secara online. Pada UU HKPD penurunan beban administrasi dapat dilihat dari mulai diintegrasikannya pajak-pajak daerah yang berbasis konsumsi, seperti, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak Parkir, menjadi Pajak Barang dan Jasa Tertentu. Penurunan beban administrasi dan biaya kepatuhan diharapkan akan mendorong tingkat kepatuhan sukarela Wajib Pajak ke level yang lebih tinggi. Tingkat kepatuhan pajak sukarela yang tinggi akan berakibat pada realisasi pembayaran Pajak Daerah yang lebih tinggi lagi.
ADVERTISEMENT
Langkah selanjutnya yang Pemda dapat lakukan adalah perluasan basis Pajak Daerah. Pada UU HKPD, salah satu perluasan basis Pajak Daerah adalah pengenaan Opsen PKB dan BBNKB. Pengenaan Opsen PKB dan BBNKB dimaksudkan hanya untuk mempercepat penerimaan pajak bagi Pemerintah Kabupaten/Kota, tanpa harus melalui skema Dana Bagi Hasil, dan tanpa menambah beban untuk Wajib Pajak. Pada UU HKPD juga diperkenalkan pajak baru, yakni, Pajak Alat Berat yang diadministrasikan oleh Pemerintah Provinsi. Perluasan basis Pajak Daerah juga dapat dilakukan dengan cara memperbaharui basis data PBB-P2, melakukan kerja sama dengan instansi lain seperti KPP Pratama di daerah, dan pertukaran informasi dengan pihak yang lain.
Simpulan
Optimalisasi Pajak Daerah merupakan suatu keniscayaan. Dengan langkah-langkah strategis ini, Pemda dapat memaksimalkan potensi pajak daerah untuk mengatasi dampak efisiensi TKD dan mewujudkan kemandirian keuangan daerah. Jika Pemda mampu meningkatkan PAD secara signifikan, mereka akan lebih fleksibel dalam menjalankan program-program pembangunan, meskipun dana transfer dari Pemerintah Pusat mengalami pengurangan. Pajak daerah, dengan pengelolaan yang tepat, dapat menjadi pondasi yang kuat untuk mewujudkan otonomi daerah yang maju dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT