Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Sebuah Awalan, Perjuangan Kemanusiaan Sutan Syahrir
16 November 2022 6:57 WIB
Tulisan dari Ilham Aryasona tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sutan Syahrir memang dijuluki sebagai bung kecil karena fisiknya yang kecil, tetapi sumbangsih perjuangannya dalam mewujudkan kemerdekaan teramat besar. Dia adalah manusia bermental besar nan gigih dalam membela nilai-nilai universalitas kemanusiaan, meskipun jika itu berbeda pendapat dengan sahabatnya. Dia sempat bimbang, namun tetap berdiri tegak bahwa ia mencintai tanah airnya lebih dari apapun. Syahrir percaya bahwa hidup yang tak diperjuangkan tak dapat dimenangkan.
ADVERTISEMENT
Syahrir lahir di Padang Pandjang, Sumatera Barat pada tahun 1909 dari keluarga yang cukup sejahtera. Ayahnya adalah Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Sutan Palindih, seorang penasehat Sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Dengan latar belakang inilah Syahrir cukup beruntung bisa mendapatkan pendidikan terbaik yang tidak semua anak pribumi bisa dapatkan.
Bakat intelektual Syahrir sudah terlihat sejak dini dengan ia suka membaca buku, menulis dan mengikuti klub debat politik. Selain itu Syahrir juga piawai dalam beberapa bidang lainnya, seperti bermain sepakbola, bermain musik, kedirgantaraan, sampai berakting di atas panggung teater. Setelah menyelesaikan pendidikannya di MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) pada tahun 1926, Syahrir lalu pergi ke Bandung untuk melanjutkan sekolah lanjutan atas di AMS. Disinilah perjuangan aktivisme Syahrir dimulai.
ADVERTISEMENT
Di usia yang masih muda, Syahrir sudah mendirikan sekolah Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat) guna memberikan pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Kegiatan sosial ini Syahrir biayai dari hasil kegiatannya di Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor.
Setelah berkecimpung dalam aksi-aksi sosial, Syahrir kemudian masuk kedalam aktivisme politik sebagai wahana yang lebih besar untuk mewujudkan keadilan sosial, hal yang selalu ia cita-citakan. Dia berkeyakinan bahwa Indonesia Merdeka adalah satu-satunya jalan untuk menuju impiannya tersebut. Akhirnya pada 20 Februari 1927, Syahrir tergabung dalam pembentukan himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesie. Perhimpunan ini kemudian berubah nama menjadi Pemuda Indonesia yang berhasil menggerakkan Kongres Pemuda Indonesia, kongres bersejarah yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.
ADVERTISEMENT
Perkenalan dengan Hatta
Pada tahun 1929, Syahrir yang setelah lulus dari sekolahnya di Bandung terbang ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Amsterdam. Kemudian, ia juga menjadi mahasiswa hukum di Universitas Leiden. Sejarawan Rosihan Anwar menulis bahwa "Syahrir jarang mengikuti kuliah. Minat dan perhatiannya ada di tempat lain. Syahrir dengan serius mempelajari sosialisme."
Menurut Salomon Tas, seorang teman sekaligus Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, Syahrir disana mencari teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal yang berbau kapitalisme dengan bertahan hidup secara kolektif. Bahkan demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.
Disamping aktivitasnya mendalami dunia kiri secara langsung, Syahrir juga bergabung kedalam Organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) yang di antara para anggotanya terdapat banyak pemimpin politik Indonesia di masa depan. Di dalam PI ia juga bertemu dan langsung nyetel dengan Mohammad Hatta yang saat itu menjadi Ketua. Syahrir kemudian terpilih menjadi sekretaris PI pada 1930. Di waktu yang bersamaan pemerintah Hindia Belanda kian represif terhadap organisasi pergerakan nasional di Indonesia, mereka mengasingkan para pemimpin pergerakan yang berakibat pada bubarnya Partai Nasional Indonesia (PNI) karena terjadinya kekosongan pemimpin.
Mendengar berita ini membuat para aktivis PI di Belanda menyerukan agar pergerakan jangan sampai padam lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Syahrir menilai bahwa perjuangan menuju kemerdekaan adalah perjuangan kolektif, perjuangan kita, oleh sebab itu perjuangan tak boleh berpusat hanya kepada tokoh tertentu. Seruan-seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Ra'jat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, untuk menuju perjuangan kolektif pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.
Syahrir kemudian meninggalkan kampusnya di Belanda untuk kembali ke tanah air guna meneruskan perjuangan. Ia langsung terlibat dalam pendirian gerakan Pendidikan Nasional Indonesia – Baru (PNI-Baru) yang pada Juni 1932 diketuainya. Tak berselang lama kemudian Hatta menyusul Syahrir pulang dan keduanya membawa PNI Baru sebagai organisasi pencetak kader- kader pergerakan.
Menurut pemerintah kolonial, gerakan PNI Baru dinilai lebih berbahaya karena menggunakan cetak biru gerakan-gerakan Eropa. Mereka berjuang secara intelektual dan progresif meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lambat namun pasti. PNI-Baru mengedepankan pentingnya pendidikan politik, sehingga rajin mengadakan kursus-kursus politik dan menerbitkan berbagai brosur. Gerakan ini oleh pemerintah kolonial Belanda justru dianggap lebih radikal ketimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa.
Oleh karena itu pada Februari 1934, pemerintah kolonial menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel, kawasan malaria di Papua. Di Boven-Digoel, keduanya tidak berhenti berjuang, mereka menggunakan waktu senggangnya diperasingan untuk menulis yang kemudian diterbitkan, tulisan-tulisan itu tampaknya membuat telinga pemerintah kolonial panas. Oleh sebab itu Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira.
Setibanya di Banda pada 11 Februari 1936, tak berselang lama mereka mendirikan sekolah sore untuk anak-anak Banda. Sekolah ini terbagi menjadi dua kelas berdasarkan usia. Bagi anak yang lebih muda, diajar oleh Bung Syahrir. Sedangkan kelas di atasnya diajar oleh Bung Hatta. Dua guru ini mengajarkan matematika ,bahasa Belanda, sejarah, juga pengetahuan umum lainnya.
Setelah 6 tahun berada di Banda, pada Januari 1942 sebuah pesawat Catalina milik militer Belanda mendarat. Mereka datang untuk menjemput Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta. Pada awalnya Hatta ingin membawa 16 peti buku miliknya, namun Syahrir meyakinkan Hatta untuk menyisakan ruang demi membawa anak angkat mereka. Lily, Mimi, dan Ali berhasil dibawa, sebenarnya satu lagi yang paling tua hendak dibawa pula, Des Alwi namanya. Namun terbatasnya kursi pesawat membuat si anak tertua menyusul. Dia bahkan kebagian tugas sulit: membawakan 16 peti buku milik Hatta. Setelah susah payah akhirnya Des mencapai Jawa pada pertengahan 1942. Sayang, hanya sedikit buku yang kemudian bisa dilihat lagi oleh Hatta.
ADVERTISEMENT