news-card-video
9 Ramadhan 1446 HMinggu, 09 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Menilik Prospek Bank Emas di Indonesia

Ilham Hardina Atmaja
Ilham Hardina Atmaja, Bachelor of Economics from Universitas Airlangga. Have an interest in Economics, Finance, Monetary, Taxation, and Digital.
7 Maret 2025 13:53 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Hardina Atmaja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Golden Bank Vault. Foto: Golden Dayz/ Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Golden Bank Vault. Foto: Golden Dayz/ Shutterstock
ADVERTISEMENT
Seberapa aman emas yang kita simpan di rumah? Pertanyaan ini semakin relevan seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya investasi logam mulia di tengah ketidakpastian ekonomi global. Emas telah lama dianggap sebagai aset aman (safe haven asset), tidak hanya karena nilainya yang relatif stabil, tetapi juga karena perannya sebagai pelindung dari inflasi dan fluktuasi nilai mata uang. Namun, di balik keunggulannya, penyimpanan emas di rumah menyimpan risiko tersendiri. Ancaman pencurian, kehilangan, atau bahkan degradasi nilai akibat penyimpanan yang kurang tepat menjadi kekhawatiran yang tak bisa diabaikan.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi ini, muncul pertanyaan yang mendasar: Apakah ada cara yang lebih aman dan produktif untuk menyimpan emas selain di brankas pribadi atau pegadaian? Bagi banyak orang, emas sering kali hanya menjadi aset pasif yang tersimpan tanpa menghasilkan keuntungan tambahan. Berbeda dengan deposito yang memberikan bunga atau saham yang menawarkan dividen, emas baru memberikan manfaat finansial ketika dijual kembali. Maka, muncul gagasan tentang bagaimana emas dapat dikelola secara lebih produktif dalam sistem keuangan yang lebih terstruktur.
Di sinilah konsep bank emas mulai menarik perhatian. Beberapa negara telah mengembangkan sistem perbankan yang memungkinkan emas tidak hanya disimpan dengan aman, tetapi juga diintegrasikan dalam sistem keuangan sebagai instrumen investasi dan transaksi. Model ini memungkinkan pemilik emas untuk tidak sekadar menyimpannya sebagai aset pasif, tetapi juga memanfaatkannya sebagai jaminan kredit atau bahkan sebagai alat pembayaran dalam ekosistem ekonomi berbasis emas.
ADVERTISEMENT
Namun, pertanyaan besarnya adalah: Seberapa realistis konsep bank emas diterapkan di Indonesia? Apakah infrastruktur keuangan dan regulasi di Indonesia sudah siap untuk mendukung sistem semacam ini? Bagaimana potensi manfaat dan risikonya terhadap stabilitas moneter, sistem perbankan konvensional, dan literasi keuangan masyarakat? Lebih jauh lagi, dapatkah bank emas menjadi solusi yang efektif di tengah ketidakstabilan ekonomi dan inflasi yang terus menggerus daya beli masyarakat? Ataukah justru konsep ini akan menambah kompleksitas tantangan dalam sistem keuangan nasional?
Emas: Simbol Kekayaan yang Tak Lekang oleh Waktu
Sejak berabad-abad lalu, emas telah menjadi simbol kekayaan, prestise, dan kestabilan ekonomi. Kekaisaran Romawi menggunakannya sebagai standar moneter, kerajaan-kerajaan di Timur Tengah menimbun emas sebagai simbol kejayaan, dan hingga kini, bank sentral di seluruh dunia masih menyimpannya sebagai cadangan devisa. Di balik kilaunya, emas memiliki daya tarik yang unik: tidak terpengaruh oleh kebijakan moneter suatu negara, tidak mudah mengalami depresiasi nilai seperti mata uang kertas, dan cenderung tetap berharga bahkan di tengah gejolak ekonomi global.
ADVERTISEMENT
Tak heran, dalam setiap krisis ekonomi, emas menjadi pilihan utama bagi banyak investor yang ingin melindungi nilai kekayaan mereka. Ketika nilai mata uang anjlok akibat inflasi atau ketidakstabilan geopolitik, emas justru mengalami kenaikan harga. Fenomena ini menjadikan emas sebagai safe haven asset—sebuah benteng pertahanan terakhir ketika badai ekonomi melanda. Namun, apakah hanya itu peran emas dalam sistem keuangan modern? Apakah emas hanya berfungsi sebagai penyimpan nilai, atau mungkinkah ia dimanfaatkan lebih jauh sebagai instrumen finansial yang lebih dinamis?
Di sinilah kita menemukan paradoks emas. Di satu sisi, ia adalah aset yang stabil dan aman, tetapi di sisi lain, ia adalah non-yielding asset—aset yang tidak menghasilkan keuntungan pasif. Berbeda dengan deposito yang memberikan bunga atau saham yang menawarkan dividen, emas tidak secara langsung menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya. Ia hanya bernilai saat dijual kembali, dan keuntungan yang diperoleh murni berasal dari selisih harga beli dan jual. Ini menimbulkan dilema: jika seseorang menyimpan emas dalam jumlah besar, kekayaannya tetap aman, tetapi tidak berkembang. Sebaliknya, jika emas dijual untuk investasi lain, maka hilanglah fungsinya sebagai aset perlindungan jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Bank Emas di Negara Lain: Inspirasi bagi Indonesia?
Stack Gold Bars. Foto: Pixfiction/ Shutterstock
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah negara telah bereksperimen dengan konsep bank emas, meskipun dengan pendekatan yang berbeda-beda. Upaya ini didorong oleh kesadaran bahwa emas bukan sekadar aset yang disimpan, tetapi juga dapat diintegrasikan ke dalam sistem keuangan yang lebih produktif. Model-model ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan inklusi keuangan, tetapi juga untuk mengurangi dominasi penyimpanan emas secara informal yang kerap berisiko.
Turki, misalnya, memperkenalkan Gold Banking System, yang memungkinkan masyarakat menabung emas dalam bentuk digital. Program ini diluncurkan karena banyak warga lebih memilih menyimpan emas di rumah daripada memasukkannya ke dalam sistem perbankan. Dengan sistem ini, emas yang sebelumnya dalam bentuk perhiasan atau batangan di rumah-rumah dapat dimanfaatkan dalam ekosistem keuangan tanpa kehilangan sifatnya sebagai aset pelindung nilai. Pemerintah Turki melihat langkah ini sebagai cara untuk meningkatkan cadangan emas nasional sekaligus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan.
ADVERTISEMENT
Malaysia, memiliki pendekatan serupa dengan Gold Investment Account, yang memungkinkan nasabah menyimpan emas dalam saldo digital. Nilai tabungan emas ini mengikuti harga pasar, sehingga fungsinya mirip dengan tabungan biasa tetapi berbasis emas. Dengan sistem ini, masyarakat dapat mengakumulasi kekayaan dalam bentuk emas tanpa harus menyimpan fisiknya, mengurangi risiko pencurian atau penyimpanan yang tidak aman. Fleksibilitasnya juga lebih tinggi karena emas dapat dijual kapan saja sesuai harga pasar, sehingga memberikan likuiditas yang lebih baik dibandingkan emas fisik.
Sementara itu, India meluncurkan Gold Monetization Scheme, yang bertujuan untuk menarik emas yang tersimpan di rumah-rumah agar masuk ke dalam sistem keuangan. Pemilik emas dapat mengonversinya menjadi simpanan dan memperoleh imbal hasil dalam bentuk emas. Program ini dirancang untuk mengurangi ketergantungan India pada impor emas yang sangat besar setiap tahunnya, sekaligus mendorong masyarakat agar lebih aktif menggunakan emas sebagai instrumen investasi jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Jika melihat tren ini, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk mengadopsi model serupa. Budaya investasi emas di Indonesia sudah cukup kuat, terlihat dari semakin populernya tabungan emas di Pegadaian serta berbagai platform fintech yang menawarkan layanan serupa. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah bank emas bisa beroperasi secara aman, transparan, dan menguntungkan dalam konteks Indonesia?
Tantangan Regulasi dan Infrastruktur di Indonesia
Hingga saat ini, regulasi di Indonesia belum sepenuhnya mengakomodasi konsep bank emas. Emas lebih banyak diperdagangkan melalui pegadaian, perbankan syariah, atau aplikasi fintech yang menawarkan tabungan emas digital. Belum ada kerangka hukum yang jelas yang memungkinkan emas berfungsi sebagai aset likuid dalam sistem perbankan. Ada beberapa tantangan utama yang perlu diperhatikan:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada dilema antara menjadikan emas sebagai aset fisik atau digital. Jika emas disimpan dalam bentuk fisik, bank perlu menyediakan infrastruktur penyimpanan yang besar. Namun, jika dikelola dalam bentuk digital, perlu ada mekanisme audit yang ketat agar tidak terjadi manipulasi atau penciptaan emas fiktif dalam sistem keuangan.
Dampak terhadap Sistem Perbankan dan Ekonomi Makro
Golden Abacus on US Dollar Note. Foto: William Potter/ Shutterstock
Jika bank emas benar-benar diterapkan, bagaimana dampaknya terhadap perbankan konvensional? Salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi disintermediasi, di mana masyarakat lebih memilih menyimpan emas dibandingkan uang tunai di bank. Jika ini terjadi dalam skala besar, bank bisa kehilangan sumber dana murah yang selama ini digunakan untuk kredit dan investasi.
Dampak lebih lanjut dari disintermediasi adalah kemungkinan terjadinya kontraksi likuiditas dalam sistem perbankan. Ketika dana yang sebelumnya tersedia untuk kredit berkurang, suku bunga pinjaman bisa meningkat karena bank harus mencari sumber pendanaan lain yang lebih mahal. Ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor yang sangat bergantung pada kredit, seperti UMKM dan industri manufaktur.
ADVERTISEMENT
Namun, di sisi lain, bank emas juga bisa membuka peluang baru. Dengan model yang tepat, emas bisa menjadi aset yang lebih produktif. Misalnya, emas yang disimpan di bank dapat digunakan sebagai jaminan kredit, mirip dengan sistem pegadaian tetapi dalam skala yang lebih besar. Ini bisa membuka akses pembiayaan baru bagi UMKM dan individu yang memiliki emas tetapi enggan menjualnya. Tentu, hal ini dapat menjadi solusi bagi UMKM yang sering kali kesulitan mendapatkan kredit karena keterbatasan agunan konvensional.
Simplifikasi
Bank emas bukan lagi sebagai wacana futuristik, tetapi gagasan yang patut dipertimbangkan dengan serius. Dengan meningkatnya ketidakpastian ekonomi global dan volatilitas pasar keuangan, emas semakin menarik sebagai instrumen investasi dan perlindungan nilai. Namun, tanpa regulasi yang jelas dan infrastruktur yang matang, bank emas bisa menjadi pedang bermata dua—bisa menguntungkan, tetapi juga berisiko tinggi. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana memastikan emas dapat diintegrasikan ke dalam sistem perbankan tanpa menciptakan instabilitas keuangan.
ADVERTISEMENT
Yang pasti, diskusi soal bank emas ini harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan: pemerintah, perbankan, regulator, dan masyarakat. Jika dikelola dengan baik, bank emas bisa menjadi inovasi yang tidak hanya memberikan keamanan lebih bagi penyimpan emas, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi Indonesia. Lebih dari itu, bank emas bisa menjadi salah satu instrumen dalam memperkuat ketahanan ekonomi nasional, terutama dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Di tengah ancaman resesi, inflasi tinggi, dan fluktuasi nilai tukar, emas dapat menjadi aset strategis yang membantu menjaga daya beli masyarakat. Jika Indonesia mampu mengembangkan sistem bank emas yang terintegrasi dengan baik, ini bisa menjadi langkah maju dalam memperkuat sektor keuangan dan meningkatkan daya saing ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT