Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Proteksionisme dalam Liberalisasi Perdagangan Internasional
21 April 2025 16:24 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ilham Hardina Atmaja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Mengapa negara yang selama ini lantang mengusung prinsip liberalisasi pada perdagangan bebas, justru belakangan ini menerapkan kebijakan tarif, kuota, atau pembatasan pada kebijakan perdagangan internasionalnya? Bukankah dalam liberalisasi ekonomi mengajarkan bahwa kebebasan pasar akan menciptakan efisiensi dan kemakmuran suatu negara? Pertanyaan semacam ini kerap menggelitik akal sehat, seakan-akan menganalogikan kita sedang menyaksikan seorang vegetarian yang diam-diam menyantap beefsteak di balik layar.
ADVERTISEMENT
Proteksionisme dalam kerangka liberalisasi pasar ibarat memasang pagar tinggi di sebuah halaman rumah, namun menyengajakan untuk pintu rumahnya tetap dibiarkan terbuka lebar. Dalam praktiknya, liberalisasi perdagangan tidaklah seputih prinsip-prinsip yang tersusun rapi dalam buku teori ekonomi. Realitanya, negara-negara yang mendaku sebagai pejuang pasar bebas justru menjadi pemasang pelindung paling gigih bagi kepentingan domestiknya.
Amerika Serikat, misalnya, tak segan melindungi industri domestiknya dengan berbagai kebijakan subsidi dan penerapan tarif yang tinggi, meski di forum internasional mereka mengibarkan panji liberalisasi. Di sinilah paradoks proteksionisme dalam liberalisasi pasar mulai tampak, proteksionisme tak lagi bisa dipandang semata sebagai kebijakan yang bertolak belakang dengan semangat liberalisasi. Sebaliknya, ia dianggap menjadi bagian integral dari strategi bertahan dalam ekosistem perdagangan global yang kompleks dan dinamis.
ADVERTISEMENT
Liberalisasi Perdagangan: Janji dan Kenyataan
Dalam literatur ekonomi klasik, perdagangan bebas dipandang sebagai mekanisme yang dapat meningkatkan kesejahteraan suatu negara. Dalam karya The Wealth of Nations, Adam Smith mengemukakan konsep keunggulan absolut, bahwa negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika masing-masing fokus pada produksi barang yang dapat mereka hasilkan secara lebih efisien dibanding negara lain. Teori ini kemudian dikembangkan oleh David Ricardo melalui konsep keunggulan komparatif, yang menyatakan bahwa bahkan jika suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi barang apapun, ia masih tetap dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan memproduksi barang yang memiliki biaya peluang terendah untuk diproduksi.
Namun, dalam praktiknya, realitas dalam perdagangan internasional tidak selalu mencerminkan sebuah teori. Faktor-faktor seperti proteksionisme, ketimpangan kekuatan ekonomi, serta ketergantungan struktural antara negara maju dan berkembang, dapat menyebabkan hasil perdagangan justru memperburuk ketimpangan atau merugikan negara tertentu. Tentu, hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah asumsi dasar dalam teori ekonomi masih relevan di tengah kompleksitas ekonomi global saat ini?
ADVERTISEMENT
Perdagangan bebas pada satu sisi adalah janji tentang efisiensi dan kompetisi. Tapi pada sisi lain, ia juga bisa menjelma jadi ancaman laten bagi stabilitas sosial dan ekonomi suatu negara, terutama ketika daya saing industri domestik belum siap menghadapi gelombang produk luar negeri. Misalnya, bagaimana industri tekstil dan sepatu di berbagai negara di Asia dan Afrika gulung tikar ketika dihadapkan pada banjir produk serupa yang lebih murah dari Tiongkok.
Ketika gelombang liberalisasi menghantam negara-negara berkembang, banyak yang mendapati bahwa janji kemakmuran justru berubah menjadi luka struktural: deindustrialisasi, pengangguran, hingga ketergantungan pada produk luar negeri. Maka, dalam konteks ini, proteksionisme hadir bukan untuk menolak liberalisasi, melainkan untuk mengatur napasnya. Ia bagaikan seperti rem darurat dalam mobil balap: tidak dimaksudkan untuk menghentikan perlombaan, tapi untuk mencegah tabrakan fatal.
ADVERTISEMENT
Proteksionisme: Tameng atau Ketakutan?
Lantas, apakah proteksionisme selalu dimaknai buruk? Atau, justru ia adalah bentuk kewaspadaan terhadap ketimpangan dalam ekosistem perdagangan internasional? Dalam praktiknya, proteksionisme seringkali hadir sebagai bentuk “perlindungan sementara” bagi industri domestik di suatu negara yang mulai goyah. Sebab, dalam kacamata ekonomi internasional, dimana negara yang memiliki nilai keunggulan pada suatu produk barang atau jasa dari sisi skala produksi, dipastikan dapat mendominasi pangsa pasar melalui harga dan supply, yang ujungnya dapat mengontrol standar perdagangan internasional. Sehingga, makna proteksionisme di sini diharapkan bisa menjadi alat tawar, bahkan perlawanan dari sebuha kontrol standar pasar yang ada.
Namun, di sisi lain proteksionisme jika tidak diimbangi dengan strategi peningkatan daya saing, bisa berujung pada terjadinya stagnasi ekonomi. Industri dalam negeri menjadi malas berinovasi, terlalu nyaman dengan kebijakan proteksi, dan akhirnya justru menjadi beban ekonomi suatu negara. Maka, di sinilah peran negara menjadi krusial dalam menyikapi kebijakan proteksi perdagangan. Proteksi semestinya bersifat sementara, sebuah masa adaptasi untuk memberi ruang bernapas, bukan tempat berlindung yang nyaman selamanya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, tidak sedikit negara yang terjebak pada kebijakan proteksi pasar, bahkan menjadikannya sebagai alat politik untuk meraup dukungan dari kelompok tertentu. Akhirnya, dalam jangka panjang, masyarakatlah yang menanggung beban melalui kenaikan harga barang atau jasa yang lebih mahal (keterbatasan dari sisi supply), pilihan produk yang semakin terbatas (close substitutes), dan ujungnya menjadikan daya saing ekonomi suatu negara menjadi stagnan.
Liberalisasi yang Tak Pernah Netral
Dalam forum-forum internasional seperti WTO atau G20, seringkali digaungkan seruan kolektif untuk menghapus hambatan dalam perdagangan internasional. Namun, yang luput dari perhatian banyak orang adalah sebuah kenyataan bahwa negosiasi internasional tidak pernah berlangsung dalam ruang yang setara. Di balik jargon "pasar terbuka", seringnya tersembunyi kalkulasi geopolitik dan negosiasi kekuasaan. Negara-negara maju memiliki daya tawar lebih kuat dalam hal kekuatan ekonomi, pengaruh geopolitik, dan akses teknologi yang jauh lebih tinggi, sehingga mampu menentukan arah kebijakan dan aturan main.
ADVERTISEMENT
Mereka bisa memilih kapan ingin bersikap liberal, dan kapan merasa perlu menarik rem (proteksi) dalam kebijakan perdagangan intersionalnya. Ketika merasa terancam oleh serbuan produk barang atau jasa impor dari negara lain, mereka tak segan memasang tarif atau menerapkan hambatan non-tarif. Sementara negara yang bukan menjadi pemain dominan, tanpa daya tawar yang memadai, hanya bisa mengikuti arus permainan.
Lebih dari sekadar transaksi barang dan jasa, perdagangan internasional juga melibatkan nilai, standar, bahkan narasi tentang bagaimana ekonomi seharusnya dijalankan. Dalam konteks ini, memahami bahwa proteksionisme bukan sekadar kebijakan ekonomi, tetapi juga bagian dari diplomasi, strategi geopolitik untuk mempertahankan ruang negosiasi dan tidak serta-merta tunduk pada arus dominasi.
Keseimbangan Antara Dua Sisi
Bagi banyak negara berkembang, dilema antara proteksionisme dan liberalisasi adalah persoalan yang sangat nyata. Di satu sisi, mereka perlu membuka diri untuk investasi, alih teknologi, dan perdagangan pada pasar global. Tapi di sisi lain, mereka juga harus menjaga agar pertumbuhan ekonomi tidak dibangun di atas rapuhnya fondasi industri domestik yang goyah.
ADVERTISEMENT
Maka, persoalan utama bukanlah apakah proteksionisme salah atau benar, melainkan bagaimana sebuah negara dapat menavigasi tarik-menarik antara kebutuhan melindungi industri domestik dan dorongan untuk membuka diri dalam iklim perdagangan internasional. Dalam dunia yang saling terhubung dan bergerak cepat, keterisolasian bukanlah pilihan. Tetapi, membuka diri secara mentah-mentah tanpa persiapan juga hanya akan menempatkan suatu negara pada posisi yang rentan. Dengan kata lain, proteksi tak cukup berdiri sendiri. Ia harus menjadi bagian dari strategi pembangunan jangka panjang.
Simplifikasi
Jika ditilik lebih dalam, pertanyaan penting dari semua ini adalah: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari liberalisasi perdagangan? Apakah rakyat kecil, petani, buruh, dan pelaku UMKM? Atau justru korporasi besar dan jaringan dagang transnasional yang bisa bergerak lintas batas global tanpa kendala?
ADVERTISEMENT
Memahami makna proteksionisme dalam konteks liberalisasi bukanlah tentang mencari siapa yang salah atau benar. Ini adalah soal menyadari bahwa dunia tidak bekerja dalam garis lurus. Politik ekonomi global adalah ruang negosiasi yang terus bergerak, dan negara yang ingin bertahan tidak bisa hanya berpegang pada idealisme semata. Ia harus tangguh, cermat membaca peluang, dan berani menempuh jalan tengah yang kerap kali tak nyaman.
Akhirnya, menelaah makna proteksionisme dalam liberalisasi perdagangan bukanlah tentang memilih salah satu sisi, melainkan bagaimana memahami bahwa dalam politik ekonomi global, kebenaran tidaklah tunggal. Ia cair, bergantung pada konteks, kepentingan, dan narasi yang dibangun. Seperti dua sisi koin, proteksionisme dan liberalisasi bukan lawan yang harus dibandingkan, melainkan bagaikan pasangan yang terus berdansa di panggung yang sama: menghadapi gejolak dunia yang semakin dinamis dan opportunis.
ADVERTISEMENT