Hilirisasi Nikel Nasional dan Merosotnya Industri Manufaktur Indonesia

Ilham Azhar Lubis
MaIR Candidate, Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
24 Oktober 2023 19:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Azhar Lubis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tambang nikel. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tambang nikel. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah kalah dalam sidang sengketa dengan Uni Eropa di WTO atas dasar kebijakan hilirisasi hasil tambang nasional terutama pada bijih nikel pada Desember 2022 lalu, Indonesia dihadapkan dengan tantangan atas dampak program tersebut yang telah berjalan satu dasawarsa—yang dinilai oleh pakar ekonom tidak signifikan, terutama dalam membantu penguatan industri manufaktur dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Dalam data, peranan sektor industri manufaktur Indonesia terhadap sumber pendapatan devisa negara pada tahun 2022 merosot hingga pada angka 18,3 persen, menjadi yang terendah sejak satu dasawarsa yang lalu. Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri mengatakan terjadi ketimpangan atas hasil program hilirisasi industri nikel nasional yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo.
Program hilirisasi mineral tambang Indonesia merupakan proyek pemrosesan serta pemurnian bijih nikel menjadi nikel pig iron (NPI) dan fero nikel yang sudah berjalan selama satu dasawarsa dinilai justru menguntungkan proses industrialisasi negara tirai bambu, Tiongkok. Sejak Agustus lalu, Faisal dan Presiden Joko Widodo beradu data mengenai perhitungan keuntungan pendapatan devisa negara melalui program hilirisasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Faisal mengungkapkan, 99 persen hasil pengolahan bijih nikel dalam negeri diekspor ke Tiongkok. Jika demikian, program hilirisasi industri nikel Indonesia secara tegas lebih mendukung proses industrialisasi negara tersebut ketimbang membantu meningkatkan sektor industri manufaktur dalam negeri dikutip melalui diskusi Indef Agustus lalu. Lebih dari itu, hal ini menjadi polemik bagi isu keamanan sumber daya tambang nasional.
Menanggapi kritik tersebut, Presiden Joko Widodo tidak tinggal diam. Beliau mempertanyakan hitung-hitungan Faisal Basri tersebut dengan mencontohkan bahwa program hilirisasi bijih nikel nasional membawa keuntungan bagi Indonesia sendiri.
Dalam sebuah wawancara pada stasiun LRT Dukuh Atas Jakarta, Presiden Jokowi mengilustrasikan data jika saat nikel diekspor dalam bentuk bahan mentah, dalam satu tahun hanya akan menghasilkan kira-kira Rp 17 triliun.
ADVERTISEMENT
Dalam proses down streaming, setelah memasuki ke proses hilirisasi, nilai ekspor industri nikel mampu naik hingga Rp 510 triliun. Hal ini tentu mampu menambah value added sektor industri nikel Indonesia, ungkap Presiden Jokowi membantah pandangan ekonom senior Indef tersebut.
Jika dibandingkan, tentu pendapatan devisa negara melalui pajak seperti PPN, PPH badan, PPH karyawan, PPH perusahaan, royalti bea ekspor akan jauh lebih tinggi ketika nilai ekspor nikel ada pada angka Rp 510 triliun dibanding jika Indonesia hanya mengekspor nikel dalam bentuk mentah dengan nilai Rp 17 triliun saja.

Ketimpangan Data Melalui Pernyataan Presiden Jokowi

Presiden Jokowi. Foto: Biro Setpres
Angka yang tersaji dalam data yang dipaparkan oleh Presiden Jokowi sebelumnya terdapat ketidaksesuaian dengan data yang diperoleh oleh Faisal Basri melalui laman website resmi Indef. Pada tahun 2014, nilai ekspor nikel mentah dengan kode HS 2604 tertera hanya sebesar Rp 1 triliun.
ADVERTISEMENT
Angka tersebut didapatkan melalui nilai ekspor bijih nikel dengan kode HS 2604 senilai USD 85,913 juta dikalikan dengan rerata nilai tukar rupiah di tahun yang sama pada angka Rp 11,865 per USD 1.
Pada tahun 2022 lalu, hasil dari program down streaming nasional pada sektor besi dan baja dengan nilai ekspor sebesar USD 27,8 miliar. Jika dikonversikan dengan rerata nilai tukar rupiah pada saat itu yaitu Rp 14,876 per USD, maka nilai yang didapatkan hanya sebesar Rp 413,9 triliun.

Bagaimana Program Hilirisasi Nikel Indonesia Lebih Menguntungkan Industrialisasi Tiongkok?

Ilustrasi Nikel. Foto: EVGEIIA/Shutterstock
Indonesia saat ini menganut rezim devisa bebas yakni sebuah sistem lalu lintas devisa bebas biaya melalui perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk/residen dan non penduduk/non residen termasuk aset dan kewajiban luar negeri antar penduduk.
ADVERTISEMENT
Hal ini membebaskan para pemilik aset untuk memindahkan barang dalam hal ini hasil olahan nikel lewat proses hilirisasi di mana smelternya 100 persen dimiliki oleh Tiongkok di Indonesia menjadi terbebas pajak serta biaya untuk dipindahkan ke negara tirai bambu tersebut. Hal ini jelas memberikan keuntungan yang sangat besar bagi industrialisasi Tiongkok melalui pasokan nikel olahan yang berasal dari Indonesia.
Jika program hilirisasi nikel nasional dinilai mampu menguntung devisa negara, Faisal Basri mempertanyakan kemana dana hasil ekspor yang sudah seharusnya dinikmati oleh Indonesia melui data paparan oleh Presiden Jokowidodo sebelumnya mengenai keuntungan program hilirisasi industri nikel.
Lewat program hilirisasi ini, para pemilik smelter mendapatkan akses mewah guna memanfaatkan kekayaan industri nikel Indonesia dengan dianugerahkannya program tersebut dengan status proyek strategis nasional. Hilirisasi nikel Indonesia dinilai "ugal-ugalan" dalam eksplorasi bahan tambang Indonesia, dengan keuntungan yang mengalir kembali ke tanah air hanya sebesar 10 persen.
ADVERTISEMENT

Indonesia's Nickle Down Streaming Towards Manufacture Sector

Ilustrasi Nikel. Foto: RHJPhtotos/Shutterstock
Selayaknya tujuan awal program hilirisasi nikel Indonesia guna menambahkan value added yang digadang mampu meningkatkan pendapatan negara melalui proses ekspor bijih nikel olahan lewat smelter.
Namun demikian fakta dan hitungan di lapangan dalam aktualisasi program tersebut menunjukkan fenomena yang bertolak belakang. Keberadaan smelter nikel di Indonesia yang keseluruhannya dimiliki oleh Tiongkok, juga tidak memperdalam struktur industri nasional.
kemerosotan terjadi pada sektor manufaktur yang berpengaruh terhadap pendapatan devisa negara dalam satu dasawarsa hingga pada angka 18,3 persen. Hal ini menjadi bukti bahwa pengaruh program downstreaming tidak dirasakan signifikan.
Padahal produk smelter dalam bentuk besi dan baja bisa langsung dipakai untuk keperluan bahan baku seperti industri pesawat terbang, kapal, dan otomotif, atau bahkan pada industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun.
ADVERTISEMENT
Hampir separuh ekspor nikel olahan dengan kode HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Hampir keseluruhan produk nikel olahan ini tidak dilanjutkan guna memperkuat sektor industri manufaktur nasional, meski ada, jumlahnya dirasa tidak terlalu signifikan.
Value added dari program hilirisasi nikel sebagian besar dinikmati oleh para pengusaha dalam bentuk laba, pemodal dalam bentuk bunga, pekerja dalam bentuk upah, pemilik lahan dalam bentuk sewa. Lain halnya dengan hampir keseluruhan smelter nikel dimiliki oleh pengusaha asal Tiongkok. Belum lagi fasilitas tax holiday yang mereka dapatkan, tidak satu persen pun keuntungan itu mengalir kembali ke Tanah Air.
Pembangunan smelter nikel Indonesia, hampir 100 persen modal berasal dari perbankan Tiongkok yang pendapatan bunganya juga hampir keseluruhan kembali ke mereka. Pengadaan tenaga ahli di antaranya seperti juru masak, keamanan, tenaga statistik, hingga sopir juga berasal dari Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Belum lagi fakta bahwa banyak dari tenaga kerja mereka menggunakan visa kunjungan dan bukan visa bekerja, hal ini memunculkan kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar USD 100 per pekerja dalam satu bulan. Para pekerja asal Tiongkok rata-rata digaji Rp17 juta hingga Rp 54 juta.
Namun demikian, rata-rata pekerja Indonesia digaji jauh lebih rendah atau berada di kisaran upah minimum. Dengan status visa kunjungan, para pekerja asal Tiongkok di smelter sangat mungkin untuk tidak membayar pajak penghasilan.
Meski para pengusaha smelter turut membayar pajak bumi dan bangunan, namun nilainya amatlah kecil dibanding keuntungan yang mereka dapatkan. Mereka memperoleh nikel mentah Indonesia dengan harga super murah. Faisal Basri mengungkapkan pemerintah sangat bermurah hati dalam menetapkan harga bijih nikel yang jauh lebih rendah dari harga internasional.
ADVERTISEMENT
Seyogyanya, tidak ada satu pun ahli yang meragukan bahwa smelter nikel mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi bagi industri nikel Indonesia. Namun, sebuah pertanyaan kembali bergulir, lantas kepada siapa keuntungan dari nilai tambah tinggi itu dapat dinikmati?