Inkonsistensi Status Legal Perjanjian Internasional

Ilham Azhar Lubis
MaIR Candidate, Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
16 Juni 2022 17:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Azhar Lubis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Inkonsistensi Status Legal Perjanjian Internasional Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Internasional yang Relevan. source pict: https://unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Inkonsistensi Status Legal Perjanjian Internasional Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Internasional yang Relevan. source pict: https://unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perjanjian Internasional sejatinya menjadi sumber bagi hukum internasional yang diharapkan mampu berlaku secara efektif ketika suatu negara berikrar guna meratifikasinya. Dalam praktiknya, terdapat proses perumusan langkah yang akan menentukan tindakan yang akan diambil oleh suatu negara di balik diratifikasinya sebuah perjanjian internasional. Dalam Duncan (2000), terdapat dua sifat hukum internasional yang mengatur perjanjian kerjasama internasional yaitu, between soft and hard law.
ADVERTISEMENT
Meski demikian ditegaskan para akademisi hubungan internasional bahwa, tidak sepenuhnya perjanjian internasional menerapkan ketegasan dalam implementasi ratifikasi dalam hukum internasional yang seharusnya juga dilaksanakan ke dalam hukum nasional guna menunjukkan kesungguhan/komitmen dari negara dalam menyepakati perjanjian internasional.
Berangkat dari sana, dapat dilihat sebuah sifat inconsistency on preserving beliefs in the international sphere.
Duncan menekankan bahwa ketika sebuah komitmen dianggap sebagai hard law, efek yang paling dirasa bagi negara yang meratifikasinya ialah pengaruh terhadap reputasi dari aksi pelanggaran yang dapat digeneralisasi ke seluruh subjek perjanjian dalam hukum internasional, that is to the most of international agreements.
Inkonsisten dalam kepercayaan terhadap sebuah perjanjian internasional sejatinya dipengaruhi oleh sifat dan perilaku aktor, sebagaimana diyakini oleh paham realis dalam asumsi sifat "anarkisme" dari spektrum internasional.
ADVERTISEMENT
Meski pada asumsi awal disebutkan bahwa kesungguhan dari sebuah negara dapat dilihat dari sejauh mana mereka mengimplementasikannya, terdapat beberapa alternatif yang ditawarkan dalam proses legalisasi yang dinilai menjadi bentuk implementasi komitmen yang reliable, diantaranya implementasi ke dalam prinsip kedaulatan, rekognisi, teritorial yang kompeten, sikap non-ineterfensi, dan lain-lain.
Implementasi ini mendorong negara untuk bersikap nirkekerasan, bagaimana kekerasan dianggap melemahkan sistem legal internasional dan merugikan bagi mereka sendiri.
Hadirnya institusi-institusi internasional sebagai pranala pengatur bagi banyaknya perjanjian kerjasama internasional sebagai pengisi dari the absence of world governance, menyumbang dampak bagi tidak konsistennya perjanjian internasional itu sendiri. Sering kali, implementasi dari subjek hukum yang dipranalai oleh para organisasi internasional dianggap tidak sesuai dengan beberapa kasus sengketa perjanjian internasional.
ADVERTISEMENT
Dalam forum akademis UNCITRAL, The Working Group 3 (WGII) yang memiliki fokus terhadap kekurangan inkonsistensi dari sistem penyelesaian sengketa investasi yang terjadi di mahkama internasional.
Dalam tulisan tersebut, Brown dkk menekankan bahwa kasus yang tidak adil dari inkonsistensi ialah kasus di mana standar perjanjian investasi dengan ketentuan yang sama dari pembuat hukum internasional diinterpretasikan dengan cara yang berbeda (UN Doc No A/CN.9/935 (14 May 2018), para. 21) dalam sengketa ketidaksesuaian keputusan yang diambil oleh ISDS (Investor-State Dispute Settlement) pada tahun 2018. Meski demikian, inkonsistensi bisa dibenarkan jika pengadilan menafsirkan teks perjanjian yang sama dengan materi kajian yang berbeda, atau, menafsirkan perjanjian yang sama dengan fakta yang berbeda secara uji materi. Namun, yang menjadi perhatian adalah saat peradilan mencoba untuk membentuk sebuah substansi argumen interpretatif yang tidak dapat dibenarkan secara material.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, sebuah dispute dalam perjanjian internasional dapat dilihat dari tiga persoalan seperti, implementasi kewajiban dalam Full Protection Security (FPS); implementasi kontrak/perjanjian, dan ruang lingkup klausa Most-Facoured-Nation (MFN) dalam menentukan sebuah inkonsistensi.
Brown dkk dalam temuannya menyebutkan bahwa terdapat dua jenis inkonsistensi dalam penerapan kesepakatan dalam perjanjian internasional, di antaranya implementasi yang tidak konsisten dari kewajiban yag bersifat dasar substansi (FPS) dan implementasi yang tidak konsisten dari aturan main yang lebih struktural sifatnya (MFN dan persoalan yang terjadi pada kontrak dan perjanjian).
Hirarkinya, beberapa kasus inkonsistensi dapat ditangani, missal, negara tidak harus khawatir dengan interpretasi yang tidak konsisten pada FPS. Mereka sebetulnya bisa menjelaskan kembali arti sebuah perjanjian melalui dokumen perjanjian, amandemen, atau gabungan interpretasi. Secara teori, dalam kasus di atas para investor bisa mengatur ketidaksesuaian melalui private agreement dengan menyusun kontrak baru untuk hal yang mereka yakin perlu.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, tidak konsistennya sebuah perjanjian internasional sebagai salah satu sumber hukum internasional juga karena ketiadaan definisi yang jelas keterkaitan antara hukum internasional dengan hukum nasional di seluruh negara secara fundamental. Para pakar hukum Indonesia dalam “Status Hukum Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional RI” menuturkan bahwa hal tersebut berkembang dari berbagai alur pikiran yang dapat dipetakan seperti:
1. Alur Pikiran yang memposisikan perjanjian internasional yang sudah diratifikasi menjadi bagian dari hukum nasional;
2. Alur pikiran yang mengharuskan adanya tindakan legislasi nasional tersendiri bagi implementasi sebuah perjanjian internasional yang telah diratifikasi.
Hal ini terjadi karena ketidakjelasan dari doktrin yang dianut oleh hukum negara tersebut tentang hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Dalam kompleksitas persoalan inkonsistensi, simplifikasi dari status legal perjanjian internasional sering kali mutlak didefinisikan sebagai kategori soft law yang adjustable dan tidak mengikat.
ADVERTISEMENT
Tinjauan Pustaka
Snidal, K. W. (2000). Hard and Soft Law in International Governance. International Organization, Summer, 2000, Vol. 54, No. 3, Legalization and World Politics, 421-456.
Simbolon, M. (2014). Perjanjian Internasional Sebagai Instrumen Rekayasa Global dan Harmonisasi Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan. Sapentia et Virtus Vol. 1 No. 1, 49-81.
Lu, C. (2021, Januari 5). World Government. First published Mon Dec 4, 2006; substantive revision.
Chester Brown, F. O. (2019). Lack of Consistency and Coherence in the Interpretation of Legal Issues. Journal of International Law.
Agusman, D. D. (2017). Status Hukum Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional RI. Hukum Internasional, 488-504.