Ketimpangan dalam Perubahan Cuaca, Buah dari Dampak Ketidakadilan

Ilham Azhar Lubis
MaIR Candidate, Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
9 April 2022 13:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Azhar Lubis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pict source: <a href='https://www.freepik.com/vectors/deforestation'>Deforestation vector created by brgfx - www.freepik.com</a>
zoom-in-whitePerbesar
pict source: <a href='https://www.freepik.com/vectors/deforestation'>Deforestation vector created by brgfx - www.freepik.com</a>
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berbicara mengenai ketidakadilan dalam sebuah bencana, ada pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) secara khusus yang harus diwujudkan kepada mereka para penyintas. Manual to The Operational Guidelines on Human Rights and Natural Disasters mencatat, mereka para korban yang akhirnya terpaksa harus kehilangan keluarga, pekerjaan, hingga tempat tinggal rentan mengalami risiko pelanggaran HAM. Seperti diskriminasi, kekerasan ekonomi, sosial dan budaya merujuk ke arah sistemik dari waktu ke waktu.
ADVERTISEMENT
Cuaca diartikan sebagai sebuah ukuran rata-rata dan variabilitas kuantitas yang relevan dari beberapa variabel tertentu (misalnya temperatur, curah hujan dan juga angin) perubahan cuaca merupakan sebuah fenomena pergeseran kondisi rata-rata dari variabel-variabel tersebut, naik dan turunnya suhu, intensitas curah hujan dan juga angin menjadi penyebab bagi terjadinya berbagai macam bencana alam.
Tahukah kamu, saat ini suhu bumi tercatat naik 1,1 derajat Celsius setiap tahunnya? Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporannya memprediksi jika bumi hanya memiliki 15 tahun hingga 2030 sebelum mencapai batas aman kenaikan suhu rata-rata 1,5 derajat Celsius per tahun.
Dengan produksi emisi karbon saat ini, bumi mengarah ke angka kenaikan 3 derajat Celsius per tahunnya. Kenaikan suhu ini menyebabkan banyak terjadinya bencana alam, seperti meningkatnya panas cuaca hingga naiknya level permukaan air laut.
ADVERTISEMENT
Dalam skala yang ekstrem, akan banyak makhluk hidup yang tidak bisa bertahan hingga terancam punah pada sebuah suhu tertentu hingga banyak pulau yang akan tenggelam membawa ancaman serius pula bagi manusia.
Mengaitkannya dengan ketidakadilan yang terjadi dalam sebuah bencana alam, kesenjangan kapasitas sebuah entitas sosial menjadi alasannya. Lebih dari itu terdapat persoalan kegagalan struktural atas respons para pemangku kebijakan yang membuat perubahan cuaca menjadi bukan sekadar murni bencana alam namun juga berkaitan tentang ketidakadilan, berbagai macam forum dibentuk dalam merespons isu perubahan cuaca. Resolusi hingga proliferasi disusun, namun melupakan bahwa disparitas dari penyintas hingga pelanggaran HAM di tengah persoalan perlu untuk diperhatikan.
Pada teorinya, Climate Injustice berkaitan dengan bagaimana dampak dari perubahan iklim akan dirasakan secara berbeda oleh kelompok yang satu dengan lainnya dan bagaimana beberapa orang dan wilayah akan lebih rentan daripada yang lain.
ADVERTISEMENT
Tetapi yang perlu digarisbawahi ialah, kerentanan bukanlah bawaan dari beberapa kelompok tersebut melainkan ditentukan oleh campuran faktor sosio-ekonomi, lingkungan, budaya, praktik kelembagaan seperti aturan perencanaan dan kebijakan perumahan serta kemampuan masyarakat itu sendiri untuk merespon.
Climate injustice juga berbicara mengenai ketimpangan distribusi biaya untuk sebuah kebijakan yang diambil dalam menangani isu perubahan iklim (cth. pajak hingga peralihan hak kepemilikan wilayah sebagai ruang terbuka hijau) kemudian menekan mereka yang secara proporsional mendapat dampak paling besar dari perubahan cuaca, meskipun mereka memiliki andil paling sedikit dalam sumbangsih emisi karbon di bumi.
Solomon island sebuah negara kepulauan kecil yang terletak di sebelah timur Papua nugini dan barat laut Vanuatu, menjadi salah satu contoh konkret dari kasus climate injustice. Sebuah negara berkembang yang memproduksi emisi karbon sebanyak 341.748 ton di dunia per tahun 2016, angka ini akan jauh dibandingkan dengan Singapura yakni 48.381.759 ton per tahun meski dengan populasi 120 kali lebih sedikit.
ADVERTISEMENT
Sebuah studi terkait mengeklaim bahwa lima pulau dari kepulauan Solomon di wilayah Pasifik Tenggara sepenuhnya tenggelam ke laut atas efek naiknya level permukaan air laut.
Studi yang diterbitkan di jurnal Environmental Research Letters tersebut, menandai untuk pertama kalinya secara langsung bahwa hilangnya garis pantai pulau-pulau Solomon berkaitan dengan pemanasan global yang disebabkan oleh manusia. Studi tersebut memproyeksikan bahwa kenaikan permukaan laut yang berkelanjutan menimbulkan ancaman langsung bagi sekitar 500.000 orang yang menyebut Solomon Island sebagai rumah.
Melalui pranala proyeksi masalah tersebut, dapat dilihat bagaimana Solomon Island memiliki andil yang kecil dalam produksi emisi karbon dunia namun mendapatkan ancaman sangat serius dari dampak perubahan cuaca. Meski demikian, respon dan komitmen dari negara-negara penghasil karbon terbesar dunia yang dianggap "layak" turut bertanggung jawab dari terjadinya bencana ini masih “pantas” untuk dipertanyakan dalam menegakkan "keadilan".
ADVERTISEMENT
Rujukan:
Human Rights and Natural Disasters "Operational Guidlines and Field Manual on Human Rights Protection in Situations of Natural Disaster" Pilot Version (2008)
Climate Change and Social Justice: an Evidence Review by Joseph Rowntree Foundation
Environmental & Climate Justice by NAACP
What we mean by “Climate Injustice” by Josh Leach
Headlines “exaggerated” climate link to sinking of Pacific Islands by Karl Mathiesen
Discourses in Solomon Islands by Jan van der Ploeg and friends
Sinking Islands, Drowned Logic; Climate Change and Community-Based Adaptation