Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Anggota Dewan, Anda Bukan Dewa, Saudaraku
15 Februari 2022 13:14 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ilham Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Catatan Ilham Bintang
Gaduh anggota DPR-RI di gedung Parlemen, Senin (14/2), bikin kita miris. Miris dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu perasaan ketika realita yang dihadapi bertolak belakang secara signifikan dengan ekspektasi.
ADVERTISEMENT
Kemarin ramai diberitakan wartawan, Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim diusir oleh Komisi VII DPR RI saat rapat dengar pendapat (RDP) hari itu. Ketegangan pecah ketika Dirut KS itu secara spontan merespons ungkapan “jangan maling teriak maling” yang dilontarkan Bambang Haryadi, Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI dari Fraksi Partai Gerindra. Bambang menyoal Blast Furnace Krakatau Steel yang operasinya dihentikan.
Saat Bambang berkata “jangan maling teriak maling", Silmy spontan menyelak. Mungkin kaget dengan diksi kasar itu. “Maling teriak maling maksudnya apa Pak?” diselak begitu Bambang pun murka dan mengusir bos perusahaan baja pelat merah itu.
Padahal, menurut laporan wartawan, Silmy sebenarnya sudah menjelaskan penyebab pabrik yang beroperasi sejak 2019 itu akhirnya 'mati suri'. Pihak KS sudah menghitung antara produk yang dihasilkan dengan harga jual tidak cocok, atau dengan kata lain rugi.
ADVERTISEMENT
“Dengan izin Kementerian BUMN, kemudian konsultasi dengan BPK, dengan kajian lembaga independen, kita putuskan untuk dihentikan operasinya," kata Silmy dalam RDP itu, seperti dikutip dari detikcom.
Dirut KS diusir karena dianggap melanggar tata tertib sidang RDP. Harusnya, kalau mau bicara atau menanggapi, Silmy harus minta izin pimpinan sidang. Itu pun harus tunggu Bambang selesai bicara. Tak jelas apakah tata tertib itu juga mengatur keharusan anggota DPR-RI sebagai tuan rumah bersikap santun kepada tamunya. Menjaga jangan sampai melontarkan pernyataan kasar yang menyinggung perasaan. Yang pasti, saat itu juga Silmy pun meninggalkan ruang sidang RDP.
Arogansi
Peristiwa Silmy bukan kejadian pertama di parlemen yang dilakukan oleh anggota terhormat kita. Masih segar dalam ingatan bulan lalu Arteria Dahlan, anggota DPR-RI F-PDI, juga bikin ulah begitu saat RDP (Rapat Dengar Pendapat) dengan Kejaksaan Agung. Ia marah karena ada jaksa yang berbahasa Sunda waktu rapat. Maka, dengan lantang ia pun meminta Jaksa Agung memecat jaksa itu.
Di luar dugaannya, peristiwa itu justru menyulut amarah banyak pihak. Demo meletup di banyak tempat. PDI-P pun terimbas efeknya. Benderanya sempat dibakar oleh massa demo yang marah. Argumentasi Arteria memang sangat konyol. Berbahasa Sunda dianggap pengingkaran komitmen berbangsa. Entah dia diajari siapa atau entah dapat dari mana wangsit konyol itu.
ADVERTISEMENT
Hak Imunitas
Gaduh di gedung Parlemen kemarin mencuatkan kembali pertanyaan mendasar. Apakah para anggota DPR-RI memahami betul tupoksi (tugas pokok dan fungsi) mereka?
Secara legalistik formal tupoksinya adalah menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU); Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah). Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD.
Para anggota DPR-RI adalah orang-orang terhormat yang terpilih dalam Pemilu sekali dalam lima tahun. Jumlah mereka seluruhnya 560 (lima ratus enam puluh) wakil rakyat yang duduk di DPR RI, dari 77 Daerah Pemilihan (Dapil). Mereka mewakili 270 juta rakyat Indonesia. Wajar jika ekspektasi rakyat sehari-hari mereka berlaku sesuai perilaku sebagai orang terhormat. Sepatutnya mereka memang merepresentasikan keluhuran bangsa Indonesia sekaligus.
ADVERTISEMENT
Mau tahu fasilitas yang mereka dapatkan sebagai para wakil kita? Bisa dimulai dari mobil dinas yang menggunakan nomor khusus. Setiap anggota diperlengkapi beberapa tenaga staf. Rumah, mobil, pulsa handphone, listrik, air, dan macam-macam lagi ditanggung negara. Mungkin hanya pampers yang tidak.
Di masa pandemi, mereka bebas melenggang tanpa karantina setelah perjalanan luar negeri. Punya hak imunitas. Maksudnya, tidak mudah dijerat kasus pidana. Terbukti dalam kasus Arteria Dahlan itu. Walaupun, lebih separuh warga negeri bereaksi marah atas arogansi anggota DPR yang berpotensi memecah belah bangsa, toh kasusnya selesai hanya dengan permintaan maaf. Berbagai pihak yang mengadukannya ke polisi atas dugaan ujaran kebencian, hanya bisa kecele. Polisi menghentikan penyelidikan karena seperti disebut di atas, ada hak imunitas yang melekat pada dirinya.
ADVERTISEMENT
Anda heran? Jangan heran. Sebelumnya, beberapa menteri juga pernah disetrap tidak boleh hadir di parlemen. Tampaknya memang begitu "fitrah" yang dimaui mereka: berlaku seperti dewa. Arogan dan egois. Seperti hanya berprinsip "Wal laba wal bala" Artinya, sejauh laba (menguntungkan) itu hak mereka. Sedangkan sebaliknya "bala" (risiko) biar kalian, rakyat saja yang pikul.
Bahkan, ada yang menganggap dirinya setara Presiden untuk mengimpresikan sebagai makhluk "tak tersentuh". Seperti yang pernah dinyatakan Hillary Brigitta Lasut, anggota DPR-RI termuda dari Fraksi Partai NasDem. Ya, ampun. Padahal, yang memikul seluruh konsekuensi finansial atas segala kebutuhan hidup mereka selama berdinas adalah negara (rakyat).
Perilaku wakil rakyat kita memang bikin kita semua miris. Mereka bukan Dewa, tetapi anggota Dewan—yang di dalam sistem demokrasi kita mereka adalah bagian dari penyelenggara yang mestinya menjadi pengayom dan teladan masyarakat. Namun, justru mereka yang sering memicu gaduh di negeri ini. Karena arogansi maupun korupsi. Sejak reformasi, entah berapa ratus anggota terhormat itu yang digelandang masuk bui.
ADVERTISEMENT
Yang bikin gaduh karena kasus arogansi, lebih sulit menghitungnya. Presiden KH Abdurrahman Wahid saja sampai sampai pernah menjuluki mereka memang bermental seperti anak taman kanak-kanak.
Tentu saja tidak semua seperti itu. Masih banyak yang bisa menunjukkan sikap kenegarawanan. Namun, seperti kata pepatah "nilai setitik rusak susu sebelanga" seperti itulah hukum masyarakat berlaku.