Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
In Memoriam Nano Riantiarno: Naskahnya Akan Saya Tulis di Tempat Lain
20 Januari 2023 16:27 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ilham Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berita kepergian seniman Nano Riantiarno yang menyebar Jumat (20/1) pagi di berbagai WAG (WhatsApp Group) menyentak dunia kesenian di Tanah Air. Indonesia kembali berkabung, kehilangan seniman terbaiknya.
ADVERTISEMENT
Pimpinan Teater Koma itu mengembuskan napas terakhir Jumat (20/1) pagi pukul 06.58 WIB di rumahnya. Ia meninggal dalam usia 73 tahun. Meninggalkan seorang istri, aktris terkenal Ratna Riantiarno, tiga anak, dan satu cucu.
"Dia pergi dengan amat tenang. Sempat beberapa kali mengucap salam perpisahan sebelum menutup mata selamanya," cerita Ratna yang saya hubungi Jumat pagi melalui telepon.
Nano meninggal akibat kanker. Itu diketahui belakangan, beberapa bulan terakhir setelah menyebar luas sampai ke paru-paru. Semula hanya pembengkakan paha yang disangka “hanya” tumor.
Namun, awal Januari ketika dibawa ke RS Kanker Dharmais, dia menghadapi vonis tim medis: kanker itu sudah stadium akhir. Ada dua pilihan, salah satunya kemoterapi (chemotherapy). Tetapi keluarga memutuskan pilihan kedua untuk dibawa pulang dan dirawat di rumah saja, sesuai permintaan Nano sendiri.
ADVERTISEMENT
"Mas Nano memang selalu minta pulang, nggak betah di RS," kata Ratna.
Menurut cerita Ratna, sejak pulang dari RS, kondisi almarhum terus menurun. Jumat subuh tadi tekanan darah anjlok ke angka 60 (120/80). Sama dengan angka saturasinya, 60 juga (normal 95).
Biarpun dalam kondisi lemah tidak menyebabkan semangat berkesenian Nano mengendor. Tahun ini ia merencanakan untuk pementasan teater di Papua. Judulnya Matahari di Papua dan naskahnya sudah dia rampungkan. Malah, Nano sudah pula memikirkan pementasan lanjutan Matahari di Papua itu.
"Belakangan baru sadar itu sulit diwujudkan mengingat kondisinya. Mas Nano lalu bilang, naskahnya nanti dia selesaikan di tempat lain," kenang Ratna.
Nano salah satu seniman Indonesia yang saya kagumi. Kami puluhan tahun berkawan. Nano pribadi yang baik. Humble dan familiar. Saya sedang berada di Melbourne, Australia ketika Nano masuk RS. Saya mengikuti proses penanganan medis almarhum di RS melalui WAG Artis Senior di mana ada Ratna di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Seniman Tangguh
Nano seniman tangguh. Nano berhasil mengatasi problem yang umumnya dialami seniman dan grup teater di Tanah Air : kekurangan biaya produksi dan kurang apresiasi dari penonton. Nano berhasil mengelola Teater Koma dengan manajemen modern, menjadikannya grup teater satu-satunya di Tanah Air yang berhasil menjadi "provit center".
Maka itu bisa bertahan hingga kini, sementara grup teater besar yang lebih dulu berkiprah bertumbangan. Bahkan sepeninggal almarhum, saya yakin Teater Koma tetap akan berjaya. Ada Ratna Riantiarno bisa menggantikan posisinya memutar baling-baling kreativitas Teater Koma.
Teater Koma punya agenda panggung yang teratur, punya penonton setia, punya hubungan kemitraan dengan banyak institusi bisnis. Kapan saja menggelar pementasan, dijamin ada penonton dan sponsor untuk membiayai produksinya. Pada waktu pandemi Covid19 saja pun Teater Koma tetap eksis dengan pertunjukan secara virtual.
ADVERTISEMENT
Bernama lengkap Norbertus Riantiarno, pria kelahiran Cirebon, 6 Juni 1949, ini berlimpah bakat. Mulai dari sebagai aktor, penulis, sutradara, wartawan, dan tokoh teater Indonesia.
Nano sendiri sudah aktif di teater sejak 1965 di kota kelahirannya. Setamat SMA tahun 1967, dia melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta, kemudian pada 1971 masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta.
Tahun 1968 Nano bergabung dengan Teguh Karya, salah seorang dramawan terkemuka Indonesia dan ikut mendirikan Teater Populer di tahun itu. Pada 1 Maret 1977, dia mendirikan Teater Koma, sangat produktif di Indonesia saat ini. Ratusan naskah telah dipentaskan untuk panggung dan televisi.
Film layar lebar karya perdananya CEMENG 2005 (The Last Primadona) tahun 1995, diproduksi oleh Dewan Film Nasional Indonesia. Nano sendiri menulis sebagian besar karya panggungnya, seperti Rumah Kertas, Pialang Segitiga Emas, Trilogi Opera Kecoa, dan Opera Primadonna, dan banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Teater Koma juga pernah memanggungkan karya-karya penulis kelas dunia, antara lain Woyzeck karya George Buchner, The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht, The Good Person of Shechzwan karya Bertolt Brech, The Comedy of Errors dan Romeo Juliet karya William Shakespeare, Women in Parliament karya Aristophanes, Orang Kaya Baru dan Tartuffe atau Republik Togog karya Moliere.
Langganan Pencekalan
Sebagai seniman, perjalanan karier Nano tidak seluruhnya mulus. Ia pernah menghadapi interogasi, pencekalan dan pelarangan, kecurigaan serta ancaman bom, ketika akan mementaskan pertunjukannya. Tetapi semua itu dihadapi sebagai sebuah dinamika perjalanan hidup.
Beberapa karyanya bersama Teater Koma, batal pentas karena masalah perizinan dengan pihak yang berwajib. Beberapa di antaranya berjudul Maaf.Maaf.Maaf. (1978); Sampek Engtay (1989) di Medan, Sumatera Utara; Suksesi dan Opera Kecoa (1990), keduanya di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Akibat pelarangan itu, rencana pementasan Opera Kecoa di empat kota di Jepang (Tokyo, Osaka, Fukuoka, Hiroshima), 1991, urung digelar karena alasan serupa. Opera Kecoa, pada Juli-Agustus 1992, dipanggungkan oleh Belvoir Theatre, salah satu grup teater garda depan di Sydney, Australia.
Saat ini jenazah mendiang disemayamkan di Rumah Duka: Sanggar Teater Koma, Jl. Cempaka Raya No. 15, Bintaro, Jakarta Selatan. Rencana pemakamannya pada Sabtu (21/1) siang di Taman Makam Giri Tama, Tonjong, Bogor.
Tiada lagi Mas Nano.