In Memoriam Yazirwan Uyun: Selamat Jalan, Sahabat yang Baik Hati

Konten dari Pengguna
15 Januari 2021 12:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yazirwan Uyun (kanan). Kredit foto: Ilham Bintang.
zoom-in-whitePerbesar
Yazirwan Uyun (kanan). Kredit foto: Ilham Bintang.
ADVERTISEMENT
Dering telepon subuh tadi membawa berita duka, duka mendalam: Yazirwan Uyun, sahabat yang baik hati, wafat. Mantan Dirut TVRI, Komisioner KPI dua periode, dan pengurus PWI Pusat.
ADVERTISEMENT
Yang menelepon Wiwien Sri Soendari, mantan wartawan/penyiar TVRI. Wiwien tetangga satu kompleks, dan kawan kami jalan pagi.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
Iwan, begitu kami menyapanya, meninggal dunia pada sekitar pukul 04.40, Jumat (15/1) di RS Pondok Indah Bintaro Jaya. Ia meninggal dalam usia 66 tahun (kelahiran Bukittinggi, Sumbar, 2 Oktober 1954). Meninggalkan seorang istri, Rosdiana tiga anak, Hendra, Floransie, dan Noni, serta lima cucu.
Kontak saya terakhir dengan mendiang 1 Januari lalu. Iwan mengirim fotonya di WAG para sahabatnya waktu meninggalkan RSPI Bintaro.
Ia merespons ucapan kawan-kawan ketika ia masuk RS itu sepuluh hari sebelumnya. “Bro KI dan Bro IB terima kasih yah atas perhatiannya. Alhamdulillah saya boleh tinggalkan RS setelah dirawat 10 hari. Hasil swabnya sudah negatif,” tulisnya.
ADVERTISEMENT
Alhamdulillah.
Dalam foto itu Iwan didampingi nakes ber-APD lengkap, sambil tersenyum dan mengacungkan jempol. Siapa mengira foto itu ternyata menjadi kenangan terakhirnya. Lima belas hari kemudian di RS itulah ia mengembuskan napas terakhir.
Iwan kembali masuk RSPI Bintaro Sabtu 9 Januari karena mendapat serangan stroke. Jatuh di kamar tidurnya dan mengalami pecah pembuluh darah otak. Rentang waktu seminggu itulah saya aktif memantau perkembangan kesehatannya di RS. Kemarin saat makan siang, jantung seakan mau copot ketika Timbo Siahaan, Pemred JakTV menelepon. Saya tidak langsung mengangkat teleponnya. Tidak berani mendengar kabar duka. Sejam kemudian baru saya menelepon balik Timbo. Dia juga sahabat dekat Iwan. Memang bukan berita duka. Tapi tetap saja infonya tidak melegakan. “Kondisi Bang Iwan memburuk,” ucapnya.
ADVERTISEMENT

Utang budi

Saya berutang budi pada almarhum. Dialah yang mengajari saya menulis berita televisi/membuat program televisi. Masa itu pertengahan tahun 1980. "Jangan nulis kayak mau dimuat di koran. Ini televisi, pendek-pendek aja," ketusnya.
Saya Kepala Humas Festival Film Indonesia dan Iwan menjabat Kasubdit Pemberitaan TVRI. Di masa itu, Iwan gencar berinovasi, mendobrak tradisi TVRI yang sarat dengan berita seremonial. Dia membuka ruang berita untuk isu ringan.
Bersama almarhum JB Wahyudi—yang menjabat koordinator reportase penerangan—dia memberi saya kesempatan luas. Maka lahirlah berita-berita updating setiap kali FFI disiarkan langsung oleh TVRI. Paginya, ada slot wawancara dengan artis dan sineas pemenang FFI.
Tahun berikutnya, saya membuat program kampanye Film Nasional. Acara itu menampilkan diskusi sineas dan artis dengan wartawan seputar peluang/kans mereka meraih Piala Citra FFI. Setiap hari selama dua pekan berita kampanye film disiarkan di bagian akhir Berita Nasional jam 7 malam—prime time TVRI. Inilah yang menjadi referensi Panitia Tetap FFI untuk mengembalikan penyelenggaraan FFI dipusatkan di Jakarta dan meniadakan pawai artis yang menelan ongkos besar setiap kali FFI.
ADVERTISEMENT
Keputusan itu membuat saya harus menghadapi protes kalangan film, terutama kalangan artis. “Sejak FFI tahun 1955 pawai itu selalu diselenggarakan. Sudah jadi tradisi, masak ditiadakan. Itu sama saja makan sayur tanpa garam,” kata Ratno Timoer, Ketua Umum Parfi. Argumentasi saya waktu itu, karena di masa Pak Djamaluddin Malik mencetuskan FFI pawai diselenggarakan untuk menarik perhatian masyarakat. Hanya saja masa itu belum ada teknologi penyiaran secanggih seperti sekarang. Andakaia TVRI sudah ada, niscaya Pak Djamal akan melakukan hal sama.
Sekarang, dengan menggunakan saluran TVRI justru seluruh masyarakat Indonesia dapat mengikuti perhelatan FFI. Kita harus memanfaatkan hasil pembangunan ini. Alhamdulillah Ratno Timoer mengerti.
Waktu saya membuat program infotainment Cek&Ricek untuk RCTI (1997), Iwan men-support luar biasa. Bayangkan berita mengenai program televisi swasta itu disiarkan di Berita Nasional TVRI. Sesuatu yang “tabu” masa itu.
ADVERTISEMENT
Setahun kemudian (1998) saya meluncurkan Tabloid C&R. Iwan Uyun pula menyiarkan acara talk show launching Tabloid C&R secara live di TVRI dalam slot prime time televisi pemerintah itu.
Ketika Iwan Uyun berhenti sebagai Dirut TVRI 2007 saya tawarkan ia bergabung di perusahaan kami. Ia menyambut terharu tawaran itu. Dia tahu itu cara saya membalas budi, namun dia menolak dengan ucapan terima kasih.

Gemar traktir orang

Iwan memang tipe manusia yang lebih memilih memberi tapi selalu rikuh menerima atau tidak tahu cara meminta. Yang terjadi setelah lengser dari kursi Dirut TVRI malah dialah yang paling sering mentraktir kami makan siang maupun makan malam dengan kuliner-kuliner pilihan.
Kegemaran kuliner dan mentraktir dibicarakan juga tadi siang pada acara Zoom meeting mengikuti upacara pemakaman almarhum di Tanah Kusir, Jumat pagi. Ada sekitar 100 sahabatnya menyampaikan kenangan dengan almarhum. Hampir semuanya mengenang kebaikan Iwan dan mengaku sering ditraktir.
ADVERTISEMENT
Tahun lalu, Iwan mentraktir saya bersantap gulai kepala ikan resto Medan Baru, di kawasan Jakarta Barat. Itu menu favorit Iwan, kami bersantap siang berdua saja. Oh, iya, menu favoritnya yang lain adalah Soto Padang Mangkuto di Pintu Air serta masakan Manado Resto Tude di Jalan Blora, Menteng. Tapi sering juga tiba-tiba mengirim dendeng balado ke rumah.
Pada 10 bulan masa pandemi praktis kami tidak pernah bertemu lagi, hanya bertegur sapa via WA. Beberapa bulan lalu, dia mengirimi saya satu botol Vitamin C 1000 mg produk Blackmores. “Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, IB,” katanya.
Iwan juga gemar traveling. Kami beberapa teman pernah ditraktir ke Singapura. “IB, ini paket hemat yah. Tolong kasih pengertian pada Timbo supaya jangan cerewet, kamar di hotel nanti untuk berdua,” pesannya. Kami yang diundang empat orang. Ia berangkat lebih dulu ke Singapura waktu itu.
ADVERTISEMENT
Tiba hari keberangkatan, kami sudah di bandara Cengkareng. Menjelang check in datang informasi dari rekan Danie Soe'oed, Pemred Solopos. Ia berhalangan, tendon kakinya putus. Check in di counter SQ, petugas menanyakan Danie. Kami bilang cancel. Wah! Tidak bisa, katanya. Lho? Kenapa? Tiket Anda promo, dijual untuk paket empat orang. Lalu? Karena hanya bertiga, semua tiket hangus. Harus beli tiket baru.
Alhamdulillah. Inilah kesempatan membalas Iwan. Beli tiket baru. Kami pun terbang ke Singapura. Begitu pun dia masih berusaha membayar tiket-tiket itu, tapi tentu saja giliran saya “berkuasa” untuk menolaknya.
Saat saya menulis Obituari ini sambil mengikuti acara renungan lewat Zoom meeting tentang almarhum yang dipandu Tiya Diran, wartawan dan pembawa acara, juga sahabat karib Iwan Uyun. Hadir di ruang Zoom antara lain, Wiwien Soendari, Don Bosco, Timbo Siahaan, Yudha Antariksawan, Intan Nugroho, Yon Pardono, Nunuk Parwati, Immas Sunarya, Sandrina Malakiano. Renungan Zoom diselenggarakan sebagai rangkaian acara pemakaman almarhum di TPU Tanah Kusir.
ADVERTISEMENT
Selamat jalan Bro IU, sahabat yang baik hati. Istirahatlah dengan tenang. Doa kami, semoga Allah SWT memberimu tempat lapang, nyaman, dan indah di sisi-Nya. Al-Fatihah.
Yazirwan Uyun (kanan). Kredit foto: Ilham Bintang.