Menyongsong HPN 2021 dan Menyoal Konferensi PWI Sulsel

Konten dari Pengguna
31 Januari 2021 10:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
*Catatan Ilham Bintang
Foto: Dok. Ilham Bintang
ADVERTISEMENT
Lagu itu diciptakan Iwan Fals tahun 1989. Pada masanya seperti oase yang memberi oksigen pada masyarakat yang frustrasi di tengah cengkeraman kekuasaan Orde Baru. Lagu itu sangat populer, biasa dinyanyikan bocah-bocah di jalanan, para pengamen jalanan hingga perhelatan di rumah-rumah para pejabat dan dengan suka ria dilantunkan para pejabat itu sendiri. Belum lama lagu itu beredar kembali di media sosial menjelang pergantian Kapolri Jenderal Idham Azis oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Idham Azis memang pernah menyanyikan lagu itu tidak lama setelah dilantik menjadi Kapolri. Ia berduet dengan Pasha Ungu ketika menyanyikan lagu “Bongkar” di depan korps Bhayangkara. Suaranya merdu, dan dibawakan dengan sangat ekspresif, Idham sampai jongkok segala. Dinyanyikan Idham lagu “Bongkar” seperti mendapatkan daya dorong yang kuat menyemangati rakyat karena dinyanyikan oleh otoritas keamanan tertinggi di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Saya tidak akan menilai apakah harapan yang dinyanyikan Kapolri RI itu berbanding lurus dengan realitas yang ada selama Idham Azis memimpin Polri.
Saya tiba-tiba mengingat lagu “Bongkar” kembali ketika dikontak beberapa teman wartawan baru-baru ini. Ditanya, apakah benar cara wartawan Sulsel memprotes beberapa hal yang diduga menyimpang dari penyelenggaraan Konferensi PWI Provinsi Sulsel yang dilaksanakan pagi ini di Makassar?
Foto: Dok. Ilham Bintang
Terus terang sudah hampir sebulan saya cukup “diganggu” kemelut internal PWI Sulsel. Dua perangkat smartphone menjadi sasaran pengaduan teman-teman di PWI Sulsel, juga teman-teman dari daerah daerah lain, dan di Jakarta sendiri. Bayangkan! Di tengah pandemi ini, mestinya konsentrasi pada upaya kita meningkatkan imunitas, datang pula urusan PWI Sulsel yang sebenarnya sangat elementer. Padahal, cukup meluangkan waktu membaca semua aturan organisasi, kode etik, dan kode perilaku PWI, niscaya semua masalah yang timbul bisa ketemu duduk perkaranya.
ADVERTISEMENT
Tapi memang sulit menghindar, Kongres PWI bulan September 2018 memilih saya secara aklamasi untuk posisi Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.

Naik perahu

Dalam catatan saya dua periode memimpin DK-PWI, PWI Sulsel memang paling sering bergejolak. Jejak digital PWI Sulsel paling sering memecat anggotanya, bahkan anggota pengurusnya sendiri. Pernah ada 27 anggota diusulkan dipecat, tetapi saya tolak karena syaratnya tidak terpenuhi. Yang paling parah, ada anggotanya yang diadukan ke polisi dan sempat beberapa bulan di penjara. Dalam berbagai diskusi, DK- PWI pernah menyimpulkan masalah PWI akan selalu timbul jika pengurus bukan dari “ darah daging wartawan”, meminjam istilah Harmoko, mantan Ketua PWI Pusat.
Dalam sejarah PWI, yang tampil memimpin memang para pemilik media, namun mereka adalah wartawan, terlebih dahulu merasakan melakoni profesi wartawan kemudian sukses menerbitkan media sebagai usahanya. Begitupun, mereka semua mematuhi apa yang dikenal dalam dunia pers yaitu “firewall”, batas kewenangan dan pendelegasian kewenangan, khususnya bidang redaksi yang harus steril. Sebutlah beberapa nama tokoh penting untuk golongan ini: Jakob Oetama, Harmoko, BM Diah, Manai Sophiaan, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan banyak lagi. Sebagian dari mereka malah tercatat ikut mendirikan PWI 9 Februari 1946 di Solo.
ADVERTISEMENT
Kalau saja ada waktu membuka sejarah pembentukan PWI, niscaya Anda akan lebih takjub. Peristiwa itu menyatukan puluhan organisasi wartawan yang bertebaran di seluruh Tanah Air. Mereka bersatu untuk melindungi RI dari gangguan kekuasaan penjajah Belanda. Mereka dari berbagai daerah berkumpul di Solo pada momen itu. Manai Sophiaan memerlukan 35 hari perjalanan dari Makassar untuk sampai di Solo dengan menumpang perahu. Situasi masa itu amat mencekam, maklum Indonesia baru satu tahun memproklamirkan kemerdekaan. Cengkeraman Belanda dan sekutunya masih sangat mengancam Republik Indonesia yang masih seumur jagung. Maka, tahun 1985 pemerintah tepat mengabadikan peristiwa itu dengan menetapkan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional yang setiap tahun diperingati oleh masyarakat pers bersama Presiden RI.
ADVERTISEMENT

PWI Sulsel

PWI Sulsel merupakan Cabang PWI penting. Reputasinya di masa lalu membanggakan anak cucu. Memberi kontribusi besar bagi perkembangan demokrasi di Sulsel. Penghargaan masyarakat kepada wartawan setara penghormatan kepada perahu Phinisi dan klub sepakbola PSM.
Tokoh-tokohnya yang merupakan generasi awal, seperti LE Manuhua, M Basir, Syamsuddin Mangawing, Harun Rasyid Djibe membuat profesi wartawan terhormat di mata masyarakat. Mengilhami generasi penerusnya untuk menekuni profesi kewartawan. Saya salah satunya. Kepemimpinan PWI Sulsel yang paling berkesan ialah ketika di tangan Rahman Arge, wartawan, seniman, dan budayawan yang amat produktif. Hingga akhir hayatnya masih terus menyumbangkan pemikiran lewat esainya di berbagai media Nasional.
Wartawan di Sulsel mengenangnya sebagai sosok pemimpin wartawan yang egaliter. Tokoh - tokoh pers di masa Arge, seperti Arsal Alhabsi, Rahman dan Ramiz Parenrengi, Zainal Bintang, Alwi Hamu, Syamsu Nur, Husni Djamaluddin, bahu membahu menjaga dan membesarkan PWI Sulsel.
ADVERTISEMENT
Histori itu bisa menjelaskan mengapa saya punya perhatian lebih pada PWI Sulsel. Sebaliknya ada perasaan malu (dipermalukan) tiap kali timbul gejolak di PWI Sulsel hanya karena persoalan ketidakcakapan pemimpinnya mengelola organisasi.

Demo wartawan

Kembali ke pertanyaan: Apakah layak wartawan anggota PWI berunjuk rasa memprotes pemimpin organisasinya? Pertanyaan ini sebenarnya menempati urutan ketiga yang masuk di WA saya. Pertanyaan pertama yang menempati urutan pertama dari ukuran kuantitas adalah: layakkah pengurus PWI Sulsel membuat begitu banyak aturan untuk membekap aspirasi anggota di forum konferensi?
Pertanyaan kedua: Apa sikap Dewan Kehormatan PWI Pusat merespons masalah yang pertama itu?
Foto: Dok. Ilham Bintang

Era digitalisasi

Saya kilas balik sedikit kisah menjelang Kongres PWI di Solo September 2018. Suatu siang, Atal Depari yang akan mencalonkan diri menemui saya di kantor. Ada dua kandidat yang memiliki kekuatan pendukung sama. Hendry Bangun, Sekjen PWI Pusat, adalah kompetitornya. Dua-dua saya kenal baik, dua-duanya sahabat dalam pengertian sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Terbukti, dalam kongres Solo dukungan yang mereka peroleh hampir sama banyaknya cuma selisih sedikit, kalau tidak salah dua suara yang dimenangkan Atal.
Di kantor, Atal memaparkan programnya. Yang mengesankan rencana era digitalisasi dalam kepengurusan PWI Pusat lima tahun ke depan. Saya menilai hanya itu yang baru. Program lain, normatif saja. Semua komunikasi dengan sesama pengurus serta pengurus dengan anggota di seluruh Indonesia dijanjikan Atal melalui media digital. Itu yang membuat saya kepincut dan langsung menyatakan dukungan.
Memang itu menjadi janji utama kampanye Atal. Dia malah sempat peragakan program itu di depan kongres yang disambut dengan tepuk tangan gempita semua peserta. Era digitalisasi pada hakikatnya adalah era keterbukaan, organisasi dikelola secara transparan. Dengan media digital, akan terdeteksi kesalahan sekecil apa pun, dan semua anggota bisa ikut mengoreksi, ikut berpartisipasi dan berinteraksi. Betapa indahnya. Era digitalisasi Atal bukan sekadar urusan teknis.
ADVERTISEMENT
Kalau saya menulis catatan ini secara terbuka untuk dipublish itu adalah kehendak kongres pada komitmen keterbukaan PWI di era digitalisasi. Dengan kata lain, sebenarnya saya tidak terganggu kalau wartawan di Makassar berunjuk rasa menyampaikan protes lewat poster kepada pengurus PWI, yang notabene protes itu ditujukan kepada DK PWI sendiri yang tupoksinya memang melakukan pengawasan.
Sejauh penelusuran, aksi itu muncul karena salurannya tersumbat. Konferensi PWI Sulsel yang berlangsung sekarang memang tidak dilaksanakan sesuai fungsinya: forum seluruh anggota mengevaluasi kinerja pengurus setiap lima tahun sekali. Panitia membatasi kehadiran anggota dengan alasan pandemi.
Padahal alasan pandemi sebenarnya bisa diatasi secara kreatif dengan penyelenggaraan konferensi secara virtual. Malah dengan teknologi bisa melibatkan kesertaan seluruh anggota dari berbagai kabupaten, pun dengan anggota yang sedang berada di luar negeri. Seperti halnya dilakukan dalam rapat kabinet dan bahkan sidang pengadilan tindak pidana. Sesuatu yang sudah diprediksi akan terjadi oleh Atal pada 2018 dengan program digitalnya.
Foto: Dok. Ilham Bintang

SK PWI Pusat

Seminggu ini saya cukup aktif berkomunikasi dengan Ketua Umum PWI Atal Depari. Saya menyampaikan beberapa fakta yang patut diduga pengurus PWI Sulsel dan bahkan PWI Pusat sendiri melanggar PD/PRT organisasi.
ADVERTISEMENT
PWI Pusat menerbitkan SK PWI Pusat No 164/ - PLP /PP- PWI/2020 tertanggal 11 Agustus 2020, yang ditandatangani Ketum, Sekjen, dan Ketua Bidang Organisasi sebagai pedoman penyelenggaraan konferensi bagi Provinsi dan Kabupaten/Kota di masa pandemi. Tampaknya, kekisruhan di beberapa konferensi PWI, termasuk di PWI Sulsel sekarang, karena menjadikan SK PWI 164 itu sebagai pedoman.
Kongres/konferensi pada dasarnya adalah forum tertinggi anggota untuk mengevaluasi pengurus dalam satu periode. Kita sering menyebutnya pesta demokrasi anggota. Sebaik-baik kongres/konferensi adalah yang dihadiri sebanyak-banyaknya anggota.
PRT yang mengatur konferensi terdapat pada pasal 33 ayat 2. Pasal itu tegas memerintahkan: Konferensi sah jika dihadiri oleh sekurang- kurangnya 2/3 jumlah anggota Biasa dengan ketentuan: "Jika anggota Biasa yang hadir kurang dari dua pertiga, konferensi harus ditunda selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan".
ADVERTISEMENT
Jelas sekali semangat dari pasal itu menginginkan kehadiran seluruh anggota. Sekali lagi, "Sekurang-kurangnya dua per tiga anggota biasa," mestinya dibaca idealnya adalah seluruh anggota.
SK PWI Pusat 164 tanggal 11 Agustus telah mereduksi Pasal 33 ayat 2 PRT itu, karena membuat keputusan begini: “Konferensi atau pemilihan langsung hanya diikuti lebih kurang 50%." Ini jelas mengubah fondasi konferensi yang diperintahkan kongres.
Kemungkinan besar yang merancang SK itu tidak membaca PD pasal 33 ayat 2 yang isinya begini: Perubahan Peraturan Dasar. Peraturan Rumah Tangga, Kode Etik Jurnalistik, Kode Perilaku Wartawan, lambang, panji, lencana, mars, hymne, dan kartu anggota ditetapkan oleh Kongres.
Terkait dengan keadaan di masa pandemi, PWI Pusat memang boleh menunda (diskresi) penyelenggaraan konferensi bahkan sampai pandemi terkendali.
ADVERTISEMENT
Dengan alasan sama pemerintah pernah membuat diskresi untuk Pilkada 2020 yang jadwalnya ditunda dari September menjadi Desember 2020. Namun, penyelenggara pilkada tidak mereduksi hak rakyat / pemilih. Sedangkan SK PWI 164 jelas mereduksi hak anggota yang diatur dalam pasal 33 ayat 2. Perubahan pasal apa pun di PD/ PRT harus melalui Kongres.
Foto: Dok. Ilham Bintang
Dengan fakta-fakta wartawan anggota PWI Sulsel memang bisa menyoal keabsahan konferensi PWI Sulsel sekarang ini. Ada pengaduan dari Soppeng. Ketua PWI Kabupaten Soppeng Rachmat memberitahukan, dia digeser (diksi bahasa digital: "diremoved") sebagai Ketua PWI Soppeng oleh Ketua PWI Provinsi Sulsel. Padahal, Rachmat dipilih dalam suatu pemilihan yang berlangsung demokratis di suatu konferensi di Soppeng pada tahun 2017. Pengangkatannya pun sebagai ketua PWI Soppeng disahkan oleh SK Pengurus PWI Pusat. Bagaimana bisa sebuah SK PWI Pusat diabaikan dan dikalahkan begitu saja oleh keputusan PWI Sulsel?
ADVERTISEMENT
PWI Sulsel mengganti Rachmat dengan ketua baru, Agus Wittiri, tanpa SK Pemberhentian untuk Rachmat. Yang menggantikannya dikenal sebagai pengurus PAN Soppeng. Belakangan setelah diprotes, PWI Sulsel meralat keputusannya itu. Tanpa memberhentikan Agus Wittiri, SK PWI Sulsel kemudian mengangkat seorang pengurus PWI di Sulsel menjadi koordinator di Soppeng. "Sekarang, di PWI Soppeng ada tiga ketuanya Pak," Rachmat melapor.
Tapi, "damage has been done". Keputusan PWI Sulsel itu, jelas merupakan pelanggaran butir 2, pasal 26 PD PWI. Pasal ini sejak  reformasi sudah diberlakukan. PWI mengharamkan semua pengurusnya di pusat dan daerah merangkap jabatan atau duduk sebagai pengurus partai politik.
Nah, dari kasus Soppeng saja, setidaknya ada dua pelanggaran PD-PRT PWI dilakukan pengurus PWI Sulsel.
ADVERTISEMENT
Saya juga menelusuri keputusan PWI Pusat yang meralat skorsing anggota PWI Sulsel tanpa mematuhi prosedur yang berlaku. Ada yang dibatalkan sanksinya, ada yang semula skorsing penuh melalui sebuah surat biasa kepada PWI Sulsel.
Pemberhentian penuh Sekretaris PWI Sulsel atas nama Anwar Sanusi lebih parah lagi. Waktu diskorsing pakai SK, tetapi waktu diberhentikan secara penuh hanya berupa surat pemberitahuan biasa kepada Ketua PWI Sulsel. Tidak ada penjelasan pula, apakah yang bersangkutan diberhentikan keanggotaannya atau sebagai sekretaris PWI. Surat pemberhentiannya tanpa pula mencantumkan pokok kesalahan yang bersangkutan.
Lagu “Bongkar” Iwan Fals yang dinyanyikan Idham Azis mengalun kembali. Saya sudahi catatan sampai di sini.
Jakarta, 31 Januari 2021