Paradoks Amerika soal Pandemi COVID-19

Konten dari Pengguna
17 Februari 2023 11:22 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Paradoks Amerika soal Pandemi Covid-19 Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Paradoks Amerika soal Pandemi Covid-19 Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Masuk akal jika Presiden Amerika Serikat Joe Biden masih menunggu waktu sampai bulan Mei yang akan datang baru akan mengumumkan akhir pandemi COVID-19 di Negeri Paman Sam.
ADVERTISEMENT
Meski dalam realitanya, secara umum masyarakat sudah bebas beraktivitas bahkan berkerumun tanpa masker, namun faktanya, penularan COVID-19 memang masih cukup tinggi. Setidaknya, begitu pengamatan saya di beberapa negara bagian AS yang saya kunjungi awal hingga pertengahan Februari lalu.
Ketika meninggalkan New York Selasa (14/2) malam, data penularan tercatat 102.914 kasus. Menunjukkan tren peningkatan hampir dua kali lipat dibandingkan ketika saya tiba di New York 3 Februari. Hari itu tercatat "hanya" 64.375 kasus.
Selama pandemi, negeri Paman Sam ini kampiun dalam jumlah warga yang terpapar COVID-19 dalam berbagai varian. Lebih 103 juta warganya tertular, dan meninggal dunia sebanyak 1,13 juta jiwa. Presiden Joe Biden sendiri berkali-kali positif COVID-19.
Sikap pemerintah AS dengan masyarakatnya memang paradoks. Rakyat AS sudah lama tidak peduli soal COVID-19 itu. Malah, berkali-kali mereka berunjuk rasa menentang pembatasan kegiatan masyarakat. Amerika yang sedang menghadapi perlambatan ekonomi dan resesi membuat masyarakat kesulitan hidup dan karena pembatasan itu, semakin sengsara hidupnya. Wajar jika berang dan nekat.
ADVERTISEMENT

Keajaiban di Amerika

Paradoks Amerika soal Pandemi Covid-19 Foto: Dok. Pribadi
Tidak heran jika wisatawan diminta meningkatkan kewaspadaan karena kejahatan jalanan semakin meningkat. Diwanti-wanti agar mereka menjaga diri di tempat umum.Tas dan dompet harus selalu dalam pengawasan ketat masing-masing.
"Kejahatan yang hanya menimbulkan kerugian di bawah 1.000 dolar tidak akan ditangani polisi," kata Ade Ilyas, diaspora asal Medan yang menemani kami selama di Amerika.
Ade bersama JJ, putranya yang mengemudikan mobil memberi alasan yang masuk akal. Dia bilang, risiko menindak pelaku kejahatan dengan kerugian di bawah 1.000 dolar bisa memantik kerusuhan massal.
"Polisi memaklumi, rakyat yang butuh makan gampang tersulut emosinya," sambung JJ.
Maka, dianggap suatu keajaiban saat istri saya masih bisa menemukan jam tangan dan kacamatanya yang tertinggal di restroom rest area ketika mengambil wudhu.
ADVERTISEMENT
"Subhanallah. Ini keajaiban betul di AS," kata Ade.
Paradoks Amerika soal Pandemi Covid-19 Foto: Dok. Pribadi
Memang Ade lah yang cepat berlari ke restroom, menerobos antrean dan berhasil menemukan jam tangan dan kacamata masih di tempatnya.
Lokasi di Times Square yang selalu penuh kerumunan dan di China Town yang padat, pengunjung diminta ekstra hati-hati ketika berkunjung ke sana.
Di Chinatown bisa disaksikan polisi tidak berdaya menertibkan pedagang kaki lima yang menduduki trotoar jalan untuk menggelar dagangannya. Kerumunan selalu terjadi di sana karena jualan mereka barang-barang imitasi dari brand-brand terkenal dengan harga yang mungkin se-per seratus dari harga aslinya. Ada tas Christian Dior, Gucci, LV, dan banyak lagi.
Di tempat kerumunan itulah rentan kejahatan terjadi. Pencopetan dan perampasan barang berharga pengunjung sering terjadi.
ADVERTISEMENT

Rutin Swab Antigen

Paradoks Amerika soal Pandemi Covid-19 Foto: Dok. Pribadi
Waktu ke Amerika saya membawa satu boks Swab Antigen. Setiap dua hari saya dan istri memeriksakan diri. Apalagi selama di AS, saya bepergian ke beberapa negara bagian AS, seperti Boston Massachusetts, Washington DC, New Jersey, Pennsylvania, untuk menyebut beberapa, yang jaraknya menempuh perjalanan mobil ratusan kilometer.
Cuaca dingin dengan suhu 1-5 derajat celsius mudah membuat tubuh lelah, dan menjadi jalan masuk virus apapun. Maka, masker pun tetap saya kenakan, walau tidak selalu. Kerap ikut-ikut juga mayoritas warga yang tak bermasker.
Apalagi waktu menghadiri show Indonesia Now yang meluncurkan 7 brand fesyen Indonesia dalam acara New York Fashion Week yang berlangsung di Spring Studio, New York, Senin (13/2) siang. Tentu menjadi pemandangan ganjil jika melihat para peragawati menggunakan masker. Begitu juga penontonnya. Bismillah saja dalam kerumunan di acara itu.
Paradoks Amerika soal Pandemi Covid-19 Foto: Dok. Pribadi
Hanya beberapa tempat terutama restoran yang masih mensyaratkan pelayannya pakai masker, namun tetap welcome kepada pengunjung yang tak mengenakan. Di bandara idem dito. Apalagi di sini, waktu berhadapan dengan imigrasi dan security diminta buka masker juga.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika kami akan kembali ke Tanah Air, staf Maskapai Penerbangan American Airlines meminta kami menunjukkan data vaksinasi. Padahal, waktu tiba di New York tidak ada pengecekan seperti itu. Petugas meyakinkan checking status vaksin itu justru untuk kebutuhan kami di Indonesia nanti agar tidak perlu lagi pemeriksaan.
Tampaknya petugas ini belum mengetahui sejak tahun lalu di bandara Indonesia sudah tidak ada lagi pemeriksaan itu bagi perjalanan luar negeri. Saya menurut saja, meski pengecekan itu memakan waktu cukup lama.
Berbeda dengan informasi yang saya peroleh sebelumnya. Jika meninggalkan Amerika, bahkan check in di Imigrasi pun tidak ada. Di bandara John F Kennedy, New York, hanya ada satu pemeriksaan. Yaitu barang bawaan dan pemeriksaan metal detector untuk penumpang.
Paradoks Amerika soal Pandemi Covid-19 Foto: Dok. Pribadi
"Jika Anda tidak membawa senjata, narkoba, atau benda-benda berbahaya, Anda akan bisa melenggang tenang," kata Raymond yang mengantar kami ke bandara.
ADVERTISEMENT
Tapi, tidak semuanya benar. Nyatanya, masih ada petugas security yang lebay. Saya berhadapan dengan petugas security seperti itu. Malam itu di bandara JFK. Padahal, saya sudah terdeteksi aman setelah melewati metal detector. Tapi masih disuruh menunggu untuk pemeriksaan manual selanjutnya.
Petugas memeriksa seluruh badan saya, entah mau cari apa. Seluruh badan saya diraba pula. Saya mulai cemas. Jangan-jangan ini modus petugas. Telapak tangan saya diperiksa. Diraba garis-garisnya. Ujung tangan sweater ditelisik satu per satu benang jahitan. Seluruh lekukan celana saya juga. Saya sempat geram dan menepuk tangannya.
Tidak puas dengan pemeriksaan manual, dia lanjutkan lagi dengan alat peraba menggunakan sarung tangan warna ungu yang digosokkan ke seluruh tangan saya. Yang terakhir ini saya merasa ini pemeriksaan random. Setelah check di layar komputer, tidak ada hal yang mencurigakan. Petugas itu pun akhirnya menyilakan saya jalan.
ADVERTISEMENT
Pemeriksaan itu berlangsung 10 menit. Istri saya yang menyaksikan amat cemas, apalagi waktu boarding sudah mepet. Takut ada apa-apa.
"Mungkin dia sangka saya teroris atau bagian dari jaringan narkoba," kata saya pada istri.

Kembali ke Urusan Pandemi

Paradoks Amerika soal Pandemi Covid-19 Foto: Dok. Pribadi
Di pesawat dalam penerbangan New York-Doha (transit untuk ganti pesawat ke Jakarta), hanya crew cabin pesawat yang mengenakan masker. Semua penumpang bebas tanpa masker. Tapi waktu boarding di Doha menuju Jakarta petugas pesawat Qatar, mengingatkan mengenakan masker.
Beruntung saja saya masih menyimpan masker di dalam tas selempang. Namun, di dalam pesawat hanya cabin crew yang mengenakan, sedangkan semua penumpang bebas tanpa masker.
Dalam cahaya remang pesawat, saya mudah mengenali wajah Hamid Awaluddin yang melewati tempat duduk saya ketika ke restroom satu jam sebelum mendarat di Cengkareng. Mantan Menkumham itu bersama keluarga baru pulang dari Los Angeles dan juga transit di Doha dan satu pesawat tujuan Jakarta.
ADVERTISEMENT