Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Santap Siang di Rumah Adat Said Didu di Pinrang
10 Juni 2019 9:34 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Ilham Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kami dijamu makan siang oleh mantan Staf Khusus Menteri ESDM, Muhammad Said Didu, di kediamannya di Madimeng, Pinrang, Sulsel--190 kilometer dari Kota Makassar. Jamuan itu berlangsung pada Minggu siang (9/6).
ADVERTISEMENT
Ada Tiga hal menarik dalam kunjungan yang diikuti juga oleh Jabal Noor, wartawan senior Makassar, itu. Pertama, kami diterima di rumah panggung tradisional masyarakat Bugis Makassar. Rumah anggun dan cantik itu luasnya 500 meter persegi berdiri di atas tanah seluas 5.000 meter persegi. Dibangun empat tahun lalu.
Kedua, menu makan siang yang dihidangkan: seluruhnya masakan khas tradisional. Dari sayur Parapa campur ikan asap, burasa, acar peppi (ebi), sambal teri, ikan bakar, ikan asin tongkol, ikan goreng bumbu rujak, dan lain sebagainya. Maknyuss semua. Menggugurkan diet.
"Sekali setahun, bang. Habis ini diet lagi," ujar Said Didu menyemangati.
Supaya semangat makan tidak mengendor karena komitmen diet. Saya melirik istri saya yang penganut diet ketat. Ia tampak bersemangat juga menyantap hidangan. Saya jadi lebih bersemangat karenanya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Said Didu menegaskan sekali lagi tekad untuk mewakafkan sisa hidupnya untuk mengawasi pemerintah menyelenggarakan roda pemerintahan. Untuk poin ini, dia punya bahan banyak. Maklum dia bekas 'orang dalam'. Dia menyimpan segudang data penyimpangan di berbagai sektor--tidak habis-habis.
Said Didu memang telah menunjukkan sikap kritis itu dalam berbagai forum diskusi maupun dalam berbagai acara talkshow televisi. Untuk itu, ia pun siap memikul segala konsekuensinya. Belum lama, ia sendiri memutuskan berhenti sebagai PNS di BPPT.
Sikap kritis Said Didu bukan datang mendadak. Sejak mahasiswa--kuliah di IPB--sampai kini berpendidikan doktor--dia selalu kritis. Sejak mahasiswa, ia memang melakoni kehidupan aktivis.
"Orang yang tidak tahu mengira saya menjadi kritis setelah diberhentikan menjadi komisaris dari BUMN Tambang Bukit Asam. Terbalik, saya diberhentikan justru melakoni sikap kritis itu," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Palang tanggung, ia sekalian mengundurkan diri sebagai PNS. "Supaya tidak ada pihak yang terbebani oleh sikap saya," tambah pria kelahiran Pinrang 57 tahun lalu.
Hari Minggu (9/6) sebenarnya ada dua agenda kunjungan. Setelah dari Pinrang, kami akan melanjutkan ke perjalanan ke Sengkang, Wajo--kampung kelahiran kedua orang tua kami. Boleh dikatakan sudah lebih 50 tahun tidak ke sana, saya terakhir berlibur ke Sengkang pada waktu usia 10 tahun.
Lima tahun lalu saya memang pernah masuk Sengkang, tapi hanya melintas di tengah malam ketika perjalanan menuju Bone. Sempat mampir makan malam di Ujungnge 20 kilometer sebelum Wajo. Tapi bukan kunjungan serupa itu yang saya dambakan. Melainkan menginap minimal semalam, sambil menyerap nilai-nilai leluhur yang terkandung dalam semboyan "Maradeka Towajo’e" (Orang Wajo orang Merdeka).
ADVERTISEMENT
Tapi ini pun tidak kesampaian. Semalam dapat informasi Tanru Tedong, akses jalan masuk ke Sengkang ditutup karena banjir setinggi pinggang akibat hujan deras yang turun berjam-jam.
Padahal, sejak Sabtu siang (8/6) kami sudah masuk di Pare-Pare, dan menginap semalam. Jarak Pare-Pare-Sengkang hanya 65 kilometer, paling lama hanya menempuh dua jam perjalanan.
Apa boleh buat, ke Sengkang kami batalkan. Karena pembatalan itu, kami pun punya waktu yang cukup ngobrol panjang di "Istana" Pak Said Didu. Dari sini kami langsung balik ke Makassar.