Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menguak Fakta di Balik Perebutan Dataran Tinggi Golan
31 Maret 2019 22:56 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Ilham Effendy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masih terngiang dalam ingatan ketika Presiden AS Donald Trump menyampaikan pernyataan kontroversi dengan mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel pada akhir 2017. Pengakuan yang sangat mencederai rasa keadilan itu sekaligus mengancam perwujudan peta jalan damai yang selama ini dirancang untuk menghentikan konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina.
ADVERTISEMENT
Minggu lalu (22/3), Trump kembali melakukan kontroversi yang diawali dengan cuitan melalui akun Twitter resminya dan kemudian disusul dengan diterbitkannya ‘Proklamasi Kepresidenan’ yang ditandatangani oleh Trump dengan mengakui secara resmi hak kedaulatan Dataran Tinggi Golan atas Israel pada Senin (25/3).
Banyak pihak yang bertanya-tanya alasan yang melatarbelakangi pernyataan tersebut, sebab pengakuan ini dianggap sebagai bentuk ‘pelanggaran terang-terangan' Trump atas hukum dan kebiasaan internasional. Beberapa hal yang diduga mendorong lahirnya pengakuan tersebut, antara lain:
Pertama, untuk menekan hegemoni Iran dan Rusia di kawasan. Dengan mengakui kedaulatan Dataran Tinggi Golan atas Israel maka potensi Iran untuk hadir di Golan dan menjadi ancaman pada masa mendatang dapat dikesampingkan. Sebab, selama ini Iran telah menjadi sumber kekuatan baru di kawasan, khususnya bagi Suriah, Irak, Yaman, dan Hizbullah.
ADVERTISEMENT
Kedua, sebagai bentuk dukungan AS terhadap Netanyahu yang akan menghadapi pemilihan umum di tengah-tengah dakwaan kasus korupsi yang sedang menderanya.
Ketiga, Trump diduga memiliki agenda lain yang tidak sejalan dengan kesepakatan peta jalan damai, namun alternatif yang ditawarkan kemungkinan baru terungkap pasca-Pemilu Israel pada 9 April 2019 mendatang.
Dataran Tinggi Golan sebagai Wilayah yang Diperebutkan
Dataran Tinggi Golan terletak di wilayah Barat Daya Suriah. Posisi topografinya menjadikan kawasan ini memiliki signifikansi politis sekaligus strategis. Pada saat Suriah masih menguasai wilayah tersebut, pasukan bersenjata Suriah menjadikan Golan sebagai basis pertahanan untuk mengawasi ancaman. Konon, secara teratur Suriah dikabarkan menembaki Israel utara sejak 1948 hingga 1967.
Pada tahun 1967, Israel berhasil merebut Dataran Tinggi Golan dari Suriah pada Perang Enam Hari. Beberapa tahun kemudian, Suriah berusaha untuk merebut kembali Dataran Tinggi Golan, namun serangan mendadak yang dilakukan Suriah pada 1973 berhasil digagalkan oleh Israel. Usai perang tersebut, kedua negara kemudian sepakat untuk menandatangani gencatan senjata dan di antara kesepakatannya adalah menempatkan pasukan PBB di garis batas gencatan senjata sejak 1974.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1981, Israel membuat ulah dengan mendeklarasikan secara unilateral dan menganeksasi Dataran Tinggi Golan sebagai bagian dari Israel. Namun, tidak ada negara yang mengakui tindakan perampasan tersebut. Saat itu, negara-negara anggota PBB termasuk AS juga sepakat menyatakan bahwa upaya Israel untuk mengubah status pemilikan Golan ‘batal demi hukum’.
Meski demikian, sejak saat itu Israel mulai memanfaatkan wilayah tersebut sebagai pangkalan militer untuk melancarkan operasi rahasia dalam membantu lawan Assad di Suriah serta mengantisipasi berbagai ancaman, khususnya Suriah dan milisi Hizbullah. Daerah ini juga merupakan sumber supply air untuk wilayah yang gersang, sebab Golan menjadi penampung air hujan yang kemudian dialiri ke Sungai Jordan untuk memenuhi sepertiga kebutuhan pasokan air Israel.
ADVERTISEMENT
Selain posisinya yang strategis, tanah vulkanik yang ada di Dataran Tinggi Golan juga membuatnya subur dan bermanfaat untuk budi daya buah-buahan dan lahan peternakan.
Upaya untuk merebut kembali Dataran Tinggi Golan terus dilakukan Suriah melalui berbagai pendekatan dan diplomasi. Sayangnya, berbagai upaya dialog dan negosiasi selama ini terbentur dengan posisi dasar Suriah yang menginginkan penarikan penuh Israel dan mengembalikan batas wilayah ke sebelum 1967.
Posisi ini dinilai memberatkan karena memberikan Damaskus kendali penuh atas Danau Galilea yang merupakan sumber air utama bagi Israel. Di samping itu, terdapat kekhawatiran mengenai wacana Iran akan menempatkan pasukannya di Danau Galilea.
Respons Dunia Internasional dan Posisi Indonesia
Pengakuan tersebut telah menuai protes keras dari berbagai pihak, terutama Suriah yang telah dirampas hak kedaulatannya di tengah-tengah upayanya untuk merebut kembali wilayah tersebut melalui mekanisme dan aturan hukum internasional.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, menyusul permintaan Perutusan Tetap Suriah di PBB dan dengan dukungan Perancis, pada hari Rabu (27/3) telah diselenggarakan sidang oleh Dewan Keamanan (DK) PBB untuk membahas pengakuan AS atas kedaulatan Israel di Golan.
Sebagaimana dilansir beberapa media, sebagian besar anggota DK PBB menunjukkan posisi bahwa Dataran Tinggi Golan merupakan bagian dari Suriah dan terus menyuarakan harapan agar pengakuan oleh AS tidak memicu peningkatan eskalasi di kawasan.
Di sisi lain, beberapa negara diketahui memberikan dukungan kepada Amerika, misalnya Jerman dan Inggris yang menganggap bahwa langkah yang diambil AS sudah tepat dalam mendukung hak Israel untuk mempertahankan dirinya dari ancaman Suriah, Iran, dan Hizbullah. Langkah ini juga dianggap sebagai upaya AS untuk mewujudkan perdamaian menuju solusi dua negara.
ADVERTISEMENT
Sebagai wujud pelaksanaan komitmen, Indonesia juga terus mendesak masyarakat internasional agar menghormati hukum internasional, piagam PBB, serta Resolusi PBB yang terkait proses perdamaian di kawasan Timur Tengah
Dalam kesempatan pertemuan DK PBB mengenai Palestina di Markas PBB, New York, pada Selasa (26/3), Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia AM Fachir telah menegaskan posisi Indonesia yang mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah kedaulatan Suriah.
“Indonesia menolak keras adanya pengakuan AS bahwa Dataran Tinggi Golan merupakan bagian dari Israel. Tindakan ini tidak bisa diterima dengan standar apapun, khususnya Resolusi DK PBB,” tegas AM Fachir.
Lebih lanjut, dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri ditegaskan bahwa posisi Indonesia ini mengacu pada prinsip dalam Piagam PBB serta berbagai elemen yang terkandung pada resolusi-resolusi Dewan Keamanan terkait Dataran Tinggi Golan, yaitu Resolusi 242 (1967), 338 (1973), dan 497 (1981) yang intinya antara lain: penolakan terhadap perolehan suatu wilayah yang dilakukan secara paksa; penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah Dataran Tinggi Golan; dan penolakan terhadap yurisdiksi hukum Israel atas Dataran Tinggi Golan.
ADVERTISEMENT
Menutup tulisan ini, penulis ingin mengurai sedikit alasan keraguan yang dikemukakan banyak pihak mengenai masa depan proses damai yang ternyata tidak sekadar didasari atas dinamika berbagai pelanggaran norma dan hukum internasional, namun Trump juga dianggap menyimpang dari strategi politik Washington yang selama puluhan tahun menjalankan peta jalan damai dengan solusi dua negara.
Alhasil, meskipun harapan itu masih ada, namun sebagian besar pihak lebih cenderung pesimis ketika mengamati fenomena Trump atas kejutan-kejutannya selama ini. Jika dengan mudahnya Trump mengakui Yerusalem menjadi Ibu Kota Israel, kemudian mengakui hak kedaulatan Dataran Tinggi Golan atas Israel, maka tidak menutup kemungkinan wilayah-wilayah lainnya seperti Tepi Barat akan dibiarkan untuk dicaplok dan kemudian dianeksasi menjadi perluasan wilayah Israel. (MIE)
ADVERTISEMENT