Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengurai Sengkarut Nasib Kurdi di Suriah
29 Maret 2019 0:29 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Ilham Effendy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah hampir lima tahun, Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS/Daesh) yang selama ini menjadi momok dunia, khususnya Timur Tengah dengan aksi-aksi brutalnya akhirnya berhasil ditaklukkan.
ADVERTISEMENT
Secara bertahap, sejumlah kawasan yang selama ini menjadi pusat kekuasaan NIIS, yaitu Mosul, Tikrit di Irak, serta Palmyra dan Raqqah di Suriah akhirnya berhasil dilumpuhkan oleh pasukan koalisi Amerika, Turki, Suriah, Rusia, serta Pasukan Demokratik Suriah (Syria Democratic Forces/SDF).
Sejak saat itu, para kombatan dan keluarga NIIS kemudian berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya di Suriah Timur dan Utara mulai dari Mayadin dan Deir Ez-Zour, hingga akhirnya SDF mendeklarasikan kemenangannya atas ISIS setelah seluruh kombatan dan keluarga anggota ISIS dilaporkan menyerahkan diri kepada SDF di kota Baghouz, Suriah.
Lantas, tahukah anda bagaimana asal usul organisasi SDF yang berada di wilayah kekuasaan Rojava-Kurdi di Suriah Utara itu? Dan siapa yang menyokong mereka?
ADVERTISEMENT
Suku Kurdi merupakan bangsa terbesar di muka bumi yang tidak punya tanah air. Mereka tersebar di kawasan Turki, Iran, Suriah, dan Irak yang jumlah populasinya mencapai 40 juta orang.
Jika menelusuri sejarah perjalanannya, nasib suku Kurdi memang sangat memprihatinkan karena selama ini suku tersebut hanya dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan besar dunia untuk mendorong agenda mereka di kawasan.
Suku Kurdi pernah menjadi sekutu Turki setelah perang dunia ke-I, tepatnya ketika Kerajaan Ottoman jatuh dan kemudian sosok nasionalis Turki, Mustafa Kemal Ataturk merangkul Kurdi untuk membantunya melawan penjajahan Inggris dan Barat yang berupaya memecah belah wilayah Turki.
Perang pun berakhir dan negara Turki berdiri pada tahun 1934. Jutaan warga Kurdi akhirnya mendiami wilayah di bawah kepemimpinan sosok nasionalis Turki. Namun, rezim berkuasa kemudian menghapus segala identitas etnis Kurdi dan menggantinya dengan Turki
ADVERTISEMENT
Selain itu, suku Kurdi juga pernah menjadi koalisi Amerika Serikat dengan 20 negara sekutunya ketika akan melakukan invasi ke Irak tahun 2003. Saat itu, koalisi Amerika memulai invasi dengan memasuki wilayah Utara Irak yang didiami suku Kurdi.
Bahkan, pada tanggal 16 Maret 1998, saat perang antara Irak-Iran tengah berlangsung, rezim pemerintah Saddam pernah melakukan serangan dengan menggunakan gas beracun yang membunuh lebih dari 7000 warga Kurdi, yang dikenal dengan ‘tragedi Halabjah’
Kembali ke SDF, organisasi tersebut merupakan gabungan dari kelompok-kelompok milisi yang berasal dari suku Kurdi, Arab, Turkmen dan Assyrian. Meskipun gabungan dari beberapa suku, namun Syrian Democratic Forces (SDF) dipimpin dan didominasi oleh milisi bersenjata YPG (People’s Protection Units) dan YPJ (Women’s Protection Units).
ADVERTISEMENT
SDF kemudian dipersenjatai dan diberdayakan sebagai proxy Amerika untuk menghancurkan kekuatan ISIS di Utara dan Timur Suriah. Jumlah anggota milisi bersenjata yang bergabung dengan SDF diperkirakan mencapai 40.000-45.000 orang.
Tidak diketahui secara persis kesepakatan yang dibuat oleh Amerika dan otoritas Rojava yang merupakan pemerintah berkuasa di wilayah Suriah Utara tersebut. Konon, suku Kurdi yang selama ini hanya merasa ‘dimanfaatkan’ tengah berjuang untuk mengembalikan hak kemerdekaannya.
Nasionalisme Kurdi sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba. Perjuangan bangsa tanpa negara ini cukup panjang dalam upayanya mewujudkan sebuah kedaulatan sebagaimana yang pernah tercatat dalam sejarah bangsa Kurdi meskipun tidak lama.
Masa Depan Kurdi Suriah Pasca Mundurnya Pasukan Amerika
Pasca pernyataan Presiden Trump mengenai keputusan Pemerintah Amerika Serikat yang berencana akan menarik mundur seluruh pasukannya di wilayah Utara dan Timur Suriah sejak pertengahan tahun 2018, kembali menjadi ancaman baru bagi suku Kurdi.
ADVERTISEMENT
Sebab, tak lama setelah itu, Pemerintah Presiden Erdogan yang bekerjasama dengan pasukan oposisi Suriah (Free Syrian Army) mulai melancarkan serangan militer ke Kota Afrin, Otoritas Rojava-Suriah. Afrin adalah salah satu dari 2 (dua) wilayah lainnya, yaitu: Jazira dan Kobani yang diumumkan secara sepihak oleh Kurdi Suriah pada tanggal 9 Januari 2014 sebagai wilayah otonomi bernama Rojava.
Lantas, apa yang memicu Pemerintah Turki untuk menyerang Kurdi Suriah? Salah satunya adalah sebagai respon atas pernyataan Amerika yang akan membentuk pasukan perbatasan (Turki-Suriah) dengan kekuatan 30 ribu personil.
Di samping itu, Pemerintah Turki juga sudah sejak lama membidik Kurdi Suriah dengan keberadaan milisi YPG yang selama ini dinilai sebagai sayap militer Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Pemerintah Turki.
ADVERTISEMENT
PKK merupakan sebuah organisasi/gerakan perlawanan suku Kurdi yang didirikan oleh Abdullah Ocalan pada tahun 1978. Tujuan awal PKK adalah mendirikan negara Kurdi di wilayah Tenggara Turki yang berbatasan dengan Suriah dan nantinya akan menyatukan seluruh suku Kurdi yang tersebar di Irak, Iran dan Suriah.
Kelompok PKK bahkan pernah melancarkan perlawanan bersenjata terhadap Turki pada akhir 1970-an. Namun, akhirnya berhasil dilumpuhkan sehingga Abdullah Ocalan beserta ribuan pendukungnya bertahan di Suriah sambil melanjutkan perlawanan mereka terhadap Turki.
Sejak saat itu, Ocalan menjadi buronan yang paling dicari oleh Turki hingga akhirnya berhasil ditangkap di Kenya, setelah sebelumnya berpindah-pindah dari Suriah, Eropa dan Rusia. Pada tahun 1999, Ocalan kemudian divonis hukuman mati. Namun, kemudian hanya dipenjara seumur hidup karena Turki mencabut aturan hukuman mati sebagai syarat bergabung dengan Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
Meskipun kekuatan PKK perlahan semakin melemah, solidaritas suku Kurdi yang tersebar dibeberapa negara tetap mengobarkan semangat dan terus menginspirasi perjuangan Ocalan dalam mewujudkan kemerdekaan. Namun, melihat tantangan dan penolakan yang semakin kompleks, tampaknya suku kurdi juga sudah mulai melunak dan mengubah langkah strateginya dengan mengedepankan bargaining untuk menuntut otonomi khusus.
Suku Kurdi di Irak telah berhasil mendapatkan otonomi khusus di Irak dengan nama Kurdistan Regional Government (KRG) yang mencakup 3 propinsi besar yaitu Erbil, Sulaimaniyah dan Duhok. Sementara, pada bulan Maret 2016, Kurdi Suriah juga telah mendeklarasikan Federasi Demokratik Rojava-Suriah Utara secara sepihak meskipun tidak direstui dan mendapat kecaman dari Pemerintah Bashar Al-Assad.
Perjalanan suku Kurdi untuk mewujudkan mimpinya menuju sebuah negara yang berdaulat masih memerlukan proses yang sangat panjang dan berliku, terutama Turki yang hingga saat ini masih menganggap entitas Kurdi di perbatasan Suriah-Turki sebagai ancaman.
ADVERTISEMENT
Bisa dibayangkan, bagaimana kekuatan baru Kurdi yang jumlahnya mencapai 40 juta orang kemudian menjelma menjadi sebuah negara yang berdaulat. Tentunya, hal ini bukan persoalan sederhana mengingat entitas baru tersebut pastinya akan menjadi sebuah ancaman bagi negara disekitarnya dan secara langsung akan merubah konstelasi geopolitik di kawasan Timur Tengah. (MIE)