Konten dari Pengguna

Polemik Penanganan Pejuang ISIS

Ilham Effendy
Penikmat Kuliner Timur Tengah
7 April 2019 21:34 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Effendy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah warga sipil yang dievakuasi dari benteng pertahanan ISIS di Baghouz sedang menunggu pemeriksaan di Provinsi Deir Zour, wilayah Timur Suriah (sumber: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah warga sipil yang dievakuasi dari benteng pertahanan ISIS di Baghouz sedang menunggu pemeriksaan di Provinsi Deir Zour, wilayah Timur Suriah (sumber: AFP)
ADVERTISEMENT
ISIS yang selama ini terlihat jumawa dan kerap bertindak brutal, akhirnya menyerah kalah setelah pasukan koalisi AS, Rusia, Irak, Suriah, serta SDF yang merupakan salah satu proxy AS, terus menerus melakukan serangan hingga benteng pertahanan terakhirnya di Kota Baghouz berhasil dilumpuhkan. Akhirnya, satu per satu wilayah yang selama ini dikuasai ISIS di Suriah dan Irak berhasil dibebaskan.
ADVERTISEMENT
Pasca jatuhnya ISIS yang diikuti dengan penyerahan diri para pejuangnya kepada Syrian Democratic Forces (SDF) seakan menjadi babak baru dari perjalanan para pejuang ISIS. Petualang jihad yang telah mendapat stigma negatif sebagai teroris keji atas tindak kekerasan dan kebrutalan yang dipertontonkan selama ini menjadikannya ibarat momok yang sangat menakutkan dan sulit dilupakan oleh siapa pun.
Kini, menjawab keinginan para pejuang ISIS yang bermaksud kembali ke negaranya menjadi tantangan berat bagi negara-negara asal pejuang ISIS, termasuk Indonesia untuk menyikapinya. ISIS yang menganut ideologi garis keras Al-Qaeda selama ini memang dikenal radikal dalam upaya melakukan ‘pemurnian ajaran islam’.
Dengan pemahaman atas teks dan konteks dalam kehidupan beragama dan sosial yang kaku. ISIS tidak hanya memusuhi non-muslim dan Barat, namun juga terhadap kelompok muslim yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai penafsiran ajaran Islam yang mereka yakini.
ADVERTISEMENT
Tak heran, cuitan Presiden Trump melalui akun Twitter-nya yang meminta negara-negara Uni Eropa (UE) untuk memulangkan 800 orang lebih para pejuang ISIS asal Eropa yang ditangkap agar dapat diadili di negara asalnya masing-masing tidak ada yang menggubris. Belakangan, Trump juga mengancam akan melepaskan para pejuang tersebut jika tidak mendapatkan tanggapan dan tentunya hal ini akan menjadi ancaman yang lebih kompleks bagi negara-negara UE.
Sejumlah laki-laki yang dicurigai sebagai pejuang ISIS menunggu proses pemeriksaan oleh SDF setelah meninggalkan tempat pertempuran akhir di Kota Baghouz. (Sumber: AFP/DELIL Souleiman)
ISIS dalam pandangan hampir semua orang adalah identik dengan kekerasan dan ancaman. Catatan kekejaman yang ditorehkan ISIS mulai dari pemenggalan, pembunuhan keji, pemerkosaan, serta perusakan situs-situs bersejarah memang sangat luar biasa. Tak heran, bila beberapa negara Eropa yang menjadi asal dari para pejuang ISIS cukup dilematis dalam mengambil keputusan untuk menyikapi pernyataan Trump serta permintaan dari para warga negaranya yang ingin pulang.
ADVERTISEMENT
Sungguh, persoalan ini tidak sederhana dan setiap negara memiliki posisi yang berbeda-beda dalam menyikapinya. Jika dihimpun dari berbagai tanggapan yang dikemukakan oleh negara-negara asal pejuang ISIS sedikitnya dapat dirumuskan tiga pilihan kebijakan yang sempat mewacana, yaitu:
Pertama, membiarkan eks kombatan maupun non-kombatan diadili oleh sistem hukum yang berlaku di Irak atau Suriah. Hal ini sempat mendapat kritikan mengingat laporan dari sejumlah NGO’s yang menegaskan bahwa penegakan hukum di dua negara tersebut tidak berjalan baik serta adanya beberapa aturan yang bertentangan dengan kebijakan HAM di beberapa negara Eropa, seperti: pelaksanaan hukuman mati.
Selain itu, terdapat juga isu kemanusiaan dan kesehatan yang memprihatinkan mengingat shelter yang seharusnya hanya diisi 20.000 orang namun saat ini menampung para pejuang ISIS yang jumlahnya lebih dari 60.000 orang.
ADVERTISEMENT
Kedua, membiarkan eks kombatan maupun non-kombatan diadili oleh Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) sebagai penjahat perang. Opsi ini sempat mengemuka di beberapa negara yang menolak para pejuang ISIS kembali ke negaranya.
Namun demikian, opsi ini ternyata tidak dapat menjadi pilihan sebab dalam keterangan yang dimuat dalam website ICC, Jaksa Fatou Bensouda dalam argumennya menjelaskan bahwa Irak dan Suriah bukan merupakan negara pihak dalam Statuta Roma sehingga ICC tidak memiliki yurisdiksi teritorial atas tindak kejahatan yang dilakukan di negara mereka. Meski demikian, ICC masih melihat adanya peluang untuk mengadili orang yang paling bertanggung jawab atas tindak kekejaman massal, yaitu: pemimpin ISIS
Ketiga, merepatriasi pejuang ISIS ke negara asal mereka dengan mematuhi hukum dan aturan yang berlaku. Saat ini, opsi tersebut mulai dijajaki oleh sejumlah negara dengan mempertimbangkan banyak hal, khususnya kemanusiaan, mengingat 90% pejuang ISIS yang berada di shelter penampungan di Kota Houl merupakan perempuan dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, beberapa negara, terutama Inggris masih menunjukkan resistensi yang kuat dengan alasan tidak dapat memprediksi ancaman yang muncul. Patut dipahami, terhadap perempuan dan anak-anak yang tidak ikut dalam pertempuran (non-kombatan) persoalannya akan menjadi lebih kompleks karena perannya yang tidak jelas, mulai dari yang berperan sekedar menjadi pembantu atau Ibu Rumah Tangga, namun dalam beberapa kasus ada juga yang menjadi penembak jitu dan pelaku bom bunuh diri.
Berbeda dengan Inggris, beberapa negara seperti Perancis dan Jerman sebagaimana dilansir sejumlah media Barat mulai menyatakan untuk mempertimbangkan pemulangan mereka dengan mengkaji masalahnya terlebih dahulu secara kasus per kasus.