Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Rekomendasi OECD Menaikkan Cukai Rokok: Kesehatan atau Tax Ratio?
20 Januari 2025 10:51 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Ilham Febri Budiman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
OECD melalui survei ekonomi Indonesia tahun 2024 membuat beberapa rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan tax ratio Indonesia. Lantas, apabila Indonesia mengambil langkah tersebut, apakah semata-mata untuk kepentingan tax ratio? Atau mengedepankan aspek kesehatan masyarakat?
ADVERTISEMENT
Apa Itu OECD?
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merupakan organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi yang berbasis di Paris, Perancis dan berdiri pada tahun 1961 (Eurostat, 2022). Organisasi internasional ini bergerak dalam upaya membentuk kebijakan yang mendorong kemakmuran, kesetaraan, kesempatan, serta kesejahteraan bagi semua pihak. OECD sendiri awal terbentuknya berakar dari Organization for European Economic Co-operation (OEEC) pada 1948 silam. Mulanya, OECD hanya fokus pada isu-isu ekonomi makro yang kemudian meluas hingga isu-isu pembangunan dan termasuk didalamnya perpajakan. OECD memiliki peran sebagai a think-tank organization dan a club of best practices dimana menjadi forum bagi negara-negara untuk saling bertukar informasi dan melaksanakan konsultasi (DJP, 2024). OECD memiliki 38 negara anggota dengan 33 negara berstatus negara maju dan 5 lainnya negara berkembang. Anggota OECD berkontribusi pada 80% aktivitas perdagangan dunia dan menyumbang 41,1% GDP Global.
ADVERTISEMENT
Mengapa OECD Memberi Rekomendasi Pada Indonesia?
Indonesia bukan merupakan anggota OECD melainkan sebagai mitra, namun belakangan menjadi kandidat aksesi baru OECD bersama dengan Argentina, Brasil, Bulgaria, Kroasia, Peru, Romania dan Thailand. Lebih lanjut, pemerintah Indonesia melalui Kemenko Perekonomian juga terus mendorong proses aksesi OECD dan akan menjadi negara Asia Tenggara yang menjadi aksesi. Bahkan pemerintah telah membentuk Tim Nasional OECD untuk mendukung proses tersebut.
OECD secara rutin mempublikasi produk berupa Survei Ekonomi Indonesia setiap tahunnya dan terbaru mereka mengeluarkan survei untuk tahun 2024 pada November tahun lalu. Survei Ekonomi OECD adalah publikasi rutin unggulan OECD yang mendalam melalui dialog kebijakan antara OECD dengan para pembuat kebijakan senior dari negara-negara maju dan berkembang termasuk Indonesia, yang mencakup aspek makroekonomi, tenaga kerja, sosial, investasi, perdagangan, lingkungan hidup, dan isu kebijakan lainnya.
ADVERTISEMENT
Survei Ekonomi OECD Indonesia 2024 mencakup dua agenda tematik tentang Digitalisasi dan Transisi Hijau. Survei Ekonomi OECD Indonesia 2024 terbagi kedalam empat bab yang membahas: 1) kebijakan makroekonomi; 2) konvergensi sosial-ekonomi; 3) digitalisasi; dan 4) transisi hijau. OECD mendukung upaya Indonesia dalam rangka membangun ketahanan pangan, energi, air, penguatan sumber daya manusia, serta percepatan transisi hijau, untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Rekomendasi OECD: Tingkatkan Cukai Rokok!
Tax Ratio menjadi salah satu isu yang dibahas dalam Survei Ekonomi Indonesia 2024 (OECD, 2024). Dalam laporan tersebut, OECD menyoroti tax ratio Indonesia yang masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Berdasarkan grafik tersebut, persentase penerimaan perpajakan Indonesia terhadap GDP (tax ratio) masih sangat rendah dan hanya berada pada angka 10,38% pada tahun 2022. Untuk meningkatkan tax ratio tersebut, OECD merekomendasikan beberapa kebijakan strategis kepada Indonesia yang salah satunya ialah meningkatkan cukai rokok (DDTC, 2024). Seperti diketahui, penerimaan cukai termasuk dalam komponen pendapatan perpajakan dalam postur APBN Indonesia dan termasuk dalam perhitungan tax ratio.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Konsumsi Rokok di Indonesia?
Secara teoretis, cukai merupakan jenis Piguovian Tax. Apa itu piguovian tax? Piguovian Tax adalah pajak yang dikenakan atas transaksi pasar yang menyebabkan eksternalitas negatif (Lucas Jr, 2024). Apa itu eksternalitas negatif? Eksternalitas negatif adalah dampak buruk dari suatu kegiatan yang dirasakan oleh orang lain atau lingkungan, tanpa ada kompensasi. Dalam bahasa sederhana, ini seperti efek samping yang merugikan orang lain akibat tindakan kita, walaupun kita sendiri mungkin mendapat manfaat dari tindakan itu.
Eksternalitas negatif rokok di Indonesia mencakup dampak kesehatan, sosial, dan lingkungan. Asap rokok membahayakan perokok pasif, termasuk ibu hamil dan anak-anak, yang rentan terkena penyakit pernapasan dan komplikasi lainnya. Beban kesehatan masyarakat meningkat akibat tingginya biaya pengobatan penyakit terkait rokok, seperti kanker paru-paru dan penyakit jantung, yang sebagian besar ditanggung oleh BPJS. Selain itu, limbah puntung rokok mencemari lingkungan, sementara industri tembakau berkontribusi pada deforestasi. Dari sisi ekonomi, pengeluaran untuk rokok sering membebani keluarga berpenghasilan rendah, mengurangi dana untuk kebutuhan pokok. Dampak ini juga memperpanjang siklus kemiskinan dan normalisasi merokok di kalangan generasi muda.
ADVERTISEMENT
Konsumsi rokok di Indonesia merupakan isu kesehatan masyarakat yang signifikan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, sekitar 28,62% dari penduduk berusia 15 tahun ke atas adalah perokok, dengan prevalensi lebih tinggi di kalangan laki-laki (56,36%) dibandingkan perempuan (1,06%). Di daerah perdesaan, angka ini mencapai 31,09%, sementara di perkotaan 26,87%. Konsumsi rokok di Indonesia juga sangat tinggi, dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat konsumsi mencapai 322 miliar batang pada tahun 2020.
Cukai Rokok di Indonesia
Penerimaan cukai di Indonesia terus tumbuh tiap tahunnya meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2023. Terbaru, pada RAPBN 2025 penerimaan cukai diproyeksikan tumbuh 5,9% atau berada pada angka Rp244,2 triliun. Penerimaan perpajakan total diproyeksikan sebesar Rp2.490,9 trilian pada tahun 2025 (Nota Keuangan 2025). Dengan demikian, penerimaan cukai menyumbang sekitar 9,7% total penerimaan perpajakan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris. Untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I, HJE paling rendah ditetapkan sebesar Rp 2.375 per batang dengan tarif cukai Rp 1.231 per batang. Untuk Sigaret Kelembak Kemenyan (KLM) golongan I, HJE adalah Rp 950 dengan tarif cukai Rp 483 per batang, sementara golongan II memiliki HJE minimum sebesar Rp 200 dengan tarif cukai Rp 25 per batang. Jenis tembakau iris dan rokok daun atau klobot juga memiliki batasan harga yang tidak berubah dari tahun sebelumnya, berkisar antara Rp 55 hingga Rp 290.
Meningkatkan Cukai Rokok: Tax Ratio atau Kesehatan?
Peningkatan tarif cukai rokok di Indonesia merupakan isu yang memicu perdebatan antara dua tujuan utama, yakni antara meningkatkan tax ratio dan memperbaiki kesehatan masyarakat. Di satu sisi, pengenaan cukai rokok dapat menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi negara. Cukai hasil tembakau tidak hanya berfungsi sebagai instrumen fiskal, tetapi juga sebagai alat untuk mengendalikan konsumsi rokok. Dengan tarif cukai yang lebih tinggi, pemerintah dapat meningkatkan penerimaan negara, yang dapat dialokasikan untuk berbagai program pembangunan, termasuk kesehatan.
ADVERTISEMENT
Namun, aspek kesehatan juga menjadi alasan penting dalam penetapan tarif cukai. Rokok merupakan salah satu penyebab utama penyakit dan kematian dini di Indonesia. Dengan meningkatkan tarif cukai, diharapkan konsumsi rokok dapat ditekan, terutama di kalangan anak-anak dan remaja yang lebih rentan terhadap iklan dan promosi produk tembakau. Penelitian menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai sebesar 10% dapat menurunkan konsumsi rokok hingga 1,056%. Oleh karena itu, kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak tetapi juga untuk melindungi kesehatan masyarakat dari dampak buruk merokok.
Peningkatan tax ratio dan perlindungan kesehatan seharusnya saling terkait. Peningkatan penerimaan dari cukai rokok dapat digunakan untuk mendanai program-program kesehatan masyarakat, seperti perawatan kesehatan dan kampanye anti-merokok. Dengan demikian, kebijakan cukai tidak hanya berfungsi sebagai alat pengendalian konsumsi tetapi juga sebagai sumber pembiayaan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, tantangan tetap ada. Ketidakpastian ekonomi dan potensi penurunan daya beli masyarakat dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan ini. Jika tarif cukai terlalu tinggi, ada risiko pergeseran konsumsi ke produk rokok ilegal atau produk dengan tarif lebih rendah, yang justru dapat mengurangi penerimaan negara dan memperburuk masalah kesehatan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menemukan keseimbangan antara peningkatan tarif cukai untuk tujuan fiskal dan kesehatan tanpa mengorbankan keberlanjutan industri hasil tembakau yang juga menyerap tenaga kerja.
Secara keseluruhan, kebijakan tarif cukai rokok harus dipandang sebagai upaya holistik yang mencakup aspek ekonomi dan kesehatan. Dengan pendekatan yang tepat, pengenaan cukai tidak hanya akan meningkatkan tax ratio tetapi juga berkontribusi pada pengurangan prevalensi merokok dan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penutup
OECD mendorong peningkatan cukai rokok sebagai langkah strategis. Peningkatan cukai tidak hanya berpotensi memperkuat penerimaan negara, tetapi juga menjadi alat yang efektif untuk mengurangi konsumsi rokok, terutama di kalangan anak-anak dan remaja, yang rentan terhadap dampak buruk tembakau. Namun, kebijakan ini memicu pro dan kontra. Di satu sisi, kebijakan ini dapat membantu pemerintah mencapai tujuan fiskal sekaligus menekan prevalensi rokok, mendukung peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Di sisi lain, kenaikan tarif yang signifikan dapat berdampak pada daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, menciptakan risiko peralihan ke rokok ilegal yang justru mengurangi efektivitas kebijakan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara meningkatkan tarif cukai untuk mendukung tax ratio dan melindungi kesehatan, sambil memastikan keberlanjutan ekonomi bagi industri hasil tembakau dan masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Referensi
Eurostat. (2022). Glossary:Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Retrieved from Statistics Explained: https://ec.europa.eu/eurostat/statistics-explained/index.php?title=Glossary:Organisation_for_Economic_Co-operation_and_Development_(OECD)
DJP. (2024, Desember 12). Aksesi ke OECD: Timbang-Timbang Relevansi, Peluang, dan Tantangan bagi Perpajakan Indonesia. Retrieved from Artikel Pajak: https://pajak.go.id/id/artikel/aksesi-ke-oecd-timbang-timbang-relevansi-peluang-dan-tantangan-bagi-perpajakan-indonesia
OECD. (2024). OECD Economic Surveys: Indonesia 2024. Paris: OECD Publishing.
DDTC. (2024, Desember 8). Sederet Rekomendasi OECD untuk Indonesia dalam Meningkatkan Tax Ratio. Retrieved from DDTC News: https://news.ddtc.co.id/berita/infografis/1807406/sederet-rekomendasi-oecd-untuk-indonesia-dalam-meningkatkan-tax-ratio
Lucas Jr, G. (2024). Shaping Preferences with Pigouvian Taxes. N.Y.U. Journal of Legislation and Public Policy, 24-36.
Nota Keuangan 2025.
Live Update