Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Audit Keuangan BUMN: Transparansi atau Politisasi?
3 Maret 2025 11:14 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ilham Yuli Isdiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
BUMN selalu berada dalam dilema antara kepentingan bisnis, politik, dan pelayanan publik. Tingginya utang serta skandal korupsi yang terus bermunculan semakin memperburuk citranya. Kini, perubahan melalui UU No. 1/2025 yang menggantikan UU No. 19/2003 membawa angin baru dalam pengawasan keuangan BUMN. Namun, apakah ini benar-benar solusi untuk transparansi, atau justru membuka ruang lebih luas bagi politisasi?
ADVERTISEMENT
Salah satu sorotan utama adalah Pasal 71 dan 71A, yang mengatur peran akuntan publik dan BPK dalam proses audit BUMN. Namun, ada satu hal yang mengundang tanda tanya besar: kewenangan BPK kini terbatas dan hanya bisa melakukan audit berdasarkan permintaan DPR. Ini menimbulkan spekulasi—apakah ini langkah menuju transparansi yang lebih baik, atau justru menjadikan BPK sebagai instrumen politik?
Pengawasan atau Beban Administratif?
Sebagai perusahaan negara, BUMN memikul tanggung jawab yang kompleks. Di satu sisi, ia harus menjalankan prinsip bisnis yang sehat, di sisi lain ia harus tunduk pada kepentingan politik dan sosial. Kombinasi ini kerap menjadikannya tidak efisien, birokratis, dan rawan korupsi—seperti yang terlihat dalam skandal Jiwasraya, Asabri, hingga Pertamina.
ADVERTISEMENT
Masalah utama BUMN sebenarnya ada pada dua aspek: regulasi yang terlalu kaku dan sumber daya manusia yang belum sepenuhnya profesional. Akibatnya, banyak BUMN yang berjalan tanpa inovasi, justru tersandera oleh administrasi yang berlebihan.
Audit seharusnya menjadi solusi untuk akuntabilitas, tetapi mekanisme baru ini justru berpotensi menciptakan konflik kepentingan. Mengapa? Karena akuntan publik yang bertugas melakukan audit ditunjuk oleh RUPS untuk Persero dan Menteri untuk Perum, sehingga kemungkinan besar mereka cenderung berpihak pada petinggi BUMN atau bahkan kepentingan penguasa. Jika demikian, audit hanya akan menjadi formalitas belaka.
Tidak hanya itu, audit oleh BPK yang hanya dilakukan berdasarkan permintaan DPR juga membuka peluang politisasi. DPR sebagai lembaga politis jelas memiliki kepentingan sendiri. Jika audit dilakukan bukan atas dasar kebutuhan obyektif, melainkan berdasarkan kepentingan politik, maka transparansi yang diharapkan justru akan semakin jauh dari realitas.
ADVERTISEMENT
Efisiensi vs. Over-Regulasi
BUMN memiliki karakter unik: sebagai badan usaha, ia dituntut untuk mencari keuntungan maksimal, tetapi di saat yang sama, ia juga harus tunduk pada regulasi publik. Persoalan utama muncul ketika pengawasan yang dilakukan justru menambah beban administrasi yang tidak perlu.
Jika BUMN benar-benar dianggap sebagai entitas publik, maka audit oleh BPK memang masuk akal. Namun, jika ia lebih berorientasi bisnis, seharusnya mekanisme auditnya lebih fleksibel, sesuai dengan standar korporasi. Jika sistem audit terlalu birokratis, justru daya saing BUMN akan menurun, inovasi terhambat, dan risiko bisnis meningkat. Apakah ini yang kita inginkan?
Lebih jauh, asas Business Judgment Rule dalam hukum korporasi menyatakan bahwa direksi tidak bisa dituntut secara pribadi atas keputusan bisnisnya selama dilakukan dengan itikad baik. Namun, dengan mekanisme audit yang semakin kompleks dan berpotensi bias politik, keputusan bisnis yang seharusnya bersifat strategis bisa berubah menjadi kasus hukum yang justru melemahkan manajemen BUMN.
ADVERTISEMENT
Perlukah Pasal Korupsi untuk BUMN?
Salah satu pertanyaan besar dalam diskursus ini adalah: apakah BUMN harus selalu dikategorikan sebagai entitas publik? Jika ya, maka pelanggaran yang terjadi bisa masuk dalam ranah penyalahgunaan wewenang dan bahkan tindak pidana korupsi. Tetapi jika BUMN lebih difokuskan sebagai entitas bisnis, seharusnya pelanggaran lebih diarahkan pada mekanisme hukum perdata dan administrasi.
Mudahnya penerapan sanksi pidana bisa menjadi bumerang. Penerapan pasal korupsi yang tidak selektif bisa menciptakan kriminalisasi kebijakan, di mana direksi dan manajer BUMN lebih memilih untuk bermain aman daripada mengambil langkah strategis demi pertumbuhan bisnis. Jika ini terjadi, maka BUMN akan semakin kehilangan daya saingnya di pasar.
Reformasi Audit BUMN: Solusi atau Ilusi?
Setiap orang sepakat bahwa audit BUMN harus dilakukan secara transparan. Tetapi mekanisme yang ada tidak boleh membuka celah bagi konflik kepentingan atau politisasi. Untuk itu, ada tiga hal utama yang harus diperhatikan. Pertama, independensi auditor harus dijamin melalui mekanisme yang transparan dan bebas dari intervensi politik. Transparansi hasil tidak akan tercapai jika prosesnya sendiri sudah cacat. Kedua, BPK seharusnya memiliki kewenangan melakukan audit rutin, bukan sekadar berdasarkan permintaan DPR yang rawan politisasi. Audit berkala lebih menjamin akuntabilitas ketimbang mekanisme ad hoc yang dipenuhi kepentingan politik. Ketiga, kriteria penerapan pasal korupsi harus jelas dan berpedoman pada prinsip Business Judgment Rule. Tidak semua kesalahan bisnis harus langsung dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Tanpa reformasi yang jelas dalam mekanisme audit, BUMN akan terus menjadi alat kepentingan politik dan birokrasi, bukan sebagai lembaga bisnis yang transparan dan profesional. Apakah kita ingin BUMN menjadi motor ekonomi yang sehat, atau justru menjadi sapi perah politik dan ladang korupsi yang tak kunjung usai?. Salam