news-card-video
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Desa Berdaya, Tubaba Jaya: Mewujudkan Piil Pesenggiri dalam Pembangunan Tubaba

Ilham Yuli Isdiyanto
Direktur Translektual : Pusat Kajian Politik dan Hukum
24 Maret 2025 19:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Yuli Isdiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Arah pembangunan yang berangkat dari desa sebagai akarnya adalah kunci mewujudkan kesejahteraan yang merata, berkelanjutan, dan berkeadilan. Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) dengan 103 desa sebagai modal sosial sudah seharusnya menjadikannya fondasi utama dalam membangun daerah. Kesadaran atas nilai-nilai Piil Pesenggiri serta filosofi Nenemo (Nemen, Nedes, Nerimo) harus dimaknai sebagai kembalinya pada jati diri fitrah pembangunan yang berangkat dari desa. Gemerlap pembangunan infrastruktur yang berskala besar pada dasarnya rapuh tanpa ada kesadaran bahwa kekuatan Tubaba ada di desa.
Pertunjukan seni dalam festival bambu Tubaba 2020 | Foto : Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Pertunjukan seni dalam festival bambu Tubaba 2020 | Foto : Istimewa
Membangun Tubaba dengan Piil Pesenggiri dan Nenemo
ADVERTISEMENT
Seperti kata pepatah, hidup dikandung adat dan mati dikandung bumi. Adat masyarakat Lampung Tubaba yang berlandaskan pada nilai filosofis Piil Pesenggiri harus menjadi motor atas hidup bekerja keras dan militan untuk menjunjung harga diri (pesenggiri), meraih kehormatan (juluk-adok), semangat saling tolong-menolong (sakai-sambayan), dan bermasyarakat sebaik-baiknya (nengah-nyappur dan nemui-nyimah).
Pada masyarakat Tubaba yang plural, Pemerintah Tubaba kemudian menggunakan dasar dari Piil Pesenggiri sebagai strategi kebudayaan dengan moto "ragem sai mangi wawai" yang berarti "kebersamaan menuju keberhasilan". Strategi kebudayaan ini tidak lain dari konstruksi dasar historis masyarakat Lampung yang sejak dahulu dikenal sebagai Sang Bumi Ruwai Jurai yang berarti satu bumi dua tradisi (ruwa dan jurai). Turunan dari filosofi ini melahirkan prinsip Nenemo yakni nemen (bekerja keras), nedes (militan, tahan banting), dan nerimo (keikhlasan).
ADVERTISEMENT
Dari strategi kebudayaan sampai pada prinsip kerja tersebut telah berhasil membawa berbagai kemajuan yang ada di Tubaba. Tubaba berkarakter telah muncul dari kecerdasan dalam menyusun konsep filosofis yang bersumbu pada budaya lokal (adat Lampung) secara akulturasi.
Langkah ini kemudian dimunculkan dalam langkah kerja kebudayaan, pembangunan, dan juga pemerintahan secara keseluruhan. Kini, dengan kepemimpinan Tubaba yang baru di bawah pasangan Bupati Novriwan Jaya dan Wakil Bupati Nadirsyah yang mengusung moto "melanjutkan", maka tantangan terbesarnya bukan hanya sekadar "memoles" capaian Bupati/Wakil Bupati sebelumnya, tetapi harus mampu menggunakan strategi ini sebagai modal untuk meningkatkan capaian pembangunan yang lebih baik lagi.
Potret Desa di Tubaba: Antara Tantangan dan Harapan
Berbagai gebrakan pembangunan infrastruktur di Tubaba memang cukup signifikan, hanya saja menyimpan persoalan mendasar. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Tubaba mencapai 20,35 ribu jiwa pada tahun 2024. Artinya, dari total jumlah penduduk sebanyak 298.696, sekitar 6,81% masih tergolong miskin.
ADVERTISEMENT
Kemudian, berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM), terdapat 47 desa berkembang, 39 desa maju, dan 14 desa mandiri. Artinya, masih banyak sekali desa yang belum memenuhi standar kemandirian sebagai soko ekonomi bagi Kabupaten Tubaba. Angka ini mengingatkan bahwa ada kesenjangan pembangunan di desa-desa yang perlu ditangani secara serius.
Gebrakan infrastruktur sudah cukup memadai, kini sudah saatnya gebrakan pembangunan berbasis desa yang perlu mendapatkan perhatian utama. Jika Pemerintah Daerah Tubaba berdiam diri tanpa intervensi kuat dan intens dalam aspek pemberdayaan ekonomi lokal dan peningkatan kapasitas SDM desa, kesenjangan ini akan terus bertahan dan bahkan berpotensi melebar.
Arah Kebijakan: Membangun dari Desa untuk Tubaba Jaya
Menurut Robert Chambers (1983), pembangunan dengan pendekatan top-down cenderung sentralistis dan abai terhadap aspirasi masyarakat desa. Dalam konsepnya, pendekatan bottom-up development menawarkan pendekatan berbasis masyarakat (bottom-up), khususnya pedesaan, seperti pemberdayaan desa, pembangunan infrastruktur berbasis masyarakat, dan kebijakan desentralisasi ke desa. Model ini berfokus pada pemberdayaan, kemandirian, dan inovasi lokal untuk menciptakan perubahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa, bukan hanya kepentingan pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Secara regulatif, kebijakan berbasis desa juga selaras dengan ketentuan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menegaskan otonomi desa dalam merencanakan dan mengelola pembangunan. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga mendorong desentralisasi dan peningkatan kapasitas desa dalam pembangunan.
Arah kebijakan nantinya harus didasarkan pada kebutuhan masyarakat desa, baik itu persoalan ketimpangan infrastruktur, rendahnya produktivitas pertanian, dukungan hilirisasi pertanian, dukungan permodalan dan asistensi UMKM, lemahnya tata kelola pemerintahan desa, kesenjangan akses pendidikan dan kesehatan, kerusakan ekologi, rendahnya kesadaran wisata, dan berbagai persoalan lainnya.
Membangun dari desa adalah kesadaran tentang "bagaimana negara hadir melalui desa". Mendorong dan mewujudkan desa mandiri adalah keniscayaan, bukan hanya secara status IDM, melainkan secara konkret untuk mensejahterakan masyarakat sesuai filosofi Piil Pesenggiri dan prinsip Nenemo.
Pasar Pulung / Pasar Modern di Tubaba, Lampung, Kamis (5/10/2023) | Foto: Roza Hariqo/Lampung Geh
Kembali ke Masa Depan
ADVERTISEMENT
Seperti masa lalu yang selalu dimulai dari desa, demikian pula masa depan Tubaba bergantung pada bagaimana desa-desa diberdayakan. Dengan membangun dari desa, Tubaba tidak hanya akan maju secara infrastruktur, tetapi juga sejahtera secara sosial, ekonomi, dan budaya. Desa yang diberdayakan bukan sekadar simbol kemajuan, tetapi fondasi bagi kesejahteraan yang merata dan berkelanjutan.
Sebagaimana Piil Pesenggiri yang menjunjung harga diri dan gotong royong, serta Nenemo yang menanamkan kerja keras, daya juang, dan keikhlasan, pembangunan Tubaba harus berpijak pada akar budaya dan potensi lokal. Dengan begitu, Tubaba akan benar-benar menjadi kabupaten yang maju, merata, berkeadilan dan berkelanjutan. Pembangunan yang selaras dengan nilai-nilai ini akan menciptakan harmoni antara kemajuan modern dan kearifan tradisional, menjadikan Tubaba sebagai kabupaten yang tumbuh, berkembang, dan maju secara adil serta berkelanjutan. Tabik.
ADVERTISEMENT