Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dinamika Nikel : Tantangan, Kebijakan, dan Implikasi Hukum Pencabutan IUP
12 Desember 2024 15:06 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ilham Yuli Isdiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketidakpastian hukum dan tumpang tindih kebijakan di sektor nikel Indonesia mengancam stabilitas investasi dan keberlanjutan industri. Tanpa reformasi yang jelas, potensi besar nikel kita bisa terbuang sia-sia.
ADVERTISEMENT
Indonesia telah lama dikenal sebagai salah satu produsen nikel terbesar di dunia, dengan total cadangan bijih nikel yang diperkirakan mencapai 5,3 miliar ton. Angka ini menunjukkan betapa strategisnya posisi Indonesia dalam pasar nikel global, yang saat ini semakin penting, terutama dengan meningkatnya permintaan untuk baterai lithium-ion yang digunakan dalam kendaraan listrik.
Namun, di balik potensi besar tersebut, pengelolaan dan pengaturan sumber daya nikel di Indonesia tidak terlepas dari berbagai tantangan, baik dari sisi kebijakan, regulasi, maupun implikasi hukumnya. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan sumber daya nikel adalah pengaturan Izin Usaha Penambangan (IUP), yang awalnya menjadi urusan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU No. 23/2014) kini menjadi kewenangan dekonsentrasi sesuai dengan UU No. 3/2020. Isu yang sering muncul adalah pencabutan IUP secara sepihak oleh pemerintah pusat, yang tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum tetapi juga dapat merusak reputasi birokrasi serta mengganggu stabilitas ekonomi daerah dan nasional.
Pencabutan IUP dan Bias Kewenangan Pusat-Daerah
ADVERTISEMENT
Pada awalnya, kewenangan pengelolaan sumber daya alam, termasuk mineral dan batubara, dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berdasarkan UU No. 4 Tahun 2009. Kewenangan daerah bersifat konkuren, yang berarti bahwa meskipun kebijakan umum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Hal ini kemudian dipertegas dalam UU No. 23 Tahun 2014, di mana Pemerintah Daerah berperan dalam penerbitan dan pencabutan IUP, sementara Pemerintah Pusat lebih fokus pada pengaturan kebijakan dan pengawasan.
Namun, perubahan yang dilakukan melalui UU No. 3 Tahun 2020 mengubah kewenangan ini menjadi lebih terpusat pada Pemerintah Pusat. Dengan demikian, muncul ketidaksesuaian antara UU No. 3 Tahun 2020 dengan UU No. 23 Tahun 2014 mengundang polemik. Hal ini terutama terkait dengan kewenangan untuk mencabut IUP/IUPK, yang kini sepenuhnya diberikan kepada Menteri, menghilangkan hak Pemerintah Daerah yang sebelumnya memiliki kewenangan tersebut sebagai bagian dari rezim “otonomi lokal”. Ketidakselarasan ini menimbulkan ketidakpastian hukum, karena IUP/IUPK yang telah diterbitkan sebelumnya seharusnya tunduk pada ketentuan yang berlaku sebelum adanya perubahan UU pada tahun 2020, termasuk hak pencabutannya.
ADVERTISEMENT
Prosedur Pencabutan IUP/IUPK yang Kontroversial
Pencabutan IUP/IUPK memiliki prosedur yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik sebelum maupun setelah tahun 2020. Berdasarkan UU No. 4 Tahun 2009, pencabutan IUP/IUPK dapat dilakukan apabila pemegang izin tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pencabutan ini dapat dilakukan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Prosedur pencabutan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010, yang mengatur tahapan sanksi administratif, mulai dari peringatan pertama hingga penghentian sementara sebelum akhirnya pencabutan.
Namun, dengan terbitnya UU No. 3 Tahun 2020, prosedur pencabutan IUP/IUPK mengalami perubahan yang cukup signifikan. Dalam UU ini, kewenangan pencabutan sepenuhnya diberikan kepada Menteri tanpa perlu persetujuan dari Pemerintah Daerah. Ini menimbulkan ketidaksesuaian dengan prinsip otonomi daerah yang telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014. Selanjutnya, prosedur pencabutan ini diperjelas dalam PP No. 96 Tahun 2021, yang mencakup tahapan sanksi administratif, termasuk peringatan tertulis, penghentian sementara, dan akhirnya pencabutan jika pemegang IUP/IUPK tidak memenuhi kewajibannya. Ketentuan dalam PP ini juga menegaskan bahwa sanksi administratif yang diberikan tidak bersifat hierarkis, tetapi fakultatif, meskipun tetap harus dilakukan dengan akuntabilitas yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Inkonsistensi Kebijakan dalam Pencabutan IUP/IUPK
Selain perubahan yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2020, polemik baru muncul melalui Perpres No. 55 Tahun 2022 dimana pada ketentuan Pasal 2 ayat (9) di mana pemberian sanksi termasuk pembinaan oleh Presiden sudah didelegasikan kepada Gubernur, bukan lagi Menteri. Hal ini menciptakan ketidakselarasan dengan prosedur pencabutan yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 2020 dan PP No. 96 Tahun 2021 yang masih menjadi domain Menteri.
Selain itu, pembentukan Satgas Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022 yang memberikan rekomendasi pencabutan IUP/IUPK menunjukkan adanya inkonsistensi dalam penerapan aturan terkait pencabutan IUP/IUPK dimana pencabutan IUP/IUPK dilakukan oleh BKPM.
Potensi Penyalahgunaan Wewenang dalam Pencabutan IUP/IUPK
ADVERTISEMENT
Salah satu masalah utama dalam prosedur pencabutan IUP/IUPK adalah potensi terjadinya penyalahgunaan wewenang, terutama ketika kewenangan tersebut dilaksanakan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam hal ini, pencabutan IUP/IUPK oleh BKPM, khususnya yang diterbitkan sebelum 2020, dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang karena melibatkan kewenangan yang seharusnya menjadi domain pemerintah daerah.
Selain itu, proses pencabutan yang tidak mengikuti prosedur hierarkis yang ditetapkan dalam PP No. 96 Tahun 2021 juga dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip pemerintahan yang baik, yang mengutamakan kepastian hukum dan keadilan.
Arah Kebijakan
Dalam konteks pengelolaan sumber daya nikel Indonesia, kebijakan pencabutan IUP/IUPK yang tidak konsisten dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang berbahaya bagi investor dan pengusaha. Oleh karena itu, diperlukan penyelarasan kebijakan dan peraturan yang lebih baik antara pemerintah pusat dan daerah, serta implementasi prosedur yang lebih transparan dan akuntabel. Hal ini penting untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dan memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam Indonesia dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi negara dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ke depan, pemerintah perlu memastikan bahwa proses pencabutan IUP/IUPK dilakukan dengan mematuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik, termasuk kepastian hukum, keadilan, dan transparansi. Penyalahgunaan wewenang dalam proses pencabutan harus dihindari untuk menghindari sengketa hukum yang merugikan semua pihak. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya nikel Indonesia dapat menjadi lebih efisien, adil, dan berkelanjutan, mendukung Indonesia sebagai pemain utama dalam industri kendaraan listrik dan transisi energi global. Salam kedaulatan energi.