news-card-video
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Fenomena Sukatani: Musik Protes yang Selalu Dianggap Mengganggu

Ilham Yuli Isdiyanto
Direktur Translektual : Pusat Kajian Politik dan Hukum
4 Maret 2025 10:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Yuli Isdiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Profil Sukatani Band, Foto: instagram/@sukatani.band
zoom-in-whitePerbesar
Profil Sukatani Band, Foto: instagram/@sukatani.band
ADVERTISEMENT
Ketika sebuah lagu membuat sebuah institusi merasa gerah dan terancam, persoalannya bukan lagi sekadar musik dan lirik, melainkan lebih dalam: tentang kebebasan berekspresi dan kebenaran yang coba ditutupi. Lagu Bayar Bayar Bayar dari band punk Sukatani bukan sekadar nada dan syair, melainkan suara keresahan publik atas praktik korupsi di tubuh kepolisian. Sayangnya, respons awal dari institusi tersebut menunjukkan keengganan untuk dikritik.
ADVERTISEMENT
Musik sebagai ekspresi sosial bukanlah fenomena baru. Dari Iwan Fals, Slank, Efek Rumah Kaca, hingga Navicula—musik protes selalu hadir sebagai suara rakyat. Namun, ketika kritik justru dianggap sebagai ancaman, bukankah sudah seharusnya, seperti lirik lagu Iksan Skuter, kita semua nyalakan tanda bahaya.
Musik dan Kritik Sosial: Hak Fundamental atau Pelanggaran Hukum?
Kebebasan berekspresi bukan sekadar hak individu, tetapi juga pilar utama demokrasi. John Stuart Mill pernah menegaskan bahwa kebebasan ini adalah mekanisme pencarian kebenaran. Larangan terhadap kritik bisa berarti membungkam kebenaran, melanggengkan penindasan, dan menghambat kemajuan.
Konstitusi kita sudah jelas dalam menjamin kebebasan berekspresi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28E UUD 1945. Tak hanya itu, jaminan ini diperkuat oleh Pasal 22 ayat (1) UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, Pasal 23 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang HAM, serta Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12/2005.
ADVERTISEMENT
Namun, di lapangan, kebebasan ini kerap diberangus dengan dalih “menjaga ketertiban umum”—frasa yang sering dimaknai secara luas dan sewenang-wenang. Ditambah lagi, Pasal 310-311 KUHP tentang pencemaran nama baik serta Pasal 27 ayat (3) UU ITE kerap dijadikan alat untuk membungkam kritik. Padahal, kritik bukanlah bentuk perlawanan, melainkan upaya menuntut kebenaran dan perbaikan.
Kebebasan berekspresi memang memiliki batas, tetapi seperti yang dijelaskan Michel Foucault dalam konsep panopticon, batas ini hanya relevan jika ekspresi tersebut berujung pada tindakan kriminal nyata. Sayangnya, banyak institusi justru menerapkan pembatasan kebebasan ini secara subjektif, yang akhirnya merusak demokrasi itu sendiri.
Jika kritik terhadap kepolisian dianggap sebagai pelanggaran hukum, maka jelas Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pembungkaman seperti ini adalah bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional masyarakat. Noam Chomsky bahkan menegaskan bahwa menolak kebebasan berekspresi atas sesuatu yang tidak disukai sama saja dengan menolak kebebasan berekspresi sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
Kasus pemanggilan terhadap Sukatani yang berujung pada permintaan maaf terbuka adalah bentuk nyata dari pembungkaman. Meskipun kepolisian menyatakan bahwa mereka “tidak anti kritik”, kenyataannya lagu Bayar Bayar Bayar tetap ditarik. Jika benar-benar terbuka terhadap kritik, seharusnya respons yang muncul adalah perbaikan, bukan tekanan.
Polisi, Kritik, dan Ketakutan Akan Akuntabilitas
Reaksi sebuah institusi terhadap kritik mencerminkan karakter sejatinya: apakah reflektif atau reaktif? Ketika kritik dianggap ancaman, reaksi yang muncul adalah defensif dan represif. Itulah yang terjadi pada Sukatani—pemanggilan dan surat ke tempat kerja vokalisnya menunjukkan sikap reaktif yang justru memperlihatkan ketakutan terhadap kritik.
Jürgen Habermas pernah menyatakan bahwa sikap semacam ini adalah bentuk anti-demokrasi karena menghambat diskusi kritis di ruang publik. Jika kritik terhadap institusi negara dianggap sebagai ancaman atau pelanggaran ketertiban umum, maka kita sedang menyaksikan degradasi demokrasi secara terang-terangan.
ADVERTISEMENT
Jika lirik Bayar Bayar Bayar tidak akurat, bukankah seharusnya kepolisian meresponsnya dengan data dan klarifikasi? Kritik sejatinya adalah penyampaian kebenaran yang sering kali tidak ingin didengar. Jika lirik tersebut justru mencerminkan realitas, maka langkah terbaik adalah introspeksi dan reformasi. Bayangkan jika kepolisian justru menyambut kritik ini dengan rasa terima kasih dan komitmen untuk berbenah—citra mereka di mata masyarakat tentu akan lebih baik.
Tak ada satu pun institusi yang kebal kritik, apalagi di negara yang mengaku demokratis. Kritik adalah keniscayaan sebagai bagian dari mekanisme check and balance. Rakyat adalah pembayar pajak—merekalah yang membiayai negara, termasuk kepolisian. Maka, wajar jika mereka berhak mengevaluasi kinerja institusi yang dibiayainya.
Personel Sukatani Muhammad Syifa Al Ufti atau Electroguy (gitaris) dan Novi Chitra Indriyaki atau Novi alias Twister Angel Foto: Instagram @sukatani.band
Kebebasan Berekspresi Bukan Hak Istimewa, tetapi Hak Asasi
ADVERTISEMENT
Kritik adalah bentuk pencerahan, karena di dalamnya terkandung pengungkapan kebenaran yang sering kali disembunyikan. Kritik melalui seni bahkan lebih dari sekadar ekspresi—ia adalah pengungkapan kebenaran melalui keindahan. Ketika kritik melalui seni dibungkam, yang dirusak bukan hanya keindahan itu sendiri, tetapi juga konstitusi dan demokrasi.
Benjamin Franklin pernah berkata bahwa penghancuran kebebasan dimulai dari menekan kebebasan berbicara. Negara-negara otoriter sangat piawai dalam membungkam kritik dengan dalih menjaga ketertiban umum—dan ketika praktik ini mulai merayap dalam demokrasi, kita patut waspada.
Kritik bukanlah tindakan subversif, melainkan partisipasi rakyat dalam mengawasi negara. Justru dengan menerima kritik, sebuah institusi dapat memperbaiki diri dan semakin dipercaya masyarakat.
Membungkam kritik adalah tindakan berbahaya. Ketika suara rakyat dibisukan, kita kehilangan alat pengawasan terhadap kekuasaan. Arogansi, penyimpangan, dan kesewenang-wenangan hanya bisa dikoreksi jika masyarakat berani bersuara dan negara berani mendengar.
ADVERTISEMENT
Kebebasan berekspresi bukan hanya tentang lagu atau lirik yang lantang, tetapi tentang hak asasi setiap warga negara untuk bersuara tanpa rasa takut dikriminalisasi. Jika hari ini kita membiarkan satu lagu dibungkam, maka kita sedang membuka pintu bagi pembungkaman yang lebih luas di masa depan. Salam.