Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Menyoal Frasa “Setiap Orang” pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor
14 Agustus 2024 10:46 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ilham Yuli Isdiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kekayaan negara yang dipisahkan melalui perusahaan berbadan hukum masih termasuk sebagai “kekayaan negara/daerah” menurut Pasal 2 huruf g UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, namun hal ini menjadi dilematis karena kerugian perusahaan dianggap menjadi kerugian negara dan menjadi pembebanan bagi direksi untuk mempertanggungjawabkannya. Bahkan, bayang-bayang Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjadi dasar “kriminalisasi” terhadap para direksi jika perusahaan merugi, padahal hal ini bertentangan dengan doktrin business judgment rule.
ADVERTISEMENT
Maju Mundur Kena
Pepatah “sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga” bisa menjadi pembuka yang pas untuk menggambarkan bahwa sehati-hatinya seorang direktur perusahaan membuat keputusan, selalu ada kemungkinan membuat perusahaan merugi. Hal ini adalah bagian dari risiko bisnis yang seharusnya ditanggung oleh perusahaan. Sialnya, saat perusahaan yang dia pimpin adalah perusahaan negara/daerah, maka akan dibayang-bayangi kriminalisasi melalui Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor karena dianggap “merugikan keuangan negara”.
Dunia bisnis yang penuh tantangan dan inovasi akan berubah menjadi dunia yang penuh dengan benturan-benturan regulasi di mana seakan-akan direksi dalam perusahaan negara/daerah merupakan “pejabat publik”. Hal ini akan menimbulkan “momok” kriminalisasi. Beberapa kasus yang terjadi menimpa Karen Agustiawan (Dirut Utama Pertamina), Budi Tjahjono (Direktur Utama PT Asuransi Jasa Indonesia), RJ Lino (Direktur Utama PT Pelindo II), Muhammad Firmansyah Arifin (Direktur Utama PT PAL), Destiawan Soewardjono (Direktur Utama PT Waskita Karya), dan masih banyak yang lain dapat menjadi bahan pertimbangan untuk analisis lebih lanjut.
Mengacu pada Pasal 2 huruf g UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara memang jelas bahwa kekayaan negara/daerah adalah kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah. Hanya, jika setiap kerugian akibat kebijakan direktur perusahaan negara/daerah selalu dialamatkan melanggar ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, jelas tidak sepenuhnya benar.
ADVERTISEMENT
Kontekstualitas Penempatan Frasa “Setiap Orang” pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor
Pada tahun 2013, lembaga Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung mempublikasikan hasil penelitian berjudul “Interpretasi Tentang Makna Uang Negara dan Kerugian Negara dalam Perkara Pidana Korupsi Terkait BUMN Persero (Kajian Tentang Putusan-Putusan Mahkamah Agung Tahun 2005–2011)”. Hasilnya kesimpulannya menyatakan “…bahwa uang negara dalam BUMN atau kekayaan negara yang telah dipisahkan adalah bukan merupakan uang negara”. Artinya, pertanggungjawaban terhadap direktur perusahaan negara/daerah tidak dapat dilakukan dengan cara kriminalisasi (pemidanaan) melainkan secara keperdataan.
Pandangan ini selaras dengan hasil diskusi yang diselenggarakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (12 September 2013), yang kemudian menelurkan gagasan bahwa BUMN adalah badan hukum privat dan kekayaan negara yang telah dipisahkan tersebut tidak bisa diperlakukan sama dengan keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Bahkan pada tahun 2019, frasa “setiap orang” pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor dilakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, terutama pemaknaan terhadap frasa “setiap orang” adalah selain direktur BUMN. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XVII/2019, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan ini dengan alasan frasa “setiap orang” berlaku untuk siapa saja tanpa terkecuali. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menegaskan, pertanggungjawaban Direktur pada BUMN tidaklah terikat pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, melainkan pada Pasal 97 UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Tentu, dengan dasar adanya “itikad baik” dan “kehati-hatian” bukan dengan cara “melawan hukum”.
Menilik pada pembahasan ini, maka penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor membutuhkan “kontekstualisasi”, bukan sebatas “main sikat”. Kontekstualisasi pada ketentuan ini didasarkan pada perbuatan melawan hukum yang dibuktikan terlebih dahulu adalah ada tidaknya “penyalahgunaan wewenang”, bukan pada kerugian negara. Di sisi lain, penyalahgunaan wewenang ini kemudian harus dilakukan pendekatan administrasi terlebih dahulu sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (4) UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintah di mana jika penyalahgunaan wewenang terbukti adanya kesalahan administratif dan menimbulkan kerugian negara, maka ada waktu 10 (sepuluh hari) untuk dilakukan pengembalian.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan “Perusahaan Desa?”
Setelah muncul Pasal 1 angka 6 UU No. 6/2014 tentang Desa muncul entitas badan usaha yang disebut Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di mana disebutkan modalnya berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan. Hal ini kemudian dipertegas dengan Pasal 27 Permendes PDTT No. 4/2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa (sebagaimana telah dicabut dengan Permendesa PDTT No. 9 Tahun 2023) yang menyebutkan kerugian yang dialami BUMDes adalah beban BUMDes.
Menilik kembali pada ketentuan Pasal 2 huruf f UU No. 17/2003 hanya menyebutkan “kekayaan negara/kekayaan daerah” tanpa menyebut entitas “desa” yang juga telah “mandiri” berdasarkan UU No. 6/2014 tentang Desa. Apakah keuangan BUMDes bisa dipersamakan dengan kekayaan negara?
Secara formal, maka kaitan hal ini belumlah diatur. Apalagi, kedudukan BUMDes sebagai badan hukum tidak termasuk dalam Perseroan Terbatas, sebagaimana diatur dalam UU No. 40/2007. Mengacu pada ketentuan Pasal 17 PP No. 11/2021 tentang Badan Usaha Milik Desa maka adanya unsur kesengajaan atau kelalaian berkaitan kerugian BUMDes diputuskan melalui Musyawarah Desa terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Penguatan Peran APIP bukan APH
Penerapan perundang-undangan harus didasarkan pada asas atau doktrin hukum yang menjadi pegangan, oleh karenanya penguatan yang utama ada pada prinsip business judgment rule, yakni prinsip yang memberikan kewenangan kepada direksi dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk perlindungan terhadapnya.
Prinsip business judgment rule kemudian diterjemahkan melalui Pasal 97 ayat (5) UU No. 40/2007, yakni melepaskan tanggung jawab dan kerugian kepada direksi apabila: a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan/kelalaiannya; b) itikad baik/kehati-hatian; c) tidak ada konflik kepentingan; d) mengambil tindakan mencegah timbul/berlanjutnya kerugian.
Namun, akan sedikit tidak linear jika pembuktian terhadap business judgment rule ini dilakukan dengan melakukan kriminalisasi terlebih dahulu terhadap direksi dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Oleh karenanya, peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) terhadap dugaan “penyalahgunaan wewenang” oleh direksi perusahaan negara/daerah/desa karena dikaitkan dengan kekayaan negara/daerah/desa.
ADVERTISEMENT
Peran dan fungsi APIP yang utama bukanlah pada “audit” ada tidaknya kerugian negara. Sesuai ketentuan Pasal 20 UU No. 30/2014, maka APIP seharusnya melakukan “audit” kewenangan untuk menentukan ada tidaknya kesalahan administrasi, bukan fokus pada “kerugian negara” yang melulu menjadi dasar kriminalisasi. Jika dalam audit kewenangan APIP menemukan adanya kerugian negara, maka seharusnya bentuknya bukan “pernyataan kerugian negara” melainkan “pengembalian kerugian negara”.
APIP menjalankan fungsi pengawasan, bukan pemeriksaan keuangan negara yang merupakan domain kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagaimana amanat Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 2 ayat (2) UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara jo Pasal 6 ayat (1) UU No. 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
ADVERTISEMENT
Hal ini kemudian dipertegas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4/2016 bagian A angka 6 yang menyatakan selain BPK tidak ada lembaga yang berwenang menyatakan kerugian negara, dalam hal adanya laporan audit maka hal itu harus dibuktikan secara rinci dalam proses persidangan.
Berdasarkan analisis di atas, penempatan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tidak bisa dilakukan secara langsung terhadap direktur perusahaan negara/daerah/desa. Kriminalisasi yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) harus didahului dengan proses administrasi terlebih dahulu dan audit terhadap kewenangannya serta prinsip business judgment rule. Salam.