Konten dari Pengguna

Aparatur Pemerintah: Pahami Konsep 'Trading in Influence' Agar Terhindar Korupsi

Ilham Khalid
Analis Kebijakan Ahli Pertama di Lembaga Administrasi Negara
12 Juli 2022 13:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Khalid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Korupsi sebuah permasalahan yang serius di negara ini yang menjelma bak virus mematikan yang menggerogoti tubuh yang bernama bangsa Indonesia, meskipun sudah ada lembaga khusus yang menanganinya yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kenyataannya masih sulit diberantas guna mewujudkan agenda reformasi yang dicita-citakan yaitu Indonesia bebas dari kejahatan korupsi.
ADVERTISEMENT
Mirisnya lagi jika kita melihat di berbagai media yang mengabarkan informasi kejahatan korupsi selalu yang menjadi pelaku bahkan menduduki peringkat pertama terbanyak adalah ASN (Aparatur Sipil Negara) di mana kita semua tahu para ASN seyogyanya menjadi garda terdepan pencegahan terjadinya korupsi bahkan dalam sumpah jabatan mereka berjanji untuk menjauhkan hal-hal serupa dalam menjalankan tugas negaranya.
Belum lagi kita membahas modus operandi setiap oknum pelaku yang saban hari terus berkembang, ada saja modus-modus terbaru yang mengawali terjadinya sebuah kejahatan korupsi, di mana perkembangan-perkembangan modus baru tersebut tidak berbanding lurus dengan perkembangan subtansi hukum yang selalu masih tertinggal selangkah untuk mengejar dan menjerat para pelaku.
Dalam perkembangan sekarang saja kalau kita menyebutkan istilah Trading in influence belum semua orang familiar dengan istilah itu bahkan cenderung tidak pernah mendengar, padahal negara kita sudah meratifikasi sebuah undang-undang tentang itu yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
foto ilustrasi keadilan https://www.pexels.com/id-id/pencarian/law/
Kalau kita melihat terjemahan secara harfiah makna dari “trading” adalah perdagangan, sedang “influence” adalah pengaruh jika kita mencoba menafsirkan secara menyeluruh “trading in influence” yaitu memperdagangkan pengaruh, kita dapat melihat juga dalam ratifikasi konvensi UNCAC yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dalam pasal 18 mengartikan “trading in influence” sebagai pemanfaatan jahat, di mana dalam pasal tersebut memberikan penjelasan makna terkait “trading in influence” yaitu: (a) Janji, tawaran atau pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, agar pejabat publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semestinya dari lembaga pemerintah atau lembaga publik Negara Pihak untuk kepentingan penghasut asli perbuatan itu atau untuk orang lain; (b) Permintaan atau penerimaan manfaat yang tidak semestinya oleh pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, untuk dirinya atau untuk orang lain agar pejabat publik atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semestinya dari lembaga pemerintah atau lembaga publik Negara Pihak.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi dari ratifikasi tersebut terhadap Pemerintah Indonesia adalah adanya beban tanggung jawab untuk mengakomodir klausul-klausul yang ada di dalam UNCAC sehingga dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum nasional di Indonesia. Ratifikasi menjadi acuan dalam menentukan kualifikasi kejahatan serta penanganan kasus korupsi. Namun kondisi hari ini regulasi terkait trading in influence belum sama sekali belum ada kejelasan, aturan yang ada dalam ratifikasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) sama sekali belum ada kekuatan untuk menjerat oknum-oknum pelaku trading in influence.
Inilah yang menyebabkan trading in influence sampai hari ini terus berkembang dan sangat susah untuk dihilangkan khususnya dalam dunia birokrasi, coba kita lihat beberapa contoh seperti apa trading in influence di antaranya adalah “katebelece” di mana seorang pejabat publik memberikan sebuah memo baik tertulis maupun secara lisan untuk mendapatkan kemudahan tertentu ataupun untuk membantu kolega-koleganya juga seperti penggunaan fasilitas negara di mana masih banyak pejabat publik yang menggunakan atau memberikan fasilitas-fasilitas negara kepada kolega-koleganya di mana itu merupakan melanggar ketentuan yang ada sehingga hal-hal tadi menjadi awal dari sebuah kejahatan yang bernama korupsi terjadi.
ADVERTISEMENT
Menghapuskan KKN tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan perhatian khusus untuk penyelesaiannya. Ibarat pepatah “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Untuk melakukan pencegahan, dibutuhkan penelusuran asal muasal terjadinya KKN. Praktik-praktik KKN kerap diawali dengan adanya memperdagangkan pengaruh (trading in influence). Ada penjual, pembeli, bahkan tidak jarang yang menghadirkan perantara dalam proses terjadinya trading in influence. Pelaku trading in influence berasal dari berbagai latar belakang profesi, Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi salah satu diantaranya.

Lantas mengapa trading in influence masih berkembang di Indonesia?

Mari kita lihat faktor apa saja yang mempengaruhi masih terjadinya trading in influence di Indonesia. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Puslatbang KHAN LAN RI (http://aceh.lan.go.id/download/58625/) menyimpulkan bahwa ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi yaitu: subtansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
ADVERTISEMENT
Secara substansi hukum dapat dilihat bahwa pengaturan terhadap trading in influence di Indonesia masih lemah. Belum ada pengaturan secara eksplisit terkait perbuatan trading in influence, secara struktur hukum masih terlihat betapa minimnya mekanisme pengawasan trading in influence, dan secara budaya hukum kesadaran birokrat terhadap pemahaman trading in influence masih rendah.

Bagaimana menghindari trading in influence?

(Pertama), dibutuhkan adanya harmonisasi dan integrasi beberapa peraturan perundang-undangan di ranah hukum administrasi negara yang bersinggungan dengan trading in influence. Trading in influence dapat dimasukkan dalam kategori maladministrasi, sehingga dapat digunakan parameter dalam pencegahannya. Selain hal tersebut, instansi pemerintah dapat menjadi pelopor pencegahannya dengan menerapkan larangan trading in influence dalam kode etik. (Kedua), dibutuhkan sistem pengawasan yang andal. Adanya kolaborasi antara pengawas internal dan eksternal akan mendorong terciptanya sistem pengawasan yang andal terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga setiap aturan yang telah ditetapkan akan benar-benar ditegakkan. (Ketiga), dibutuhkan sinergitas dalam rangka penguatan budaya hukum birokrat. Kesadaran hukum penyelenggara pemerintahan perlu ditingkatkan dan dikembangkan secara terus menerus baik melalui pendidikan, sosialisasi, internalisasi, keteladanan dan penegakan hukum untuk menghormati,menaati dan mematuhi hukum dalam upaya mewujudkan suatu bangsa yang berbudaya hukum.
ADVERTISEMENT
Akhir kata, dengan menghindari terjadinya trading in influence, semoga kita bisa memutus mata rantai korupsi di Republik ini, Semoga!
Ilham Khalid,SH
Analis Kebijakan Pertama
Puslatbang KHAN LAN RI