Konten dari Pengguna

Ambiguitas Hukum VS Moralitas Konstitusi

Ilham Maghriby
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas.
20 September 2022 12:48 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Maghriby tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hierarki jabatan Presiden. Foto : Ilham Maghriby
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hierarki jabatan Presiden. Foto : Ilham Maghriby
ADVERTISEMENT
Dinamika politik menjelang Perhelatan Pemilihan Presiden tahun 2024 (Pilpres 2024) sudah mulai memanas. Partai-partai politik sudah tampak berlomba-lomba mempromosikan kader-kader terbaiknya. Di lain sisi, figur-figur non parpol juga turut serta memanaskan agenda ini dengan berbagai macam cara hingga akhirnya menimbulkan perdebatan di kalangan publik dalam membicarakan setiap masing-masing calon.
ADVERTISEMENT
Selain kondisi tersebut, para elit ataupun pemangku kebijakan di hampir seluruh sektor pemerintahan tidak henti-hentinya juga turut serta memanaskan keadaan melalui gagasan-gagasan kontroversial yang mereka lontarkan. Pasca gagasan untuk menunda pemilu yang secara otomatis juga menunda pelaksanaan pilpres di tahun 2024. Kini, muncul gagasan untuk mendukung keikutsertaan Presiden saat ini yaitu Joko Widodo sebagai bakal calon Wakil Presiden pada Pilpres 2024.
Sesungguhnya, wacana untuk menjadikan Presiden Jokowi sebagai salah satu kandidat pada pemilu tahun 2024 bukanlah merupakan barang baru. Jauh sebelum itu, gagasan penundaan pemilu, perubahan periodesasi jabatan Presiden, hingga menduetkan Presiden Jokowi sebagai calon Presiden dengan Prabowo Subianto sebagai calon Wakil Presiden sudah bergema di telinga publik. Seluruh wacana tersebut pada dasarnya bermuara pada satu hal yaitu mengharuskan perubahan terhadap naskah Undang-Undag Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
ADVERTISEMENT
Keharusan tersebut kemudian melahirkan kegaduhan besar. Mayoritas publik menilai bahwa wacana-wacana yang dikeluarkan hanyalah bentuk dari keserakahan beberapa kelompok yang banyak memiliki kepentingan dan khawatir kepentingannya tersebut tidak lagi terakomodir jika pemerintahan hari ini berakhir di 2024. Selain tidak didasarkan pada alasan konstitusional yang jelas, wacana diatas juga memperlihatkan bahwa sebagian dari kelompok tersebut terkesan mempermainkan konstitusi.
Kini, gagasan untuk mempersilahkan Presiden Jokowi maju pada pilpres 2024 namun beralih posisi menjadi Wakil Presiden akhirnya naik kembali kepermukaan. Gagasan ini dikemukakan oleh juru bicara Mahkamah Konstitusi yakni Fajar Laksono beberapa waktu yang lalu. Diantara semua gagasan yang pernah hadir, menurut penulis. Hanya gagasan ini satu-satunya gagasan yang masih masuk akal untuk terjadi disebabkan memang tidak ada aturan yang baku melarang hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya, aturan yang mengatur jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara umum telah dimuat di dalam konstitusi. Secara garis besar, konstitusi pasca amandemen menjelaskan bagaimana Presiden dan Wakil Presiden dapat menjabat, hal apa saja yang menjadi kewenangan Presiden dan Wakil Presiden, serta berapa lama periodesasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, konstitusi juga tidak melarang salah satu di antara Presiden ataupun Wakil Presiden mencoba berkontestasi kembali pada pemilu selanjutnya dengan beralih posisi. Meskipun sebelumnya sudah menjabat selama dua periode
Sayangnya, ambiguitas norma tersebut tidak dapat sepenuhnya dijadikan sebagai alasan pembenar bagi Presiden yang sudah menjabat selama dua periode untuk dapat mencalonkan diri kembali sebagai Wakil Presiden. Bagaimanapun, dalam praktinya. Politik tidak hanya berbicara mengenai bagaimana mendapat dan mempertahankan kekuasaan. Politik juga haruslah berbicara mengenai bagaimana melepaskan kekuasaan dalam bingkai bernegara yang sesuai dengan amanat konstitusi.
ADVERTISEMENT
Konstitusi tidak hanya mengatur mengenai garis-garis besar bernegara. Konstitusi sejatinya juga mengatur bagaimana moralitas bernegara perlu dijaga dan dijadikan tradisi agar keberlangsungan negara dapat selalu terseleggara secara kondusif. Oleh karena itu, ambiguitas hukum tidak harus selalu menjadi persoalan besar jika moralitas konstitusi turut dijadikan bahan pemikiran dalam mengartikannya.