Inkonsistensi Mahkamah Konstitusi dengan Putusannya

Ilham Maghriby
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas.
Konten dari Pengguna
29 Mei 2023 11:46 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Maghriby tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sidang paripurnal DPR dalam pembentukan undang-undang. foto: dok. pribadi penulis
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sidang paripurnal DPR dalam pembentukan undang-undang. foto: dok. pribadi penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dunia hukum ketatanegaraan Indonesia kembali disorot dalam beberapa hari terakhir. Setelah banyaknya kontroversi yang terjadi dalam menghadapi kontestasi pemilihan umum 2024 mendatang, kontroversi baru kini muncul setelah pada tanggal 25 Mei lalu.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materil pasal 29 huruf e dan pasal 34 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diajukan oleh wakil ketua KPK sendiri yaitu Nurul Ghufron.
Dua pasal yang diuji seyogyanya mengatur mengenai batas minimal usia untuk dapat menjadi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta mengatur perihal periodesasi jabatan komisioner KPK.
Untuk diketahui, sebelum diuji, Undang-Undang a quo mengatur bahwa syarat minimal untuk dapat menjadi komisioner KPK adalah berusia 50 tahun dan maksimal adalah 65 tahun pada proses pemilihan.
Sedangkan masa jabatan yang akan dilalui oleh komisioner KPK adalah selama 4 tahun. Namun pasca putusan tersebut, syarat minimal usia tersebut dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Di lain sisi, berkenaan dengan masa jabatan komisioner KPK, MK menyatakan bahwa dengan mengatur masa jabatan komisioner KPK hanya dalam jangka waktu 4 tahun.
ADVERTISEMENT
Maka jelas telah menciptakan diskriminasi dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan dihadapan hukum hingga akhirnya MK memutus bahwa masa jabatan pimpinan KPK haruslah 5 tahun dan setelahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Jika membaca putusan tersebut, dalam sejarahnya. Putusan a quo bukanlah putusan pertama yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang turut memuat arah baru norma di dalam putusannya, yang dalam arti lain.
Putusan a quo bukanlah putusan pertama yang membuat kita mengidentifikasi bahwa MK mengeluarkan putusan yang mengacu ke arah sebagai positive legislature yang jelas bukan menjadi tugas dan fungsi dari MK itu sendiri.
Secara filosofis pada saat pembentukannya, keberadaan Mahkamah Konstitusi seyogyanya diharapkan menjadi lembaga yang berfungsi sebagai negative legislature yang menjaga keharmonisan antara undang-undang dan konstitusi.
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Meskipun demikian, dapat dipahami bahwa paham konstitusionalisme modern menuntut peranan institusi pengadilan untuk turut serta terlibat aktif di dalam proses pembangunan negara hukum.
ADVERTISEMENT
Hal inilah yang kemudian melahirkan doktrin judicial activism di dalam praktiknya. Namun, kembali membahas putusan yang barusan keluar. Tampak bahwa ada indikasi MK inkonsisten dengan putusannya yang terdahulu.
Di titik ini, permohonan yang diajukan oleh Nurul Ghurfon yang pada intinya berkenaan dengan batas usia menjadi komisioner KPK dan masa jabatan komisioner KPK merupakan implementasi dari kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang dalam beberapa kasus dianggap MK merupakan wilayah mutlak dari pembentuk undang-undang.
Dalam perjalanannya, MK hanya memberi batasan dan acuan bahwa setiap pembentukan undang-undang yang sifatnya kebijakan hukum terbuka (open legal policy) haruslah berpegang pada prinsip tidak boleh bertentangan dengan keadilan, moralitas, ketidakadilan yang Intolarable, dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Membaca hal tersebut, dalam batas penalaran yang wajar. Tindakan yang dilakukan oleh MK dapat dibaca sebagai pengingkaran MK terhadap putusannya sendiri. Dalam banyak kasus sebagaimana yang telah disinggung di atas.
Ilustrasi lambang Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
MK telah melahirkan preseden untuk tidak menerima permohonan yang berkenaan dengan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sudah dimuat dalam beberapa putusan MK terdahulu.
Namun, pada kasus a quo. Sulit untuk menerima hal tersebut sebagai bagian dari komitmen MK menegakkan konstitusi dan melindungi hak konstitusional warga negara.
Hal tersebut dikarenakan setidaknya bahwa secara kelembagaan, KPK merupakan organ yang sifatnya menunjang kinerja organ utama dalam upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dalam hal ini adalah kepolisian dan kejaksaan. Pembentukannya pun didasarkan atas undang-undang dan dapat ditiadakan kapanpun ketika dirasa kehadirannya dianggap cukup.
ADVERTISEMENT
Karena sifat kesementaraannya ini, menjadi wajar jika pembentuk undang-undang hanya memberikan jangka waktu 4 (empat) tahun kepada komisioner KPK untuk menunaikan tugasnya. Selain agar untuk menciptakan iklim keistimewaan di tubuh KPK itu sendiri, hal ini juga penting untuk menjaga integritas pimpinan KPK yang bertugas.
Oleh karena itu, tidak layak MK memberikan putusan yang mereduksi secara mutlak prinsip kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang selama ini mereka gaungkan. Hal tersebut hanyalah memperlihatkan bahwa MK tidak konsisten dengan prinsip-prinsip yang telah mereka sampaikan dalam putusan-putusannya terdahulu.