Kacaunya Legislasi Kita

Ilham Maghriby
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas.
Konten dari Pengguna
1 Januari 2023 14:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Maghriby tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sidang Paripurna Persetujuan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, Foto bersumber dari data pribadi penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sidang Paripurna Persetujuan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, Foto bersumber dari data pribadi penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Babak baru perkembangan nasib Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) menghadirkan kejutan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Pasca dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat oleh MK setahun yang lalu. Jumat, 30 Desember 2022 pemerintah secara resmi mengundangkan Perppu No 2 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Lahirnya Perppu tersebut memang diluar prediksi banyak pihak. Bagaimana tidak, sebagaimana yang diketahui bahwa. Sejatinya MK memberikan amar putusan yang salah satunya adalah mengamanatkan kewajiban pembentuk undang-undang untuk memperbaiki UU a quo sesuai dengan putusan MK. Ditambahkan oleh MK, perbaikan UU a quo diberi tenggat waktu 2 tahun pasca putusan dibacakan dan jika tidak terjadi perubahan. Maka UU a quo tersebut inkonstitusional secara permanen.
Jika dikaitkan dengan lahirnya Perppu No 2 Tahun 2022 yang baru diundangkan, terlihat bahwa secara tidak langsung. Pemerintah memperlihatkan bahwa pembentuk undang-undang yaitu Presiden bersama dengan DPR (dan untuk yang berkaitan dengan pasal 22D UUD NRI Tahun 1945 juga mengikutsertakan DPD) tidak sanggup untuk mentaati putusan MK tersebut.
ADVERTISEMENT
Memang secara logika, sangat sulit bahkan cenderung tidak mungkin bagi pembentuk undang-undang memperbaiki UU Cipta Kerja tersebut. Hal ini disebabkan kondisi dimana UU a quo tidak hanya memiliki kecacatan dalam proses pembentukan namun juga diiringi dengan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan substansi yang juga banyak menghadirkan problematika tersendiri di dalam pelaksanaannya.
Di titik ini, penggunaan Perppu sebagai alat untuk mentaati putusan MK mungkin menjadi pilihan yang rasional dalam pikiran pemerintah. Namun, perlu diingat bahwa pilihan kebijakan yang baru saja diambil ini sendiri memperlihatkan bahwa legislasi kita memang sangat-sangat kacau di era kedua pemerintahan Jokowi. Alternatif dalam memilih penggunaan Perppu untuk menyelesaikan persoalan inipun juga turut memperlihatkan bahwa di era pemerintahan hari ini, konstitusi tidak lagi sakral dalam artian sudah sering dikhianati dengan ulah pemerintah yang sering terkesan main-main terhadapnya.
ADVERTISEMENT
Bukti Ketidakbijaksanaan Pemerintah
Argumentasi pertama yang mendukung pendapat bahwa memang legislasi kita saat ini sedang kacau adalah terbitnya Perppu a quo merupakan bentuk dari bukti bahwa pemerintah sangat tidak bijaksana dalam menyikapi persoalan hukum yang timbul akibat inkonstitusionalitas bersyaratnya UU Cipta Kerja.
Ketidakbijaksanaan pemerintah ini sejatinya sudah diperlihatkan tidak lama setelah MK menjatuhkan putusan tersebut. Sebulan pasca putusan MK dikeluarkan, pemerintah masih menerbitkan Peraturan Presiden nomor 113 tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah nomor 12 Tahun 2022 yang masih memiliki keterkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Padahal, salah satu perintah putusan MK yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat adalah menangguhkan segala pengambilan kebijakan yang didasarkan atas UU Cipta Kerja. Lahirnya Perpres dan PP tersebut membuktikan bahwa memang sedari awal, pemerintah tidak serius dalam memandang putusan MK tentang UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Ketidakseriusan diawal juga akhirnya ditutup dengan sikap tidak bijaksananya pemerintah menyelesaikan persoalan ini. Sejatinya pemerintah masih memiliki waktu kurang dari satu tahun untuk dapat mentaati apa yang diamanatkan oleh MK. Namun, dengan dipilihnya Perppu sebagai cara penyelesaian masalah. Tampak bahwa pemerintah cuci tangan terhadap persoalan ini dan terkesan ingin bermain-main terhadap konstitusi itu sendiri.
Bentuk Pengkerdilan Terhadap Konstitusi
Pemilihan instrumen Perppu dalam menyelesaikan persoalan tentang inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja juga memperlihatkan bahwa konstitusi sebagai konsensus yang memuat cara untuk mencapai cita-cita besar bangsa Indonesia dikerdilkan akibat kesemrawutan dan kekacauan legislasi yang dimulai oleh pemerintah sendiri.
Sebagaimana yang diketahui bahwa, UU Cipta Kerja merupakan UU yang diinisiasi oleh pemerintah secara langsung dan kemudian juga disetujui oleh pemerintah setelah melewati tahap pembahasan yang sejatinya tidak komprehensif dan berujung pada pengabulan uji formil UU a quo ke MK. Seharusnya, pemerintah bertanggung jawab secara penuh untuk dapat mengembalikan gagasan besar dibalik pembentukan UU tersebut agar kembali dapat diberlakukan secara layak dalam kehidupan bernegara.
ADVERTISEMENT
Penggunaan Perppu dapat diibaratkan sebagai penggunaan cara konstitusional untuk hal yang berujung pada inkonstitusional. Kenapa? Karena secara normatif, derajat antara Perppu dan UU adalah sama dan di titik itu sudah cukup untuk menjadi alasan untuk membenarkan penggunaan Perppu sebagai alternatif dalam menyikapi putusan MK. Namun, Perppu bukanlah hal yang dibuat secara asal-asalan karena harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan di dalam putusan MK No 138/PUU-VII/2009.
Disamping itu, pemilihan Perppu juga turut menampilkan potret kekacauan legislasi negeri ini di periode kedua pemerintahan Jokowi. Selain yang tidak kalah menarik juga memperlihatkan bahwa pemerintah cenderung abai dalam menyikapi perintah putusan MK.
Atas argumentasi-argumentasi diatas, setidaknya terdapat dua pilihan yang dapat diambil untuk dapat memperbaiki kondisi ini. Pilihan pertama adalah berharap bahwa DPR menolak Perppu tersebut yang berujung pada ketidakberlakuan Perppu a quo secara otomatis. Untuk pilihan pertama ini, jika menghitung kalkulasi politik yang ada di parlemen. Cenderung akan sangat sulit tercapai mengingat mayoritas penghuni parlemen adalah partai-partai politik pendukung pemerintah.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, tersedia pilihan kedua yang dapat menjadi alternatif dan dirasa lebih dapat menyelesaikan masalah yaitu menguji Perppu tersebut ke Mahkamah Konstitusi dengan harapan bahwa MK berkenan mengambulkan pengujian atas Perppu tersebut.
Setidaknya, peluang atas alternatif kedua ini cenderung lebih besar dan lebih dapat menyelesaikan persoalan terhadap kacaunya legislasi kita akibat tingkah pemerintah yang tidak memikirkan dampak jangka panjang terhadap konfigurasi hukum di tanah air. Semoga MK diberi kekuatan untuk menyelesaikan ini semua.