Konten dari Pengguna

Melihat Nasib UU Cipta Kerja Pasca 1 Tahun Putusan Mahkamah Konstitusi

Ilham Maghriby
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas.
25 November 2022 10:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Maghriby tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sidang paripurna DPR dalam pengesahan undang-undang. Foto bersumber dari rekan penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sidang paripurna DPR dalam pengesahan undang-undang. Foto bersumber dari rekan penulis
ADVERTISEMENT
Tepat pada 25 November 2021 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan monumental dimana untuk pertama kali dalam sejarahnya. MK mengabulkan permohonan uji formil undang-undang terhadap undang-undang dasar melalui putusan inkonstitusional bersyarat. Undang-undang yang saat itu diuji adalah Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang dari sejak awal pembentukannya pun sudah menimbulkan kegaduhan.
ADVERTISEMENT
Dalam amar putusan no 91/PUU-XVIII/2020, salah satu poin yang menjadi perhatian adalah kewajiban pembentuk undang-undang untuk memperbaiki format undang-undang sesuai dengan putusan MK paling lambat 2 tahun semenjak putusan dibacakan. Jikalau perintah MK tersebut diabaikan oleh pembentuk undang-undang. Otomatis UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Banyak hal yang menyebabkan pembentukan UU Cipta Kerja dianggap inkonstitusional dan akhirnya membuat MK menjatuhkan putusan a quo tersebut. Alasan pertama adalah pembentukan UU Cipta Kerja yang tidak didasarkan atas payung hukum yang benar karena metode Omnibus yang digunakan sebagai metode pembentukan UU a quo tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan manapun di Indonesia khususnya di UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kedua, UU Cipta Kerja juga dinilai bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Ketiga, UU Cipta Kerja juga dinilai tidak banyak melibatkan partisipasi publik sebagai bagian penting dalam pembentukannya sehingga akhirnya hak publik untuk didengar (Right to Heard), dipertimbangkan (Right to Considered), dan dijelaskan (Right to Explained) dinilai oleh MK merupakan bagian penting yang terabaikan dalam pembentukan UU a quo.
ADVERTISEMENT
Alasan terakhir yang membuat MK akhirnya menjatuhkan putusan mengabulkan uji formil UU Cipta Kerja adalah pembentukan UU Cipta Kerja yang masih mengubah substansi UU pasca tahap persetujuan oleh DPR dan Presiden yang jelas bertentangan dengan prinsip pembentukan undang-undang.
Hal ini dikarenakan pada prinsipnya, dalam pembentukan undang-undang, hal-hal yang berkaitan dengan materi muatan hanya dapat dimasukkan ke dalam substansi UU pada saat tahap pembahasan. Setelah itu, haram bagi pembentuk undang-undang memasukkan materi apapun termasuk titik maupun koma karena akan berdampak pada makna yang terkandung dalam suatu undang-undang dan pada akhirnya dapat berdampak tereduksinya prinsip kepastian hukum akibat hadirnya undang-undang tersebut.
Pasca 1 tahun putusan dibacakan, belum terlihat ancang-ancang yang menampakkan keseriusan pembentuk undang-undang dalam menanggapi perintah MK melalui putusan 91/PUU-XVIII/2020. Kecuali dengan merevisi UU No 12 Tahun 2011 Jo UU No 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Menjadi UU No 13 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP). Di dalam revisi terbaru, UU PPP menyediakan format Omnibus sebagai salah satu cara pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk dalam membentuk undang-undang.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, selain dari merevisi dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan. Hingga hari ini belum tampak tindakan lain yang dilakukan oleh DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang dalam merespon perintah MK. Kalaupun hanya dengan mengubah payung hukum pembentukan undang-undang dan memasukkan materi Omnibus di dalamnya. Tentu itu tidaklah cukup karena pada prinsipnya, MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk memperbaiki UU Cipta Kerja secara menyeluruh.
Kondisi ini secara otomatis dalam logika penalaran yang benar, haruslah dianggap bahwa UU Cipta Kerja harus melewati tahapan-tahapan pembentukan undang-undang yaitu mulai dari tahap perencanaan, pembahasan, persetujuan, pengesahan, dan pengundangan. Otomatis, perbaikan UU Cipta Kerja juga harus melewati tahap Prolegnas sebagai bagian dari tahap perencanaan pembentukan undang-undang. Namun, hingga hari ini mengutip dari situs resmi DPR, perbaikan UU Cipta Kerja tidak menjadi bagian dari Prolegnas.
ADVERTISEMENT
Padahal, Prolegnas merupakan salah satu unsur utama dari tahapan perencanaan dalam pembentukan undang-undang. Meskipun dapat disimpangi melalui ketentuan dalam pasal 23 ayat 2 UU No 15 Tahun 2019. Namun penyimpangan tersebut pada intinya hanya untuk mengatasi keadaan darurat yang melatarbelakangi suatu undang-undang hadir tanpa Prolegnas. Tentunya, jika berbalik pada UU Cipta Kerja, akan menjadi persoalan baru nantinya jika revisi UU Cipta Kerja tiba-tiba selesai tanpa melewati Prolegnas terlebih dahulu.
Tidak hanya itu, kehadiran UU No 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang didalamnya mengatur metode Omnibus pun hari ini menimbulkan persoalan baru karena dinilai lagi-lagi tidak banyak melibatkan aspirasi publik di dalam pembentukannya dan terkesan hanya memilih-milih materi sekedar untuk mempercepat proses perbaikan UU Cipta Kerja. Akhirnya UU a quo tersebut juga saat ini sedang dalam tahap pengujian formil di MK.
ADVERTISEMENT
Dapat dibayangkan, jika MK kembali mengabulkan uji formil UU No 13 Tahun 2022. Otomatis akan sangat berat bagi DPR dan Presiden untuk dapat memperbaiki UU Cipta Kerja sesuai dengan perintah MK
Jika berpijak pada logika pembentukan undang-undang. Sangat tidak mungkin seharusnya DPR dan Presiden dapat memperbaiki UU Cipta Kerja sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditentukan oleh MK. Jika berkaca dari berbagai kasus, rata-rata di Indonesia. Pembentukan undang-undang memakan waktu lebih dari satu tahun. Tentunya, dengan model UU Cipta Kerja yang memuat 11 klaster dengan sekitar 78 UU di dalamnya. Sangat sulit mengharapkan perbaikan UU tersebut akan dapat diselesaikan tepat waktu.
Pada akhirnya, pembentuk UU haruslah bijak dalam menyelesaikan persoalan ini. UU bukanlah benda yang dibuat sekedar untuk menambah koleksi dari pembentuknya. Namun lebih dari itu, UU merupakan tanggung jawab konstitusional pembentuk undang-undang untuk dapat menghadirkan kemaslahatan bagi segenap masyarakat.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kalaupun harus terburu-buru dan hadir kembali secara konstitusional penuh di masyarakat. Maka pembentuk undang-undang haruslah memperbaiki UU Cipta Kerja sebaik dan seserius mungkin.