Konten dari Pengguna

Pergantian Hakim Aswanto : Runtuhnya Negara Hukum Indonesia

Ilham Maghriby
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas.
23 November 2022 12:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Maghriby tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sidang Paripurna DPR. Foto Bersumber dari Rekan Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sidang Paripurna DPR. Foto Bersumber dari Rekan Penulis
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) per hari ini resmi memiliki hakim baru. Yang Mulia (YM) Prof Guntur Hamzah yang tidak lain merupakan mantan sekjen Mahkamah Konstitusi resmi dilantik oleh Presiden Jokowi di Istana Negara untuk mengemban tugas sebagai hakim konstitusi. Yang bersangkutan merupakan hakim yang menggantikan hakim sebelumnya yakni YM Prof Aswanto.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang diketahui, pergantian hakim ini diinisiasi oleh DPR selaku salah satu lembaga yang diberi wewenang mengusulkan calon hakim konstitusi. YM Prof Aswanto sendiri merupakan salah satu hakim yang dipilih oleh DPR. Selain menjadi hakim anggota, beliau juga merupakan wakil ketua MK semenjak tahun 2018 hingga hari ini. dalam berbagai putusan Mk sendiri, YM Prof Aswanto merupakan salah satu hakim yang kerap memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum yang sedikit banyaknya mempengaruhi putusan MK itu sendiri.
Salah satu bentuk kuatnya pendirian beliau dalam memberikan pertimbangan hukum, pendapat, juga gagasan dalam bentuk putusan MK adalah keterlibatan beliau sebagai salah satu dari 5 hakim konstitusi yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat melalui putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 dalam uji formil UU Cipta Kerja. Pada akhirnya, putusan ini juga yang mungkin menjadi salah satu dasar lengsernya YM Prof Aswanto dari singgasana hakim konstitusi.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari detik.com, pencopotan YM Prof Aswanto berawal dari rapat paripurna DPR pada tanggal 29 September 2022. Usut punya usut, pemberhentian YM Prof Aswanto tidak lain merupakan kelanjutan dari surat pemberitahuan dari ketua MK berkaitan dengan kelanjutan masa jabatan hakim konstitusi yang sudah tidak lagi memiliki periodesasi. Hal ini didasarkan atas putusan MK ketika menguji UU No 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan ketiga atas UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi tanggal 20 Juni 2022 lalu.
Merespon surat pemberitahuan tersebut, DPR kemudian menyakan melanjutkan jabatan 2 hakim konstitusi pilihannya yakni YM Prof Arief Hidayat dan YM Wahiduddin Adams namun mengganti YM Prof Aswanto dengan YM Prof Guntur Hamzah. Pergantian yang terkesan mendadak inipun menjadi kontroversi karena tidak didasarkan atas alasan yang dibenarkan menurut undang-undang Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kontroversi tersebut juga diikuti dengan kontroversi lain yang dilontarkan oleh salah seorang anggota Komisi 3 DPR yang menyatakan bahwa YM Prof Aswanto tidak memiliki komitmen dengan DPR karena sering menganulir UU produk DPR. Tentu saja, kalimat kontoversial tersebut semakin memperlihatkan bahwa DPR tidak serius dan tidak paham dengan esensi kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia. MK diberikan wewenang oleh konsitusi yang salah satunya adalah menguji UU terhadap UUD. Wewenang tersebut tidak lepas dari penegasan prinsip negara hukum yang menjadi konsensus ketika mengamandemen UUD 1945. Disamping itu, sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, MK diberi atribut untuk dapat independen serta merdeka. Agar fungsinya selaku penegak dan pelindung konstitusi dapat berjalan sebagaimana mestinya.
ADVERTISEMENT
Pemberhentian hakim konstitusi dengan didasarkan atas alasan karena seringnya yang bersangkutan menganulir UU sebagai produk DPR tentu merupakan salah satu bentuk intervensi terhadap kemerdekaan dan independensi MK. Hal ini didasarkan atas pendapat bahwa dalam UU MK.
Proses pemberhentian hakim konstitusi telah diatur di dalam pasal 23 UU No 7 Tahun 2020. Pasal tersebut memuat sebab-sebab hakim konstitusi diberhentikan baik itu diberhentikan secara hormat maupun secara tidak hormat. Sayangnya, tidak ada satupun materi dari pasal tersebut yang menyatakan bahwa hakim konstitusi dapat diberhentikan karena kerap menganulir UU.
Atas alasan tersebut, seharusnya. Pemberhentian YM Prof Aswanto haruslah dianggap batal demi hukum karea tidak didasarkan atas norma peraturan perundang-undangan yang berlaku, Presiden sebagai pihak yang diberi mandat mengeluarkan Kepres berisi pemberhentian hakim tersebut seharusnya tidak perlu mengeluarkan Kepres karena tindakan yang dilakukan oleh DPR sejatinya merupakan tindakan inkonstitusional yang memberi dampak pada runtuhnya hakikat dari konstitusi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Kepres yang tidak berdasar itupun sudah ditandatangani oleh Presiden dan YM Prof Aswanto sejak hari ini sudah tidak lagi bertugas dengan digantikan oleh YM Prof Guntur Hamzah. Kejadian hari ini merupakan bentuk preseden yang amat buruk dan tidak bermoral yang pernah dilakukan oleh DPR serta Presiden. Pada akhirnya, marwah negara hukum yang menjadi cita-cita bersama secara tidak langsung runtuh akibat perbuatan tidak berdasar oleh DPR dan Presiden.