Konten dari Pengguna

Runtuhnya Demokrasi di Mahkamah Konstitusi

Ilham Maghriby
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas.
17 Oktober 2023 7:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Maghriby tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman membacakan putusan batas usia Capres-cawapres di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman membacakan putusan batas usia Capres-cawapres di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia politik dan hukum ketatanegaraan kembali mendapat sorotan, publik digegerkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang sarat kontroversi hingga akhirnya mendapat atensi yang besar.
ADVERTISEMENT
Putusan yang diregistrasi dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 yang menguji pasal 169 huruf q Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang mengatur ihwal batas usia minimal calon Presiden dan calon Wakil Presiden dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. Di sinilah awal sorotan publik muncul hingga akhirnya menimbulkan perdebatan besar.
Asal muasal perdebatan tersebut tidak lepas dari inkonsistensi putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Di hari yang sama ketika pembacaan putusan a quo, Mahkamah Konstitusi sebelumnya juga telah menyidangkan tiga perkara dengan objek pengujian yang sama. Hasilnya, ketiga perkara tersebut mentah karena ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi.
Namun, saat menjatuhkan putusan pada perkara 90/PUU-XXI/2023. Mahkamah Konstitusi dalam sekejap berubah pandangan hingga akhirnya menjatuhkan amar mengabulkan sebagian. Secara faktual, putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara a quo bersifat Conditionaly Inconstitutional karena menempatkan norma pasal 169 huruf q Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai sesuai dengan amar putusan a quo.
ADVERTISEMENT
Atas putusan tersebut, publik menjadi kaget, marah, dan gempar. Campur aduknya perasaan publik tidak lepas dari wacana pencalonan anak Presiden Joko Widodo yaitu Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon Wakil Presiden yang akan dipinang oleh salah satu calon Presiden.
Putusan ini secara langsung berdampak pada Gibran sendiri karena akhirnya memberikannya “karpet merah” untuk dapat maju ke pertarungan memperebutkan kursi RI 2. Sebelumnya, Gibran tidak dapat dicalonkan untuk menjadi calon Wakil Presiden karena terkendala pada syarat umur yang ditetapkan oleh pasal 169 huruf q Undang-undang nomor 7 Tahun 2017.
Tetapi, setelah pembacaan putusan a quo. Jalan Gibran untuk maju menjadi bakal calon Wakil Presiden pun akhirnya terbuka dengan memanfaatkan klausul “pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sebagaimana yang diketahui, Gibran merupakan Wali Kota Solo defenitif dan kedudukannya tersebut alhasil membuatnya bisa maju sebagai calon Wakil Presiden.
ADVERTISEMENT

Bentuk Pengkhianatan Mahkamah Konstitusi

com-Gedung Mahkamah Konstitusi Foto: Shutterstock
Putusan Mahkamah Konstitusi a quo di titik tertentu dapatlah disebut sebagai bentuk dari pengkhianatan Mahkamah Konstitusi terhadap demokrasi dan terhadap putusannya sendiri. Sebagai lembaga yang ditugaskan untuk menjaga, mengawal, memurnikan, dan mengedepankan nilai-nilai luhur konstitusi. Sejatinya penting bagi Mahkamah Konstitusi untuk menilai secara mendalam bagaimana demokrasi yang diinginkan oleh konstitusi itu berjalan di Indonesia.
Sebagai salah satu pemegang tertinggi kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi tidak dapat hanya terperangkap pada unsur keadilan formil. Yang harus dibaca secara mendalam bagi Mahkamah Konstitusi ketika memutus suatu perkara adalah bagaimana menyeimbangkan keadilan formil dan keadilan substantif sebagai bentuk pengabdian Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusi itu sendiri.
Dalam perkara a quo, dengan menjatuhkan amar putusan sebagaimana yang disebut sebelumnya, secara tidak langsung Mahkamah Konstitusi berkhianat dan membuka gerbang bagi keruntuhan nilai luhur konstitusi dan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, dalam banyak putusan sebelumnya. Mahkamah Konstitusi teguh mempertahankan prinsip open legal policy dalam pembentukan suatu undang-undang yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden dan pada titik tersebut, biasanya Mahkamah Konstitusi menolak untuk mengabulkan permohonan.
Namun, pada putusan a quo. Mahkamah Konstitusi mendadak tidak lagi teguh terhadap pendiriannya dan masuk pada gejala positive legislature yang terlalu jauh. Sehingga, dalam batas penalaran yang wajar. Mahkamah Konstitusi seolah-olah melangkahi prinsip yang berulang kali ia nyatakan ketika memutus suatu perkara.
Lebih parahnya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengabaikan prinsip-prinsip yang telah mereka bangun jauh-jauh hari. Namun, Mahkamah Konstitusi bahkan mengingkari putusan yang menyidangkan perkara yang sama dalam waktu hanya beberapa jam setelah putusan tersebut selesai dibacakan.
ADVERTISEMENT
Meskipun bukan sekali Mahkamah Konstitusi berubah pandangan terhadap suatu persoalan, namun sulit untuk menerima putusan yang mempersoalkan masalah yang sama yang sebelumnya ditolak tiba-tiba berubah menjadi dikabulkan dengan waktu yang relatif sangat singkat setelah putusan awal dibacakan.
Apa yang terjadi tersebut tentu tidaklah elok untuk tidak dikritisi. Dikhawatirkan ke depannya, putusan ini akan menjadi preseden kelam dalam sejarah hukum ketatanegaraan di Indonesia. Namun, sebagai negara yang mengingkrarkan diri menganut prinsip negara hukum. Putusan yang telah dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut haruslah dihormati dan dilaksanakan. Meskipun berat untuk menjalankannya.