RUU Mahkamah Konstitusi: Upaya Menggerogoti Independensi Kekuasaan Kehakiman

Ilham Maghriby
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas.
Konten dari Pengguna
17 Februari 2023 10:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Maghriby tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi harapan akan MK, foto bersumber dari penulis
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi harapan akan MK, foto bersumber dari penulis
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu, pemerintah menyetujui usulan DPR mengenai rancangan perubahan keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Dalam daftar inventaris masalah yang diberikan, terdapat 4 poin yang krusial yang menjadi bagian dari perubahan adalah batas minimal syarat usia menjadi hakim konstitusi, evaluasi kinerja hakim konstitusi, unsur keanggotaan majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi, dan penghapusan ketentuan peralihan masa jabatan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Poin yang sangat menarik dan menjadi perbincangan hangat saat ini adalah berkenaan dengan salah satu bagian daftar inventaris masalah yaitu evaluasi kinerja hakim konstitusi. Secara terang-terangan, melalui revisi UU a quo. DPR ingin agar seluruh lembaga pengusul 9 hakim konstitusi diberikan kewenangan untuk mengevaluasi kinerja hakim konstitusi yang bersangkutan.
Salah satu hal yang melatarbelakangi niat DPR tersebut adalah berkenaan dengan kerapnya Mahkamah Konstitusi membatalkan undang-undang yang telah dibuat DPR. Hal itu sebagaimana yang disampaikan oleh Bambang Wuryanto dikutip dari harian kompas selaku ketua dari komisi III DPR. Beliau menambahkan tujuan lain dari ketentuan tersebut adalah agar hakim konstitusi lebih fokus pada urusan penegakan hukum yang dinilainya belum sepenuhnya terlaksana.

Upaya Mengganggu Independensi Kekuasaan Kehakiman

Rancangan perubahan keempat atas Undang-Undang Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu bentuk upaya dari mengganggu independensi kekuasaan kehakiman itu sendiri. Ketentuan di mana setiap lembaga dapat mengevaluasi kinerja hakim konstitusi yang mereka usulkan dapatlah berpotensi mengakibatkan hakim konstitusi yang bersangkutan harus angkat kaki jika hasil evaluasi menyatakan bahwa hakim tersebut harus diberhentikan dari Mahkamah Konstitusi
ADVERTISEMENT
Sejatinya, ketentuan yang menjadi bagian dari daftar inventaris masalah tersebut sangat tidak diperlukan karena pada dasarnya. Seorang hakim konstitusi ketika ia sudah dilantik menjadi seorang hakim, ia tidaklah terikat oleh lembaga manapun selain terikat pada tanggung jawabnya sebagai seorang negarawan dan juga kepada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tempatnya mengabdi.
Di samping itu, secara filosofi juga. Hakim konstitusi merupakan instrumen dari Mahkamah Konstitusi untuk mewujudkan tercapainya penegakan dan perlindungan terhadap konstitusi. Oleh sebab itu, ia juga terikat pada tanggung jawabnya menerjemahkan naskah konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sertaimplementasikan dalam kewenangannya khususnya pada perkara pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.

Pengkhianatan Terhadap Prinsip Negara Hukum

Selain hal yang sudah disebut di atas, rancangan perubahan keempat atas undang-undang Mahkamah Konstitusi juga memperlihatkan kepada kita semua upaya untuk mengkhianati kosensus bernegara yakni mengakui supremasi hukum di dalam pelaksanaan kegiatan bernegara.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang diketahui bahwa, dalam pelaksanaannya. Secara teori prinsip negara hukum dibagi atas prinsip rechtstatt yang populer di negara dengan tradisi hukum eropa kontinental seperti Indonesia dan prinsip rule of law yang populer di negara dengan tradisi hukum anglo saxon. Kedua prinsip tersebut sepakat untuk sama-sama mengatur bahwa pembagian dan pemisahan kekuasaan merupakan salah satu pilar dari tegaknya negara hukum yang nanti disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara.
Sayangnya, dalam kasus ini. DPR khususnya bersama dengan pemerintah tidak memahami bahwa melalui rancangan perubahan keempat uu a quo menjadi tonggak awal dari pengkhianat terhadap prinsip negara hukum yang sudah dituangkan di dalam konstitusi.
Terlebih, kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka, seharusnya bebas dari campur tangan organ kekuasaan manapun. Hal ini tidak lain ditujukan agar kekuasaan kehakiman dapat berperan sebagai organ kekuasaan yang benar-benar menghadirkan keadilan di masyarakat.
ADVERTISEMENT

Tidak Belajar dari Kasus Pemberhentian Hakim Aswanto

Analisa terakhir dalam menyikapi prahara ini adalah, tampak bahwa DPR tidak belajar dari kasus pemberhentian hakim Aswanto yang mendapat sorotan publik beberapa waktu yang lalu. Yang Mulia Hakim Konstitusi Aswanto diberhentikan oleh DPR yang salah satunya didasarkan karena yang bersangkutan sering mengabulkan pengujian undang-undang melalui pertimbangan hukumnya.
Melihat pola yang hari ini terjadi, terlihat bahwa akan ada Aswanto-Aswanto lain yang akan hadir jika revisi keempat UU Mahkamah Konstitusi tersebut benar-benar terealisasi. Untuk itu, sudah selayaknya kita semua mengawal dan berharap agar rancangan perubahan keempat undang-undang Mahkamah Konstitusi gagal terealisasi demi sehatnya kekuasaan kehakiman khususnya Mahkamah Konstitusi itu sendiri.