Tiga Tahun Rezim Kedua Jokowi : Dilema Penegakan Hukum & Konstitusi

Ilham Maghriby
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas.
Konten dari Pengguna
20 Oktober 2022 12:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Maghriby tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Uraian Pekerjaan Rumah untuk Jokowi : Foto dari penulis
zoom-in-whitePerbesar
Uraian Pekerjaan Rumah untuk Jokowi : Foto dari penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tepat di tanggal 20 Oktober 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) genap merampungkan tiga tahun masa baktinya sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode yang kedua. Bersama dengan KH Ma’ruf Amin, rezim pemerintahan Presiden Jokowi-Ma’ruf terus mengupayakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Sesuai dengan visi misi yang mereka usung yakni Indonesia maju.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, dalam perkembangannya. Rezim kedua pemerintahan Jokowi tidaklah dapat dianggap telah mengakomodir seluruh gagasan yang dijanjikan saat kampanye dahulu. Tidak dapat dipungkiri bahwa tantangan yang harus dihadapi pemerintah pada rezim kali ini merupakan suatu rintangan yang tidak pernah diduga sebelumnya. Akhirnya, stabilitas pemerintahan pun menjadi terganggu dan mempengaruhi “tidak lancarnya” rencana-rencana yang telah disusun oleh rezim Jokowi kali ini.
Dalam perjalananannya, salah satu hal yang sangat perlu untuk disorot ketika melihat bagaimana kinerja rezim kedua Jokowi sejauh ini adalah bagaimana bentuk penegakan hukum dan perwujudan semangat konstitusi yang merupakan salah satu tonggak berdirinya negara. Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan dijabarkan beberapa poin kritis yang perlu untuk menjadi perhatian dalam membaca keseriusan rezim kedua Jokowi membawa Indonesia bergerak lebih maju dari sebelumnya melalui paradigma penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
Kekacauan Legislasi
Bentuk kritik pertama dalam menilai keseriusan rezim kedua Jokowi membawa Indonesia maju melalui paradigma hukum adalah kesemrawutan proses legislasi yang terjadi akhir-akhir ini. setidaknya, dalam hal ini. dibatalkannya Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja melalui pengujian formil di Mahkamah Konstitusi sudah merepresentasikan seberapa kacaunya proses legislasi yang terjadi di Indonesia di periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.
Undang-Undang cipta kerja merupakan undang-undang yang berasal dari usulan inisiatif Presiden selaku salah satu organ yang berwenang mengusulkan rancangan undang-undang di Indonesia. Pembentukan undang-undang ini secara garis besar bertujuan untuk mempermudah iklim investasi dan meningkatkan nilai perekonomian melalui penerapan regulasi satu atap.
Dalam tahap pembentukannya. Proses pembuatan undang-undang ini menggunakan metode Omnibus dimana metode tersebut pada dasarnya menyatukan berbagai rumpun persoalan kedalam satu undang-undang, namun sayangnya. Metode ini pula menjadi salah satu sebab Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional secara bersyarat melalui pengujian formil.
ADVERTISEMENT
Disamping Undang-Undang Cipta Kerja, kekacauan legislasi di Indonesia pada periode kedua rezim Jokowi dapat juga dilihat dari pembentukan Peraturan Presiden nomor 113 tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah nomor 12 Tahun 2022 yang masih memiliki keterkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja.
Padahal, dua peraturan tersebut dikeluarkan tepat setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa undang-undang tersebut inkonstitusional secara bersyarat dan bagi pemerintah, dilarang untuk mengeluarkan kebijakan yang bersifat strategis berdasarkan undang-undang tersebut sebelum dilakukan perbaikan selama dua tahun semenjak putusan tersebut dibacakan. Sayangnya, Presiden Jokowi malah terkesan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi dan semakin menunjukkan kekacauan proses legislasi di periode kedua pemerintahannya.
Penundanaan Pemilu dan Penambahan Masa Jabatan Presiden
Salah satu persoalan konstitusional mendasar yang terjadi selama rezim kedua Jokowi adalah hadirnya wacana penundaan penyelenggaraan pemilu dan penambahan masa jabatan Presiden. Wacana ini lahir dari kalangan elit yang notabenenya adalah bagian dari koalisi yang mendukung pemerintahan saat ini.
ADVERTISEMENT
Secara konstitusional, penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan Presiden merupakan salah satu hal yang bisa saja terwujud. Kondisi ini disebabkan pengaturan mengenai hal ini secara terbuka dapat diubah melalui amandemen terhadap konstitusi. Namun sayangnya, argumentasi yang dikeluarkan dalam membincangkan hal ini sangat tidak cukup rasional dan terkesan hanya mementingkan kelompok tertentu tanpa melihat akibat jangka panjang dari amandemen yang hanya berfokus pada kekuasaan belaka.
Dalam hal ini, Presiden Jokowi selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan baru mengambil sikap setelah timbulnya kegaduhan besar di masyarakat. Tentunya, sebagai seorang Presiden. Sudah menjadi tanggung jawab bagi Presiden Jokowi untuk mengambil sikap sebijak mungkin dan secepat mungkin dalam menanggapi segala kontoversi yang terjadi di masyarakat akibat narasi liar yang keluar dari mulut “Teman-temannya” tersebut.
ADVERTISEMENT
Dilema Penegakan Hukum
Tidak hanya dua permasalahan diatas, permasalahan yang lebih umum dan patut untuk menjadi PR bagi Presiden Jokowi dalam menyelesaikan rezimnya yang tinggal tersisa dua tahun dari sekarang adalah bobroknya penegakan hukum di masyarakat. Di era pemerintahan Jokowi yang kedua saat ini, masyarakat dipertontonkan dengan tayangan yang memperlihatkan kurangnya rasa kepekaan dan keadilan.
Persoalan ini dimulai dari buronnya Harun Masiku, anggota DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang diduga melakukan suap terhadap komisioner KPU dalam hal pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI. Kasus yang terjadi sejak tahun 2019 ini hingga kini belum juga menemukan titik temu dan Harun Masiku masih bebas berkeliling menikmati udara segar meskipun statusnya saat ini adalah buronan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, masih terkait dengan korupsi. Di era pemerintahan Jokowi juga, masyarakat dapat melihat rendahnya empati pejabat negara. Hal ini dibuktikan dengan ditangkapnya dua menteri di pemerintahan Jokowi yang salah satunya adalah tersandung pada kasus korupsi dana bantuan sosial masyarakat di masa pandemi covid-19. Tidak mengherankan bahwa akhirnya, masyarakat merasa sangat dikhianati oleh kelakuan para pejabat yang harusnya berkerja untuk mensejahterakan mereka.
Tidak hanya itu, dalam hal penegakan hak asasi manusia. Rezim pemerintahan Jokowi pada periode kedua juga meninggalkan goresan besar dimana melibatkan institusi Polri didalamnya. Meninggalnya 6 orang laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Cikampek dinilai oleh Komnas Hak Asasi Manusia merupakan perbuatan Unlawfull Killing yang dilakukan oleh penguasa melalui institusi Polri.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, kematian salah seorang prajurit kepolisian yang di sutradarai oleh Jenderal Polisi bintang 2 juga mengakibatkan semakin besarnya ketidakpercayaan publik terhadap Polri di era kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Muaranya adalah timbulnya persoalan tersendiri di bidang penegakan hukum karena masyarakat mulai meragukan integritas serta kapabilitas dari penegak hukum itu sendiri.
Pada akhirnya. Rezim kedua Jokowi masih menyisakan dua tahun sebelum beralih ke pundak penguasa baru. Masih tersisa sedikit waktu bagi Presiden Jokowi untuk memimpin orkestra pemerintahannya demi mewujudkan segala visi dan misi yang disampaikan ketika kampanye 3 tahun lalu. Untuk itu semua, publik hanya bisa menunggu dan berharap. Sisa waktu pemerintahan Jokowi hari ini dapat menghadirkan kesejahteraan serta kemakmuran bagi seluruh tumpah darah Indonesia.
ADVERTISEMENT