Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kasus Suap Hakim PN Surabaya, Krisis Integritas Dalam Etika Profesi Hukum
12 November 2024 14:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Ilham Nur Rifki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus Ronald Tannur yang melibatkan tindak kekerasan hingga berujung kematian, mendapat sorotan publik secara luas. Di tengah proses peradilan kasus ini, tiga hakim yang terlibat dalam sidang kasus tersebut diduga menerima suap dengan tujuan untuk meringankan atau memengaruhi putusan yang akan diambil. Hal ini menjadi contoh nyata adanya risiko integritas dalam sistem peradilan, khususnya ketika ada pengaruh-pengaruh dari pihak eksternal yang berkepentingan.
ADVERTISEMENT
Melihat Pada Aspek Hukum
Dalam Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa pejabat publik atau penyelenggara negara, termasuk hakim, yang menerima hadiah atau janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, bisa dijerat pidana. Ancaman pidana untuk pelanggaran ini mencakup hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.
Pada UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menekankan bahwa hakim harus bertindak independen, jujur, dan berintegritas, serta bebas dari pengaruh eksternal. Dugaan suap pada tiga hakim dalam kasus ini mengindikasikan pelanggaran serius terhadap asas independensi hakim.
Kasus suap yang melibatkan tiga hakim dalam sidang kasus Ronald Tannur adalah contoh nyata tantangan yang dihadapi dalam menegakkan sistem peradilan yang adil dan bebas dari korupsi. Dalam kasus ini, tidak hanya melanggar aspek hukum melainkan juga prinsip-prinsip etika dalam profesi hukum.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran Terhadap Prinsip-Prinsip Etika Profesi Hukum
Kode etik bagi profesi hukum berfungsi sebagai panduan perilaku dan pedoman moral bagi para hakim, jaksa, advokat, dan profesi hukum lainnya., tujuan kode etik adalah untuk menjaga martabat profesi, meningkatkan kualitas pengabdian, dan memastikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Pelanggaran kode etik oleh tiga hakim ini bukan hanya merusak reputasi pribadi mereka, tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Dalam konteks profesi hukum, etika menuntut setiap pengemban profesi, termasuk hakim, untuk mematuhi sejumlah prinsip, seperti integritas, independensi, kejujuran, dan tanggung jawab. Kasus suap yang melibatkan tiga hakim ini merupakan pelanggaran serius terhadap beberapa prinsip etika profesi hukum, dalam penjelasan dapat dikatakan sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Hakim yang seharusnya menjaga netralitas dan integritasnya dapat dimungkinkan tergoda oleh keuntungan materi atau pengaruh pihak-pihak berkuasa. Hal ini mencerminkan adanya tantangan profesionalisme di kalangan hakim, di mana kecenderungan untuk mencari keuntungan pribadi melampaui tanggung jawab mereka dalam menjalankan keadilan.
Kasus suap terhadap tiga hakim dalam sidang Ronald Tannur mencerminkan pelanggaran serius terhadap prinsip etika profesi hukum yang mengutamakan integritas, kejujuran, dan independensi. Ini menunjukkan bahwa etika bukan sekadar teori tetapi fondasi penting yang jika dilanggar dapat merusak kredibilitas sistem hukum. Penegakan kode etik dan peningkatan pengawasan etika harus menjadi prioritas agar profesi hukum dapat menjalankan fungsinya dengan benar dan dipercaya oleh masyarakat.