Rumah Wati

Ilham Wahyu Hidayat
Saya Seorang Pendidik
Konten dari Pengguna
3 November 2020 20:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Wahyu Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rumah Masa Depan
zoom-in-whitePerbesar
Rumah Masa Depan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya ingin punya rumah. Tidak perlu besar asal dapat dipakai berteduh dari hujan. Tidak perlu mewah asal dapat dipakai sebagai tempat istirahat pulang dari kerja. Masalahnya dananya cekak. Bagi yang punya info mohon disampaikan.
ADVERTISEMENT
Aku baca status itu di beranda facebook. Yang menulis salah satu temanku. Dia seorang pegawai toko. Namanya Wati. Dia punya suami tapi sudah ditinggal mati. Dia memang tidak punya rumah. Dia kos di gang dekat toko tempatnya bekerja.
Puluhan orang mengomentari status itu. Umumnya menawarkan rumah cicilan yang dapat dibayar bulanan. Beragam juga besarannya. Mulai dari di bawah sejuta sampai di atas satu setengah juta per bulan.
Aku juga ikut mengomentari status itu. Aku katakan padanya kalau mau punya rumah murah ya rumah masa depan alias kuburan. Tak lupa aku selipi emoticon tawa dalam komentarku dan aku yakin dia paham itu hanya bercanda.
Anehnya tidak ada satu pun komentar dalam status itu yang dibalas Wati. Padahal biasanya dia suka sekali membalas komentar orang-orang yang memberi like atau mengomentari postingannya.
ADVERTISEMENT
Apa paketan data internet Wati habis? Ataukah dia lagi sibuk hingga tidak sempat buka facebook? Rasanya tidak kalau sibuk. Setahuku dia selalu online facebook kalau pulang kerja. Tapi kenapa sampai semingguan komentar-komentar dalam statusnya itu tidak dibalasnya?
Dipompa rasa penasaran akhirnya aku Whats App Wati. "Hai, apa kabar. Sehat kah? Kok jadi jarang online di facebook sekarang" begitu sapaku padanya. Tapi ternyata pesan tersebut juga centang satu. Dari jam terakhirnya terlihat kalau sudah empat harian dia tidak membuka Whats App nya.
Esok harinya pulang kerja aku mampir ke toko tempat Wati bekerja. Tujuanku cari cat rambut. Ubanku sudah mulai bermunculan. Risih rasanya kalau aku biarkan.
"Mbak Wati kemana, Mbak? Kok gak kelihatan" tanyaku pada seorang pegawai toko di tempat itu yang melayaniku.
ADVERTISEMENT
"Orangnya sakit, Mas" jawab pegawai toko itu. "Sudah empat harian dia opname" terangnya lagi sambil menjelaskan di rumah sakit mana dan di ruang apa Wati dirawat setelah aku bertanya lebih lanjut tentangnya.
Tak sempat aku bertanya Wati sakit apa. Toko sangat ramai dan semua pegawainya sibuk melayani pembeli yang datang dan pergi. Tidak enak rasanya kalau aku terus tanya-tanya soal Wati.
Dari toko itu aku langsung ke rumah sakit tempat Wati dirawat. Kebetulan juga letak rumah sakit searah dengan rute jalanku pulang. Jadi ya sekalian saja pikirku mampir kesana. Lagi pula aku juga sedang ada waktu luang.
Sampai di rumah sakit aku langsung menuju ruang tempat Wati dirawat. Tapi sampai di sana ternyata ruangan itu kosong. Hanya ada seorang petugas kebersihan kulihat di ruangan itu.
ADVERTISEMENT
"Pasien bernama Wati yang dirawat di ruangan ini kemana?" tanyaku pada petugas kebersihan itu.
"Sudah pulang, Pak" jawabnya pendek tanpa menoleh padaku.
Dengan sedikit kecewa menghimpit dada akhirnya aku pergi dari ruangan itu. Aku tidak langsung pulang tapi langsung ke tempat kos Wati.
Tempat kos Wati di sebuah gang dekat toko tempatnya bekerja. Gang itu begitu sempit. Kalau dua sepeda motor berpapasan harus bergantian jalannya.
Sampai di depan gang itu aku kaget. Kulihat orang ramai sekali disana. Nafasku terasa sesak saat kulihat empat orang berjalan membawa keranda yang ditutupi kain hijau. Di belakang empat orang itu orang-orang mengikuti dari belakang sambil mengucapkan kalimat berulang-ulang : Laa ilaha illa Allaah.
ADVERTISEMENT
"Siapa yang meninggal?" tanyaku pada salah satu orang pengantar jenasah.
"Mbak Wati, Mas" jawab orang itu.
"Mbak Wati pegawai toko yang kos di pojok sana itu?" tanyaku lagi dan orang itu menjawab dengan anggukan. Kemudian dia berlalu bersama pelayat lain berjalan pelan.
Badanku terasa lemas. Aku langsung duduk di bangku panjang depan gang itu. Aku berpikir kematian itu sebuah misteri tapi pasti. Setiap makhluk hidup pasti mengalamai fase itu hanya kapan datangnya masih belum pasti. Jalan untuk menuju fase itu juga tidak ada yang tahu. Bisa karena sakit atau karena lainnya. Tapi sakit apa sebenarnya Wati?
Dengan pertanyaan tanpa jawab aku ambil smartphone dan kubuka facebookku. Di situ muncul sebuah status yang berbunyi "Akhirnya aku pulang ke rumahku yang abadi".
ADVERTISEMENT
Status itu ditulis semenit yang lalu dan penulisnya Wati.
Malang, 03 November 2020
Penulis : Ilham Wahyu Hidayat
Guru SMP Negeri 11 Malang