Hilangnya Identitas Lokal pada Rumah Bekas Kediaman Bung Karno di Bengkulu

M lham Gilang
Dosen IPS UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu
Konten dari Pengguna
8 Maret 2023 14:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M lham Gilang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri BUMN Erick Thohir (kedua kanan) didampingi Gubernur Provinsi Bengkulu Rohidin Mersyah (kanan) mengamati foto Presiden Soekarno di situs cagar budaya rumah pengasingan Bung Karno di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, Selasa (24/1/2023). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Izfaldi
zoom-in-whitePerbesar
Menteri BUMN Erick Thohir (kedua kanan) didampingi Gubernur Provinsi Bengkulu Rohidin Mersyah (kanan) mengamati foto Presiden Soekarno di situs cagar budaya rumah pengasingan Bung Karno di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, Selasa (24/1/2023). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Izfaldi
ADVERTISEMENT
Kata “pengasingan” merupakan kata yang akrab di telinga aktivis pergerakan nasional tidak terkecuali bagi Presiden Soekarno. Ya Presiden RI pertama yang biasa disapa Bung Karno ini terbilang cukup kenyang dengan pengalaman diasingkan ketika memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari cengkraman Kolonial Belanda. Salah satu wilayah yang menjadi tempat pengasingannya yakni Bengkulu.
ADVERTISEMENT
Di Bumi Raflesia itu, Bung Karno mengalami masa-masa pilu dan sekaligus manis selama empat tahun masa pengasingan. Pilu karena Bung Karno tidak dapat leluasa melakukan aktivitas karena semua gerak-geriknya tidak luput dalam pantauan Belanda. Manis karena di sanalah Bung Karno menemukan Fatmawati, Ibu Negara Pertama RI yang meneruskan keturunannya.
Bung Karno sendiri menempati rumah di atas sebidang tanah di wilayah Anggut Atas, Kecamatan Ratu Samban, Kota Bengkulu yang kelak disebut sebagai Rumah Bekas Kediaman Bung Karno di Bengkulu. Nama itu tercantum secara resmi dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 370/M/2017, yang ditandatangani langsung oleh Mendikbud saat itu, Muhadjir Effendy. Secara resmi bangunan ini berstatus Bangunan Cagar Budaya peringkat nasional. Layaknya tempat-tempat bersejarah yang menjadi situs cagar budaya, bangunan ini terawat dengan baik. Akan tetapi fakta terbaru terjadi perubahan pada bangunan Cagar Budaya ini.
ADVERTISEMENT

Perubahan

Rumah Kediaman Bung Karno. Dokumentasi Pribadi
Perubahan itu terjadi ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merobohkan landmark tulisan di depan Rumah Pengasingan Bung Karno dan mengganti dengan yang baru. Mirisnya di landmark yang baru itu tidak tertulis nama ‘Bengkulu’. Ini jelas merupakan suatu kesalahan fatal dari Kemendikbud selaku kementerian yang salah satu tugasnya ialah menaungi dan merawat situs cagar budaya.
Untuk diketahui bahwa rumah pengasingan Bung Karno di beberapa daerah lain seperti di Ende (Nusa Tengggara Timur) dan di Muntok (Bangka Belitung) tetap mempertahankan atau menuliskan nama daerahnya sebagai identitas. Tetapi yang terjadi dengan rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu justru sebaliknya.
Penghilangan nama ini sebenarnya bertentangan dengan Keputusan Mendikbud yang telah disebutkan di atas. Juga bertentangan dengan pernyataan Mendikbud Nadiem Makarim. Dalam suatu kesempatan mengisi acara bertajuk “Merdeka Budaya dengan Dana Indonesiana”, Mendikbud menyebut dana Indonesiana mendukung kohesi sosial melalui penguatan identitas dan ketahanan budaya. (Siaran pers Kemdikbud, 23 Maret 2022).
ADVERTISEMENT
Nyatanya penghilangan nama (identitas) Bengkulu justru kontraproduktif dengan kohesi sosial sebagaimana yang ia sampaikan. Bahkan lebih memperparah turunnya kesadaran sejarah pada tingkat lokal. Padahal kesadaran sejarah ini menjadi isu yang penting untuk digaungkan. Oleh sebab banyak masyarakat Indonesia, baik yang ada di kota-kota besar sampai daerah masih memerlukan sentuhan untuk dibangkitkan kesadaran sejarahnya.

Jalan Mundur Pemajuan Budaya

Di dalam pasal 20, 21, dan 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat amanat yang menegaskan bahwa negara berperan besar dalam upaya memajukan kebudayaan yang kemudian diperkuat dengan lahirnya UU pemajuan kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017. Terdapat setidaknya tiga inti pikiran yang membentuk Undang-undang ini.
Pertama, pemajuan budaya bertujuan untuk membangun masa depan bangsa. Kedua, keberagaman budaya termasuk di dalamnya identitas lokal merupakan modal yang diperlukan suatu bangsa. Ketiga, pemajuan budaya dilakukan melalui beberapa langkah strategis mulai dari perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan.
ADVERTISEMENT
Sebab kejadian serupa pada tingkat yang lebih fatal juga pernah dilakukan oleh Kemendikbud pada tahun 2021. Kemendikbud tidak memasukkan nama Kiai Haji Hasyim Asy’ari pada Kamus Pahlawan Sejarah. Padahal pendiri Nahdlatul Ulama sekaligus penggagas Resolusi Jihad ini punya andil besar dalam sejarah perlawanan terhadap pihak penjajah.
Segala kebijakan menyangkut identitas sejarah sebagai bagian penting dari upaya pemajuan budaya seyogyanya menjadi perhatian serius bagi Kemendikbud. Jangan lagi ada kisah tentang kekeliruan keputusan yang ujungnya bisa berakibat pada misinterpretasi publik. Karena bagaimanapun pemajuan budaya bukan lagi program Kemdikbud semata, akan tetapi sudah menjadi agenda prioritas nasional.
Adanya dana abadi kebudayaan sebesar 3 triliun rupiah (tahun 2022) sebenarnya merupakan bukti keseriusan pemerintah yang siap untuk menjaga serta memajukan berbagai peninggalan budaya sebagai bagian penting identitas nasional. Akan tetapi pemajuan budaya juga memerlukan strategi kebijakan yang tidak bisa dilakukan secara serampangan. Karena pemajuan budaya sekali lagi amat terkait dengan upaya pemajuan kesadaran identitas bangsa dan sejarah.
ADVERTISEMENT

Dua Langkah Penting

Selain berupaya untuk menciptakan strategi kebijakan yang tepat di bidang pemajuan budaya, pemerintah menurut hemat penulis juga perlu melakukan dua langkah penting dan mendasar. Pertama, menciptakan kesadaran sejarah mulai dari bangku sekolah SMP dan SMA sebagai program prioritas nasional.
Mengingat selama ini mata pelajaran sejarah cenderung dianggap sebelah mata sebagai “mata pelajaran kelas dua”. Hal ini antara lain terlihat dari banyaknya sekolah yang menugaskan guru untuk mengampu mata pelajaran sejarah padahal guru yang bersangkutan bukan dari lulusan pendidikan sejarah melainkan dari PKN atau Mapel Sosiologi.
Kedua, pemerintah perlu untuk merencanakan program pengembangan identitas lokal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari struktur identitas nasional. Majunya suatu kebudayaan tidak bisa dilakukan jika terjadi penghilangan identitas di tingkat lokal sebagaimana dalam kasus yang terjadi di rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu. Karena identitas nasional tercipta melalui pergumulan kolektif dari identitas-identitas lokal.
ADVERTISEMENT
Dari kejadian di atas harusnya Kemendikbud mulai memiliki pandangan bahwa semua identitas yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia itu penting bagi keberlangsungan pemajuan kebudayaan. Jangan atas dasar kepentingan program Kemendikbud, landmark yang semula menyematkan nama ‘Bengkulu’ (Baca: Rumah Kediaman Bung Karno Pada Waktu Pengasingan di Bengkulu 1938-1942) diganti hanya menjadi Bangunan Cagar Budaya Nasional Rumah Pengasingan Bung Karno. Jelas ini penghilangan identitas lokal demi kepentingan semu identitas nasional (pseudo-nasionalisme).