Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
PDIP VS Jokowisme: Faksionalisme Penentuan Calon Presiden dan Wakil Presiden
25 Juni 2024 10:44 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ilham Maulana Rasyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam demokrasi kontemporer ini, dominasi kekuasaan diperoleh melalui demokrasi perwakilan, perwakilan rakyat dalam sistem bentuk demokrasi ini dengan memilih representasi mereka dalam lembaga legislatif ataupun eksekutif. Partai politik merupakan salah satu instrumen penting untuk menyediakan sumber daya dalam mempersiapkan kandidat representasi rakyat, misalnya dalam pencalonan presiden dan wakilnya. Hal tersebut tentu memperlukan bantuan dari partai sebab presidential threshold yang saat ini memperlukan 20% kursi di DPR agar dapat maju dalam pencalonan.
ADVERTISEMENT
Sebelum menghasilkan sebuah kebijakan, sebuah partai bisa saja mengalami konflik kepentingan di dalamnya, misalnya dalam pencalonan presiden. Di dalam internal partai hal semacam itu dapat menimbulkan sebuah perdebatan untuk menentukan siapa yang akan menjadi calon presiden dan wakilnya, hal tersebut tentu juga terjadi dalam koalisi pasangan calon Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, dan Ganjar-Mahfud. Kepentingan elektoral, ekonomi, dan nilai menjadi contoh mengapa terjadi konflik kepentingan dalam internal partai. Perbedaan kepentingan tersebut membentuk kelompok-kelompok kepentingan yang dapat disebut sebagai faksi.
Apa Itu Faksi?
Harold Lasswell (dalam McAllister, 1991) melihat bahwa faksi-faksi cenderung menitik beratkan pada kepentingan pribadi dari pada kepentingan umum. Menurut pemahaman Zariski (dalam Boucek, 2009), faksi dari sebuah partai memiliki sebuah fungsi untuk mengartikulasikan nilai dan strategi yang berbeda, tetapi juga dapat mempresentasikan kepentingan kelompok atau pribadi. Zariski juga menyebutkan bahwa faksi-faksi adalah, “kekuatan-kekuatan yang bersaing untuk memperoleh pengaruh atas lembaga-lembaga utama intra-partai, untuk perumusan kebijakan partai, untuk pemilihan pemimpin partai, dan untuk calon kandidat partai dalam jabatan publik” (Zariski, 1960).
ADVERTISEMENT
Faksi-faksi di dalam partai berbeda satu sama lain dan saling berkompetisi untuk mendapatkan kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan, dengan cara berkuasa atas partai yang lebih luas yakni dengan cara mendapatkan posisi kekuasaan yang lebih tinggi. David Hine (dalam Romli, 2017) mengungkapkan bahwa faksi juga memberikan dampak pada konflik internal partai ketika ikatan faksi lebih kuat pada kepentingan kelompok atau individu daripada kesamaan gagasan. Sebab faksi mencerminkan berbagai perbedaan seperti ideologi, sosial, budaya, dan kepentingan pribadi.
Faksi PDIP (Megawati) VS Faksi JOKOWISME
Berangkat dari pengusungan Gibran pada Pilkada Solo 2020 lalu, sepertinya persiapan kepentingan Joko Widodo sudah dimulai pada saat itu agar dapat menjadikan sebuah alasan dalam Otak-atik konstitusi untuk meloloskan Gibran yang belum berumur 40 tahun namun dapat mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden dengan syarat pengalaman kepala daerah. Selain itu, Joko Widodo juga sempat memberikan dukungan pada Ganjar Pranowo. Walaupun dukungan Joko Widodo tampak telah sirna pasca pemilihan calon wakil presiden Ganjar adalah Mahfud MD meskipun pasangan tersebut diusung oleh PDIP.
ADVERTISEMENT
Merenggangnya hubungan keluarga Presiden Joko Widodo dengan PDIP banyak dimuat dalam media sosial akhir-akhir ini, seperti Joko Widodo yang tidak datang pada perayaan HUT PDIP, pemecatan Bobby Nasution dan Gibran Rakabuming Raka dari anggota PDIP, pengusungan Gibran menjadi calon wakil presiden Prabowo, majunya Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, serta beberapa perlakuan PDIP dan Joko Widodo yang memang sudah tidak akrab lagi seperti dulu.
Pasca putusan MK yang memperbolehkan calon wakil presiden dengan usia di bawah 40 tahun dapat maju dengan syarat pernah menjabat kepala daerah, terjadilah pemasangan Calon Wakil Presiden Gibran dengan Prabowo Subianto. Hal tersebut membuahkan hasil yang tidak baik dalam internal partai PDIP, bahkan sebelum pencalonan pasangan Prabowo-Gibran, Budiman Sudjatmiko yang merupakan kader PDIP menyatakan perbedaan dengan PDIP dalam mendukung Calon Presiden. Selain itu, keluarnya Maruarar Sirait dari keanggotaan PDIP dengan alasan perbedaan dukungan calon presiden menambah bukti kuat adanya faksionalisme di internal partai PDIP.
ADVERTISEMENT
Dalam studi faksionalisme, terdapat kategorisasi faksionalisme atau yang lebih sering dikenal sebagai 3 bentuk wajah faksionalisme, yakni faksionalisme kooperatif, kompetitif, dan degeneratif. Kategori di atas berdasarkan pada dampak perseteruan antar faksi kepada keberlanjutan partai (Boucek, 2009). Dari ketiga bentuk faksionalisme yang disebutkan di atas, dapat terjadi kapan saja pada sebuah partai, bukan 1 atau 2 saja yang dapat terjadi, bahkan ketiga wajah faksionalisme pun juga dapat terjadi dalam perjalanan partai. Dalam perjalanan partai faksionalisme ini lah yang memberikan dampak pada arah politik, sistem kinerja partai, dan kebijakan yang diproduksi oleh partai. Positif dan negatif memang 2 hal yang selalu mengiringi semua hal, begitu pula dengan faksionalisme partai yang memiliki dampak konstruktif dan destruktif.
ADVERTISEMENT
Faksionalisme antara Joko Widodo dan PDIP dapat dikategorikan sebagai degeneratif dan kompetitif. Sebab, muncul pemecatan dan pengunduran diri dari keanggotaan PDIP, hal tersebut terjadi untuk menyingkirkan anggota-anggota partai yang berbeda pendapat mengenai kebijakan dalam pengusungan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, juga terdapat kompetisi pemenangan Presiden dan Wakil Presiden, kubu Joko Widodo yang tampak memberikan dukungan pemenangan pada pasangan Prabowo-Gibran, sedangkan PDIP tetap memberikan dukungan pada Ganjar-Mahfud. Budiman Sudjatmiko, Maruarar Sirait, Bobby Nasution, dan Gibran yang sebelumnya adalah beberapa kader PDIP, mereka mempunyai kepentingan pribadi sebagai manusia politik. Oleh karena itu, alasan mereka untuk membelot tentu berdasar kepentingan pribadi dan didukung oleh kekuatan dari Joko Widodo yang memiliki beragam instrumen negara untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
ADVERTISEMENT
Inti dari timbulnya faksionalisme ini merupakan salah satu akibat dari perbedaan-perbedaan kepentingan yang ada di dalam tubuh partai. Bersaing, bekerja sama, dan saling menghancurkan dalam dinamika politik pasti dapat terjadi kapan saja. Meskipun faksionalisme diperlukan dalam dinamika kepartaian, tetapi jangan sampai kepentingan pribadi dan kelompok membelakangi etika yang mengarah pada kemunduran demokrasi. Sebab, sistem demokrasi tidak dapat hidup di dalam sistem oligarki dan feodalisme. Namun oligarki dan feodalisme dapat muncul di dalam sistem demokrasi (Suseno, 2001).
Referensi
Boucek, F. (2009). Rethinking factionalism: Typologies, intra-party dynamics and three faces of factionalism. Party Politics, 15(4), 455–485. https://doi.org/10.1177/1354068809334553
McAllister, I. (1991). Party Adaptation and Factionalism within the Australian Party System. American Journal of Political Science, 35(1), 206. https://doi.org/10.2307/2111444
ADVERTISEMENT
Romli, L. (2017). KOALISI DAN KONFLIK INTERNAL PARTAI POLITIK PADA ERA REFORMASI Coalition and Internal Party Conflicts of Reform Era in Indonesia. Politica, 8(2), 95–118.
Suseno, F. M. (2001). Etika Politik (6th ed.). PT Gramedia Pustaka Utama.
Zariski, R. (1960). Party Factions and Comparative Politics: Some Preliminary Observations. Midwest Journal of Political Science, 4(1), 27. https://doi.org/10.2307/2108754