news-card-video
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Pentingnya Pendidikan dalam Meminimalisir Diskriminasi di Negara Multikultural

Ilmu Komunikasi UMY
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Akreditasi Unggul, Sertifikasi Kompetensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) untuk mahasiswa. Muda Mendunia dengan Kompetensi
15 November 2021 10:55 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilmu Komunikasi UMY tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source of Zoom Meeting
zoom-in-whitePerbesar
Source of Zoom Meeting
ADVERTISEMENT
Multikulturalisme mengkonsepkan pandangan terhadap keanekaragaman kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman. Hal ini banyak dijumpai di banyak negara, salah satunya adalah Prancis yang memiliki banyak imigran di dalamnya. Ditambah lagi, Prancis memiliki “jargon” kebanggaannya, yakni Liberte, Egalite, Fraternite yang artinya adalah kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan.
ADVERTISEMENT
Dengan ini, International Program for Communication Studies (IPCOS) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyelenggarakan kuliah umum secara daring dengan menghadirkan Samia Kotele sebagai pembicara. Dengan dimoderatori oleh Dr. Tri Hastuti Nur Rochimah, S.Sos, M.Si sebagai Dosen Komunikasi UMY. Benar saja, mahasiswa aktif berdiskusi lebih lanjut mengenai multikulturalisme yang hadir di Prancis serta permasalahannya, khususnya yang terjadi antara etnis Prancis asli dengan imigran muslim pada Jumat (12/11) pukul 13.00 WIB.
Dalam kuliah umum ini, Samia menjelaskan bahwa perkembangan multikulturalisme di Prancis hingga saat ini semakin kompleks karena banyaknya imigran yang perlu diperhatikan. Pandangan pesimis terhadap multikulturalisme di Prancis sebenarnya sudah nampak dari sifat dasar rezim kuno yang ada. Ada keinginan warga mayoritas Prancis untuk membentuk monokulturalisme. Namun terhambat dengan adanya rasa ketidaknyamanan pada perpolitikan negara seperti permasalahan ekonomi sejak 1998 yang berdampak pada munculnya isu-isu imigrasi. Kondisi ini tentunya ditentang oleh sebagian warga yang mengedepankan kesetaraan dan kebebasan bagi semua pihak.
ADVERTISEMENT
“Kita tidak bisa menolak bahwa orang-orang yang mempermasalahkan perbedaan itu tetap ada, yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan pendidikan kita supaya dapat meminimalisir diskriminasi. Itulah mengapa kita perlu memiliki banyak mata untuk melihat dari perspektif yang berbeda sehingga muncul rasa ingin tahu, ada rasa empati, dan menjadi lebih open minded,” tambah Samia Kotele, Ecole Normale Supérieure de Lyon, Prancis.
Di sisi lain, tidak semua masyarakat Prancis berbuat demikian, banyak tokoh feminis, lembaga Islam, Asosiasi agama hingga gerakan anti-rasis yang juga berdiri dengan merdeka di Prancis. Yang bisa kita refleksikan yakni mengembangkan empati terhadap kaum minoritas di sekitar. Islamphobia akan berangsur pudar jika masyarakat memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
“Buka matamu untuk mengetahui jendela dunia yang sesungguhnya. Di seluruh lapisan sosial, perluas empatimu maka kita akan belajar indahnya persaudaraan di setiap multikulturalisme level negara. Kita bisa mengubah dunia melalui langkah kecil yakni membaca buku,” pungkas Samia menutup kuliah umum ini dengan pesan bermakna untuk mahasiswa.
ADVERTISEMENT