Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Menjadikan Bilah Khas Indonesia sebagai Senjata Diplomasi Mancanegara
15 Agustus 2019 2:16 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Imada Simbolon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa bisa lupa dengan aksi memukau dua pesilat sekaligus aktor Indonesia, Yayan Ruhiyan dan Cecep Arif Rahman, yang 'memainkan' karambit kala bertarung dengan Keanu Reeves dalam adegan film John Wick 3 (2019)? Bahkan, Cecep--bersama Iko Uwais--sudah terlebih dulu memperkenalkan karambit dalam adegan laga di film The Raid 2 (2014).
ADVERTISEMENT
Tak pelak, berkat kemunculannya di beberapa film yang menyita perhatian publik dunia, termasuk dua judul di atas, senjata tradisional Minangkabau ini jadi semakin populer, terutama di sejumlah negara Asia Tenggara, seperti di Thailand, Kamboja, Malaysia dan Laos.
Namun, karambit hanyalah satu dari sekian banyak varian senjata tajam, atau istilah lebih tepatnya ‘bilah’, asal Indonesia yang popularitasnya semakin naik di kancah internasional. Sebelum karambit, keris asal Jawa sudah lebih dahulu terkenal di mancanegara. Dan sekarang, golok asal Betawi dan parang dari Maluku juga sudah mulai populer.
Tak hanya di Asia Tenggara, bilah Indonesia kini diminati dan dicari oleh para penggemar bilah di Amerika dan Eropa. Bilah Indonesia dipandang unik dan bernilai seni tinggi serta sangat variatif dari segi bentuk dan kegunaan.
ADVERTISEMENT
Histori Bilah Nusantara
Mari kita kaji secara singkat dari segi bahasa. Bilah, atau dalam Bahasa Inggris disebut blade, merupakan bagian dari alat, senjata, atau mesin yang bagian ujungnya dibentuk untuk menusuk, memotong, mengiris, dan mengikis suatu permukaan atau material.
Manusia membuat bilah dari serpihan batu, seperti batu api dan obsidian, serta bermacam-macam logam, seperti tembaga, perunggu, dan besi. Namun, bilah modern kini juga terbuat dari baja atau keramik.
Berdasarkan sejarah metalografi dan budaya Indonesia, figur tentang bilah pertama kali ditemukan pada relief Candi Borobudur (tahun 800-900 Sebelum Masehi). Penemuan ini, menurut ahli metalurgi Inggris, Cyril Stanley Smith, mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang menggunakan bilah tertua di dunia.
ADVERTISEMENT
Bahkan, UNESCO menemukan bahwa pada era kerajaan Majapahit di abad ke-13, bangsa Indonesia telah berhasil melakukan teknik tempa bilah dengan hasil logam yang bercorak/bermotif. Teknik ini yang di kemudian hari pada abad ke-17 diterapkan kembali oleh bangsa-bangsa di Benua Eropa.
Bilah di Indonesia secara historis awalnya dipergunakan untuk berburu, bertani, perlindungan diri, dan sebagai alat babat semak-semak dalam suasana peperangan di wilayah-wilayah dengan medan yang sulit, hutan rimba, dan bebukitan. Golok, misalnya, dengan panjang rata-rata 45-50 sentimeter, sesungguhnya didesain untuk kebutuhan agrikultur di Amerika Latin, Asia Tenggara, dan Afrika, baru kemudian mulai dipakai sebagai senjata perang.
Kekayaan khazanah ilmu tempa di Indonesia mengakar pada ragam bela diri dan senjata tajam tradisional yang dikembangkan di berbagai daerah sejak zaman dahulu kala. Seni bela diri dan senjata tradisional Indonesia berorientasi secara eksklusif pada practicability, baik dari segi desain teknis maupun penggunaan.
ADVERTISEMENT
Menurut Donn Draeger, pengamat bilah Nusantara, hal ini tidak terlepas dari pembangunan karakter nasional bangsa Indonesia yang bercirikan “virtue of syncretism”, di mana bangsa ini mampu untuk mengadopsi, mengadaptasi, dan menggabungkan ide-ide nasional dengan elemen-elemen budaya asing, sehingga menciptakan berbagai karya senjata dan seni bela diri yang menonjol di dunia.
Sejarah bilah di Nusantara, menurut pakar sejarah militer dan seni bela diri berkebangsaan Swedia, Martina Sprague, berangkat dari era kolonialisme Belanda dan mendapatkan pengaruh peradaban India, Arab, dan China. Dengan menyarikan dari tiga peradaban tersebut, bangsa Indonesia menciptakan beragam seni bela diri dan senjata tajam dengan berbagai teknik dan metode pembuatan yang unik dan khas.
Contoh untuk penjelasan di atas adalah persenjataan pencak silat standar (pisau, parang, keris, tjabang, dan toya). Di samping itu, juga terdapat berbagai senjata tradisional yang bersifat lokal, antara lain gada, pedang, arit, golok, kelewang, dan tombak, yang metode pembuatannya menyesuaikan karakteristik dan tradisi daerah masing-masing.
ADVERTISEMENT
Teknik Tempa Bilah ala Indonesia
Pada masa kini, sebagian besar pembuat bilah mendapatkan ilmunya secara turun-temurun dengan metode tradisional yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Akibat tuntutan ekonomi dan kurangnya pemahaman dan akses atas kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan terkait teknik pembuatan bilah, maka hanya segelintir orang saja yang mampu terus berkarya.
Hal ini menyebabkan pembuat bilah tradisional kesulitan dalam menghadapi tantangan dan bersaing secara global. Akibatnya, tidak banyak yang dapat bertahan. Pada gilirannya, keahlian atau seni/metode tempa tradisional berangsur mulai tenggelam di era sekarang ini.
Pelestarian kerajinan atau seni pembuatan bilah di Indonesia juga tidak pernah digarap secara serius selama ini. Sedihnya lagi, tidak terdokumentasikan dengan baik dan utuh.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, generasi penerus sulit mempelajari dan mengembangkan teknik dan metode yang telah ada. Karena itu, sayangnya tidak banyak generasi muda saat ini yang memiliki ketertarikan untuk mempelajari dan secara konsisten membuat karya-karya kerajinan pembuatan bilah.
Seiring dengan perkembangan arus globalisasi pada abad ke-21, pengaruh seni tempa dari Barat (Eropa dan Amerika Serikat), yang sebelumnya mengakar dari khazanah nusantara pada abad ke-13, kini mulai kembali ke Tanah Air. Bangsa Barat dalam sejarah panjangnya telah melalui fase peperangan yang panjang, menjadi lahan “clash of civilizations” dari masa ke masa, dan melalui tahapan modernisasi yang dibantu oleh kemajuan teknologi, sehingga terbentuklah berbagai teknik dan metode pembuatan bilah (bladesmithing) yang ada saat ini.
ADVERTISEMENT
Keunikan dan kemajemukan teknik pembuatan dan hasil karya bilah Barat tetap dilestarikan sesuai budaya/tradisi masing-masing. Negara-negara Barat itu contohnya Jerman, Belanda, Belgia, Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat.
Penggunaan mesin-mesin dan peralatan modern juga telah memengaruhi gaya dan teknik pembuatan masing-masing jenis bilah. Elemen-elemen inilah yang kini mulai memasuki dunia pembuatan bilah di Asia, termasuk Indonesia.
Alhasil, banyak perajin yang mau tidak mau beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Dalam hal ini, antara lain penggunaan alat-alat modern yang mempermudah proses pembuatan bilah, pengambilan unsur-unsur gaya, dan teknik pembuatan bilah ala Barat.
Akulturasi berbagai budaya dimaksud telah menghasilkan beragam teknik pembuatan bilah yang kini eksis di Tanah Air. Salah satu yang menonjol adalah teknik tempa dengan teknologi modern dan pengembangan elemen-elemen lokal budaya Indonesia. Teknik ini memanfaatkan kemajuan teknologi guna efisiensi dan efektivitas proses penciptaan bilah, khususnya industri rumahan dan handmade, dengan tenaga kerja minimal.
ADVERTISEMENT
Kiprah Bladesmith Indonesia
Seiring dengan meningkatnya animo publik dunia atas bilah Indonesia, kini para pembuat bilah, atau yang lebih dikenal dengan istilah tradisional ‘pande’ atau ‘empu’, atau istilah internasionalnya ‘bladesmith’, mulai berupaya menjual karya-karyanya di luar negeri. Di sisi lain, para bladesmith dan penggemar bilah dunia pun mulai tertarik dan penasaran dengan seni dan teknik pembuatan bilah ala Indonesia.
Misalnya Cornelius Rusandhy, pembuat bilah yang berbasis Jakarta. Ia terkenal dengan beragam karya custom, handmade, dan art knives, mulai dari pisau dapur, karambit, hingga pisau berburu.
Cornelius kerap mengeluarkan karya pisau dengan teknik baja tempa berpola (batempol) dengan penggunaan teknologi modern. Alhasil, kini karyanya banyak diminati para penggemar bilah atau kolektor pisau di Indonesia dan Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
“Sudah saatnya para pembuat bilah atau knife artisan asal Indonesia memperluas pasarnya ke negara-negara lain. Karya pisau kita kini sudah semakin baik kualitasnya sehingga mampu bersaing dengan pembuat bilah asing. Saatnya pebilah Indonesia untuk go international,” ujar Cornelius saat bertatap muka di workshop-nya yang bernama Rumah Tempa di bilangan Jakarta Timur.
Cornelius mengaku mendapatkan priviledge dari mengikuti pelatihan Basic Bladesmithing Course yang diselenggarakan oleh American Bladesmith Society (ABS) di La Forge d’Ostiches, Belgia, tahun 2014. Ia juga pernah mengikuti Historical Metallurgy Masterclass dan berbagai kursus sejenis lainnya di Belgia, Prancis, dan Belanda sepanjang tahun 2015-2016.
Ngomong-ngomong apa tadi ABS itu? ABS adalah lembaga sertifikasi dan sekolah bladesmithing, sekaligus komunitas pencinta bilah terbesar dan tertua di Amerika Serikat dengan jaringan di seluruh dunia. Luar biasa, bukan?
Kini, dirinya berprofesi sebagai pembuat bilah purnawaktu dengan omzet sekitar Rp 25-40 juta yang menghasilkan 3-5 karya bilah setiap bulannya, dengan harga jual berkisar Rp 3-17 juta per bilah.
ADVERTISEMENT
“Harga jual setiap bilah,” sambung Cornelius. “tergantung dari tiga hal yaitu tingkat kesulitan pembuatan bilah, lama proses pembuatan dan material yang digunakan”.
Setiap tahapan pembuatan bilah, mulai dari proses desain – penempaan – grinding – heat treatment – pembuatan gagang – finishing, idealnya harus secara disiplin, ketat, dan konsisten diterapkan tanpa melewati satu tahapan pun. Hal ini menurutnya penting untuk menghasilkan kualitas bilah yang baik dan tercipta presisi sesuai desain awalnya.
Diplomasi Budaya Bilah Indonesia
Sepanjang berada di Eropa, Cornelius mengungkapkan ketertarikan besar pembuat bilah di sana untuk berkunjung ke Indonesia dalam rangka mempelajari budaya bladesmithing lokal dan membeli berbagai senjata tradisional khas Indonesia. Mereka bahkan sampai membeli buku-buku teknik pembuatan keris atau karambit saking besarnya rasa ingin tahu. Selain itu, mereka juga tertarik mengajarkan seni bilah dari negeri asal mereka.
ADVERTISEMENT
Terdapat perbedaan mendasar dalam teknik pembuatan bilah Indonesia dengan Eropa, menurut Cornelius. Di Indonesia, pembuatan bilah sifatnya gotong-royong atau kolaborasi. Maksudnya, dari awal pembuatan bilah, finishing, bahkan pembuatan gagang dan sarungnya, dilakukan oleh orang yang berbeda-beda.
Di sejumlah wilayah di Jawa, misalnya, pembuatan golok dilakukan oleh pande tradisional, sementara finishing oleh ibu-ibu rumah tangga di desanya. Sementara itu, di luar negeri, semua proses dikerjakan sendiri, sehingga umunya handmade knife tidak diproduksi massal dan berharga jual tinggi.
Budaya/seni dan karya bilah Indonesia sesungguhnya memiliki peluang besar dari sisi ekspor bila digarap secara serius. Sayangnya, hingga saat ini masih ada kendala signifikan untuk mengekspor bilah Indonesia ke luar negeri karena benda ini masih masuk kategori benda tajam.
ADVERTISEMENT
Bilah masih dipandang oleh otoritas sebagai benda berisiko dari segi keamanan atau dianggap sebagai benda pusaka bernilai seni tinggi, misalnya keris. Akibatnya, belum dapat diekspor ke luar negeri, kecuali dengan izin khusus.
Cara lain untuk mempromosikan budaya bilah kita ke luar, kata Cornelius, adalah melalui penyelenggaraan event bilah skala internasional. Tahun lalu, Indonesia sukses menyelenggarakan ASEAN Cutting Competition (ACC), ajang eksibisi bilah sekaligus kompetisi olahraga bilah di tingkat Asia Tenggara, yang diadakan oleh Indonesian Blades (IB).
IB merupakan komunitas pencinta bilah terbesar dan tertua skala nasional dengan kurang lebih 10.000 anggota. Pada event ini, Malaysia, Thailand, dan Singapura turut berpartisipasi mewakili komunitas bilah nasional mereka masing-masing.
Cornelius yang juga merupakan Ketua Harian Pengurus Pusat IB ini menekankan nilai strategis penyelenggaraan ACC sebagai bentuk diplomasi budaya Indonesia. Dengan kegiatan semacam ini, menurutnya, Indonesia telah menetapkan standar tertentu kualitas bilah regional dan standar penyelenggaraan pameran bilah yang baik di tingkat Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, kesempatan pameran tentunya dimanfaatkan jadi ajang memasarkan produk bilah anak bangsa dan membangun jejaring dengan pembuat bilah dari negara lain untuk membuka peluang kolaborasi. Hal ini sesungguhnya bentuk konkrit people-to-people contact yang dapat membantu membangun identitas ASEAN Community.
Tahun 2020 mendatang, Indonesia rencananya akan kembali menjadi tuan rumah penyelenggaraan ACC. Harapannya, seluruh negara anggota ASEAN dapat ikut berpartisipasi di acara ini untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan perbilahan guna memperkaya khazanah bilah Indonesia dan memperluas pasar bilah regional.