PNS di Persimpangan Jalan Gara-Gara Rencana Pindah Ibu Kota

Imada Simbolon
Co-founder of #RumahTempa, family-road trip enthusiast, acoustic guitar fan, foreign policy planner cum executor, and deeper meaning seeker
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2019 23:23 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imada Simbolon tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.” Kutipan ciptaan Seno Gumira Ajidarma ini sepertinya yang paling tepat menggambarkan perasaan para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dalam kesehariannya sibuk berjibaku dengan kerasnya hidup di Ibu Kota tercinta ini.
Ilustrasi PNS yang tengah menunggu kepastian pemindahan lokasi ibu kota. Foto: infografis pribadi.
Oleh karenanya, pindah ibu kota dipandang menjadi solusi bagi setengah persoalan yang dirasakan PNS tersebut. PNS pusat beserta keluarganya kabarnya akan turut dipindahkan ke Kalimantan seiring dengan pemindahan pusat pemerintahan dari kota Jakarta.
ADVERTISEMENT
Meskipun banyak pihak merasa ragu dan bahkan menentang rencana ini, nyatanya gagasan desain ibu kota baru dan lini masa tahapan pelaksanaan relokasi ini kini telah beredar luas, sehingga tampaknya ini bukan upaya yang setengah-setengah hati.
Relokasi Berarti Perubahan Hidup
Terlepas dari tujuan mulia rencana besar ini, tentunya yang akan paling terdampak adalah para PNS pusat yang setidaknya lima tahunan dari sekarang mungkin akan mulai direlokasikan ke ibu kota baru. Dari hari ini pun, para PNS tersebut sudah mulai berimajinasi akan jadi seperti apa hidup mereka di tempat yang baru nanti.
Bahkan, mereka sudah harus mulai memutar otak mempersiapkan banyak hal untuk antisipasi kepindahan ini dari sekarang. Dengan kata lain, pindahnya lokasi kerja akan membawa perubahan besar dalam kehidupan mereka, perubahan baik atau buruk.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, dari kacamata PNS, apakah pemindahan ibu kota ini merupakan hal yang dinanti-nantikan? Sesungguhnya, tidak ada jawaban yang sederhana atas pertanyaan ini.
Tidak dapat dipungkiri, kehidupan sebagian besar PNS pusat di ibu kota saat ini masih jauh dari kesan mewah, dengan nominal gaji yang berada di kisaran UMR Jakarta, plus tunjangan kinerja yang lazim dipergunakan untuk membayar iuran sekolah anak.
Masalah kesejahteraan dan stabilitas hidup ini tentunya akan lebih menjadi tantangan bagi mereka yang merupakan PNS golongan I dan II (lulusan SMP dan SMA) yang umumnya mendekati usia pensiun, sehingga tidak terlalu semangat lagi menghadapi perubahan-perubahan di tempat kerjanya. Pun akan menantang pula bagi para PNS muda yang baru bergabung (golongan III lulusan S1) yang umumnya kaum milenial dan punya segudang harapan tinggi dari sisi karier dan penghasilan.
ADVERTISEMENT
Lain lagi pikiran para PNS yang kini di level mid-manajemen yang biasanya tengah berjuang membangun karier, kehidupan, dan keluarganya. Lazimnya, di tahap ini, mereka tengah giat-giatnya mencari pemasukan untuk membayar cicilan rumah, mobil atau motor yang sudah setengah jalan atau mungkin hampir lunas. Nah, ketika ibu kota harus pindah, haruskah mereka mengulang semua itu dari awal?
Wacana terakhir, kabarnya PNS akan terjamin akomodasinya di Kalimantan dengan penyediaan hunian bagi para pegawai yang pindah. Model huniannya kemungkinan berupa rumah vertikal atau apartemen.
Ironisnya, selama ini banyak sekali PNS di Jakarta yang rela ‘menua’ di jalan demi bisa tinggal di perumahan meski letaknya berpuluh-puluh kilometer dari tempat kerja di pusat kota. Hal ini dilakukan agar tidak perlu tinggal di hunian vertikal yang sempit dan kurang ideal bagi anak-anak, meski ada di tengah kota.
ADVERTISEMENT
Jika nanti di Kalimantan, dan jika diharuskan menghuni apartemen, mungkin banyak PNS yang akan berpikir dua kali untuk ikutan pindah ke sana karena sudah nyaman dengan rumah yang sekarang.
Ilustrasi PNS dengan segala aspek pertimbangan dalam rangka pindah ibu kota. Foto: infografis pribadi.
Dengan demikian, harapannya, pemindahan ibu kota akan diikuti dengan peningkatan kesejahteraan yang substansial, fasilitas yang mendukung, dan manajemen kepegawaian yang kondusif bagi PNS sekeluarga.
Karena jika tidak, PNS yang muda dan milenial punya seribu satu alasan untuk bertahan saja di megapolitan Jakarta, yang lapangan kerjanya masih banyak dan fasilitasnya beragam, dibandingkan di Kalimantan yang penuh ketidakpastian. Atau PNS yang level menengah bisa-bisa terpaksa memilih mundur dan pindah track, meskipun mereka paham mencari pekerjaan baru akan sulit karena faktor usia.
ADVERTISEMENT
Support System dan Tanggungan
Bicara support system, tidak heran jika banyak PNS yang galau apabila diminta pindah ke pulau seberang, khususnya karena alasan keluarga. Banyak dari mereka, yang karena faktor kondisi keluarganya, kini harus berada di persimpangan jalan untuk memilih antara pekerjaan, keinginan, dan keluarga. Ini saatnya menegaskan kembali atau menyusun ulang skala prioritas hidup mereka.
Ketika karier istri atau suami si PNS sedang jaya-jayanya, haruskah berhenti demi ikut pindah atau sebaiknya terapkan skema Long Distance Relationship (LDR) supaya keduanya sama-sama jalan? Ketika anak-anak mereka tengah kerasan di sekolah dan pergaulannya, haruskah ikut pindah dengan orang tuanya?
Padahal untuk menciptakan work-life balance dan meningkatkan produktivitas kerja, prinsip-prinsip penyatuan keluarga sangat krusial untuk diprioritaskan. Apalagi jika seseorang harus hidup baru di lingkungan yang asing nantinya.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, Ade, PNS muda di lingkungan Kementerian Luar Negeri, tengah menimbang untuk resign jika ibu kota pindah. “Seluruh anggota keluarga sudah sepakat agar tetap di Jakarta, apalagi anak yang sulung sudah minta,” ceritanya.
Begitu pula dengan Fani, juga pegawai di Kementerian Luar Negeri, kemungkinan besar tidak akan hijrah ke Kalimantan karena pekerjaan suami lah yang merupakan penopang utama hidup sekeluarga termasuk biaya sekolah anak.
PNS perempuan yang suaminya terikat bekerja di Jakarta memang cenderung menemui tantangan yang sama. Seperti halnya Dinda, PNS di Kementerian Dalam Negeri, sudah yakin memilih opsi mengundurkan diri atau setidaknya pindah ke Pemkot Bekasi, karena suami bekerja di area Karawang. Kolega-kolega perempuannya pun sebagian besar ingin hijrah ke Pemda DKI karena masih nyambung dengan tipe pekerjaan yang sekarang.
PNS Pemda DKI. Foto: setkab.go.id.
Bagaimana dengan PNS yang selama ini hidup satu atap dengan orang tua atau anggota keluarga lainnya atau harus menyokong aspek finansial atau kesehatan hidup mereka? Tentunya jika PNS tersebut pindah, terlalu banyak hal yang harus dipikirkan dan diakomodasi untuk tetap menghidupi extended family ini dari jarak jauh.
PNS muda Kementerian Keuangan sedang diangkat sumpah. Foto: Ditjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan.
Aris, PNS asal Kementerian Keuangan, juga sudah ancang-ancang pindah kerja ke Pemda DKI karena menurutnya ada peluang yang besar di sana. Dirinya sudah mantap tidak ke Kalimantan karena beragam hal yang mengharuskan dirinya tetap di Jakarta. “Banyak alasan seperti harus bantu orang tua yang sedang sakit, harus bolak-balik ke rumah sakit langganan karena adanya riwayat kesehatan pribadi, pendidikan anak-anak, dan kepemilikan beberapa aset pribadi di ibu kota,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Potensi Hilangnya SDM Unggul
Menilik tren begini, bukan hal yang mengejutkan jika waktu kepindahan ke Kalimantan tiba nanti, pengunduran diri PNS secara massal kemungkinan besar akan terjadi. Kalau sudah begitu, bisa terbayang negara akan kehilangan banyak potensi SDM unggul di tingkat pusat baik karena perpindahan mereka ke tingkat provinsi/kabupaten/kota atau karena pengunduran diri massal tersebut.
Menurut Bappenas, momentum pemindahan ibu kota ini memang akan dapat dimanfaatkan untuk melakukan perampingan (rightsizing) aparatur sipil negara. Disadari bahwa tidak semua PNS akan bersedia pindah.
Padahal untuk menjadi PNS pusat, seseorang telah melewati proses seleksi yang ketat, dan investasi human capital-nya selama ini sudah begitu besar dalam jangka panjang. Maka, dari sekarang, hendaknya sudah harus mulai dipikirkan mekanisme retention pegawai yang memberikan mutual benefit bagi pegawai dan user saat harus pindah ibu kota nanti.
ADVERTISEMENT
Dalam pengalaman Finlandia saat memindahkan ibu kota di era 1970-an dulu, PNS mereka menolak keras rencana ini karena alasan keluarga dan “forced migration” ke kota baru yang tidak dikenal. Kondisi dan standar hidup di lokasi baru waktu itu dinilai lebih rendah dibandingkan ibu kota sebelumnya dalam hal fitur-fitur budaya dan layanan retail. Relokasi ke ibu kota baru terkesan dipaksakan, karena arus migrasi yang alami justru dari kota kecil ke kota besar.
Kota Helsinki di Finlandia Foto: Flickr/Sami C
Dari sisi pekerjaan, terdapat berbagai kekhawatiran akan potensi hilangnya kontak-kontak mitra penting di ibu kota sebelumnya, potensi meningkatnya perjalanan dinas dan membengkaknya biaya komunikasi.
Dari sisi pegawai, mereka yang setuju pindah pun harus mengatur sendiri kepindahan masing-masing dan mencari tempat tinggal baru yang ideal. Belum lagi mereka harus mencarikan pekerjaan baru bagi istri/suaminya dan mencari fasilitas daycare dan sekolah bagi anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Sementara, PNS Finlandia yang enggan pindah dan mengundurkan diri harus mencari pekerjaan lain sebagai kompensasi, yang umumnya masih terkait pekerjaan lamanya. Apalagi ada pandangan negatif bahwa relokasi merupakan taktik manajemen untuk menyingkirkan personel yang tidak diinginkan. Namun, konsekuensinya, akan terjadi pengurangan kualitas standar layanan dan penumpukan pekerjaan di kemudian hari.
For the Greater Good
Bagaimanapun, harus diakui pula apabila kepindahan ibu kota memang akan membawa banyak faedah bagi kepentingan bangsa dan negara ini. Selain sebagai simbol identitas dan representasi kemajuan bangsa, relokasi ibu kota juga dinilai dapat memacu pemerataan pembangunan, antara lain dengan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa. Kepindahan ini dapat dimanfaatkan untuk mengekspos berbagai potensi yang belum tergali di Kalimantan dan bahkan pulau sebelahnya, Sulawesi.
ADVERTISEMENT
Nona, PNS Kementerian Luar Negeri, merasa bahwa relokasi ibu kota adalah perlu karena kondisi Jakarta yang sudah tidak sehat saat ini. Oleh karenanya, dirinya siap jika harus mengikuti panggilan tugas untuk pindah ke Kalimantan.
Meski begitu, menurutnya, pemindahan ini perlu tetap perlu dipikirkan masak-masak, mengingat mitra kerja Kementerian Luar Negeri seperti Kedutaan Besar asing semua berlokasi di Jakarta. Gedung Sekretariat ASEAN yang baru di bilangan Blok M pun juga baru saja diresmikan. Jika memang harus pindah, maka harus buat kajian yang spesifik untuk setiap kementerian/lembaga dan jangan menyamaratakan pengaturannya, karena kebutuhannya berbeda-beda.
Dalam pandangan masyarakat Indonesia, mirip dengan kasus Finlandia di atas, profesi PNS sebenarnya dipandang sebagai sesuatu yang tidak mungkin berubah dari sisi lokasi dan merupakan karier seumur hidup. Namun demikian, pandangan ini jadi kurang relevan seiring tren pemindahan ibu kota di dunia yang berimbas pada persoalan kepegawaian.
ADVERTISEMENT
Vadim Rossman, peneliti Rusia yang mendalami isu relokasi ibu kota, menemukan bahwa dalam 100 tahun terakhir, lebih dari 30 negara telah sukses memindahkan ibu kotanya untuk berbagai alasan yang strategis, misalnya Turki, Australia, Brazil, Pakistan, Jerman, Myanmar dan Malaysia.
Sejumlah negara, termasuk Indonesia, Iran, Jepang, Mesir, dan Liberia juga sudah berkomitmen untuk merelokasi. Ada beberapa negara yang dalam prosesnya menemui kendala finansial, legal dan perubahan kebijakan dan kepemimpinan yang menyebabkan tertundanya rencana relokasi, misalnya di Korea Selatan, Argentina dan Peru.
Namun persoalan intinya di sini adalah bahwa pemindahan bukan hanya sekedar mengonstruksikan bangunan fisik, tetapi juga menjamin bahwa personel-personelnya tertarik pindah. Pengamat pemindahan ibu kota asal Turki, Johanna Yliskylä-Peuralahti, melihat bahwa turnover personel ketika pindah ibu kota akan terjadi paling banyak untuk posisi administrasi dan unsur pendukung. Menurutnya, untuk mengatasi ini, sebenarnya dapat saja merekrut tenaga kerja lokal di ibu kota baru, khususnya untuk entry-level.
ADVERTISEMENT
Cara ini bisa dipertimbangkan untuk mengatasi potensi hilangnya SDM berkualitas tersebut, namun tentunya akan perlu transisi dan penyesuaian. Ini karena tenaga lokal akan perlu adaptasi dengan sistem kerja pusat yang terbiasa cepat, dinamis, dan kompleks.
Harapan ke Depan
Memang profesi PNS banyak terkait erat dengan persoalan integritas terhadap bangsa dan negara, dan tradisi berpindah-pindah kerja sudah tidak asing bagi mereka. Akan tetapi, PNS pastinya sangat membutuhkan support system yang fungsional untuk bisa fokus bertahan pada semangat itu. Yang perlu diingat adalah bahwa bagaimana pun setiap manusia akan kembali pada hitungan cost-benefit untuk bisa survive.
Aspek kesejahteraan, stabilitas hidup, fasilitas perumahan dan kesehatan, manajemen kepegawaian dan kebijakan yang akomodatif bagi keluarga hanyalah sekelumit dari shopping list yang perlu diperhatikan ketika ibu kota benar-benar dipindahkan nanti. Belum lagi, perubahan-perubahan mendasar dari aspek pelaksanaan pekerjaan PNS yang pasti akan terjadi di lapangan.
ADVERTISEMENT
Harapannya, ketika seseorang mendahulukan kepentingan bangsa dan negara, seyogyanya bangsa dan negara pun dapat memperhatikan berbagai kebutuhan mendasar tersebut. Harapannya, empati akan menjadi prinsip kunci yang mendasari pengambilan kebijakan pemindahan ibu kota di masa mendatang.