Street Art: Media Kebebasan Artistik atau Sebuah Vandalisme?

Imajikara
Imajikara merupakan komunitas yang bergerak di bidang edukasi mengenai sektor kreatif dengan misi meningkatkan kesadaran dan kemampuan masyarakat di bidang kreatif untuk mendukung sektor ekonomi kreatif di Indonesia.
Konten dari Pengguna
11 Maret 2024 16:03 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imajikara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah mural yang mengkritik Presiden Joko Widodo pada tahun 2021 dengan tema “Jokowi 404 not found” menjadi viral dikarenakan adanya tindak lanjut dari pihak yang berwenang bagi seniman mural yang melukis mural tersebut, walaupun pada akhirnya Presiden Joko Widodo tidak ingin adanya tindak lanjut secara pidana bagi seniman tersebut. Peristiwa ini menjadi “wake up call” bagi para seniman street art untuk berhati-hati dalam berekspresi di fasilitas publik. Kebebasan artistik dalam bentuk street art pun kerap dipertanyakan karena selama ini banyak seniman street art yang berkarya melalui fasilitas publik yang menurut segelintir masyarakat bersifat merusak dan merugikan bagi negara. Jadi sebenarnya, apakah street art merupakan sebuah bentuk kebebasan artistik, atau sebuah bentuk vandalisme?
ADVERTISEMENT
Perkembangan Street Art
Street art mulai digunakan sebagai media untuk menyampaikan aspirasi dan menyuarakan kampanye sosial. Aktivisme sosial Indonesia melalui street art dimulai sejak jatuhnya Orde Baru (Orde Baru), yang menandai munculnya kebebasan berekspresi melalui komunitas seni seperti Apotik Komik dan Taring Padi yang menyelenggarakan pameran seni untuk umum pada tahun 1999 di Malioboro, Yogyakarta, dan Komunitas Pojok dari Bali pada tahun 2000 yang bertujuan untuk mengadvokasi berbagai kritik sosial melalui seni.
Perkembangan street art modern lebih menekankan pada kampanye dan gerakan sosial, termasuk di Indonesia dan Asia Tenggara. Misalnya, mural viral yang berisi potret Jokowi dengan kritik “404 not found” dihapus setelah penindakan lebih lanjut oleh otoritas publik meski tanpa ada tuntutan pidana terhadap artis tersebut. Tak hanya di Indonesia, mural di jembatan layang Myaynigone, Myanmar merupakan bentuk protes masyarakat terhadap Junta Myanmar yang menguasai situasi politik di Myanmar. Mural ini dilukis pada tahun 2016 yang diprakarsai oleh Pemerintah Perancis dan Pemerintah Daerah Yangon, namun dihapus pada tahun 2022. Hal ini dikritik oleh Pemerintah Perancis, menyatakan bahwa Junta Myanmar membatasi kebebasan berkesenian bagi seniman Myanmar.
ADVERTISEMENT
Terlepas berbagai kasus penghapusan mural yang dilakukan oleh pemerintah, tidak sedikit pemerintah di tingkat daerah yang mendukung pengembangan street art. Misalnya, Pemerintah Kota Medan yang sukses menggelar Medan Street Art Festival Mural & Graffiti untuk memberikan wadah dan kesempatan bagi para seniman jalanan lokal yang sering dipandang sebelah mata. Pemerintah Kota Yogyakarta juga diketahui mendukung street art dengan menyediakan Kampung Suryatmajan dan Kota Tamansari sebagai ruang terbuka bagi berbagai seniman street art untuk menyalurkan kreativitasnya, sehingga aktivitas pariwisata di desa-desa tersebut dapat meningkat.
Dokumentasi Medan Street Art Festival Mural & Graffiti 2022 (Sumber: portal.pemkomedan.go.id)
Dilema Street Art dalam Perspektif Hukum
Berbagai gerakan melalui street art yang telah dijelaskan membuktikan bahwa street art berkontribusi tidak hanya bagi aktivisme sosial, namun juga meningkatkan kreativitas dan kesejahteraan masyarakat lokal. Namun, terdapat berbagai dilema dalam kebebasan artistik bagi seniman street art. Tindakan seniman yang memanfaatkan objek-objek fasilitas umum dan objek di jalanan sebagai medium dianggap sebagai aksi vandalisme. Hal ini pada akhirnya mendorong berbagai seniman jalanan untuk menjadi anonim atau menggunakan nama samaran, karena aksinya yang dianggap ilegal dari segi hukum.
ADVERTISEMENT
Street art yang dianggap sebagai vandalisme adalah street art yang “mengganggu” ketertiban umum. Contohnya, Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 8/2007 tentang Ketertiban Umum menjelaskan bahwa setiap orang atau badan dilarang mencoret-coret, menulis, melukis, menempel iklan di dinding atau di tembok, jembatan lintas, jembatan penyeberangan orang, halte, tiang listrik, pohon, kendaraan umum dan sarana umum lainnya. Sanksi dari tindakan tersebut yaitu ancaman kurungan paling lama 60 hari atau denda paling banyak Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
Dalam konteks hukum pidana Indonesia, street art yang “memberikan kritik terhadap pemerintah” berpotensi dikenakan sanksi dalam KUHP Pasal 310 ayat (2) yaitu penghinaan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang yang dipertunjukkan di muka umum, jika korban penghinaan mengajukan pengaduan. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009, bentuk pesan penghinaan apapun terhadap simbol negara (seperti bendera merah putih, bahasa Indonesia, lambang negara, serta lagu kebangsaan) dapat dikenai sanksi.
ADVERTISEMENT
Dari ketentuan-ketentuan tersebut, dapat dilihat bagaimana diterapkannya pembatasan-pembatasan street art secara hukum di Indonesia. Lalu, apakah ketentuan-ketentuan ini membatasi kebebasan artisitik seniman street art? Eryanto Nugroho dalam artikelnya berpendapat bahwa kita dapat melihat pandangan John Locke dalam bukunya Second Treatise of Government (1960) mengenai hubungan antara hukum dan kebebasan: hukum bukanlah untuk menghapuskan atau menahan, tetapi untuk memelihara dan memperbesar kebebasan. Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) Pasal 27 ayat (1), dijelaskan bahwa setiap orang berhak ikut serta secara bebas dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dan menikmati seni sebagai bagian dari kebebasan berkesenian.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menentukan tingkat perlindungan kebebasan berkesenian yang tepat? Menurut UNESCO, kebebasan berkesenian adalah kebebasan berimajinasi, berkarya, dan mendistribusikan ekspresi kebudayaan yang bebas dari sensor pemerintah, campur tangan politik, atau tekanan aktor non-negara. Walaupun definisi tersebut merupakan tingkat kebebasan berkesenian yang ideal, pada kenyataannya tingkat kebebasan berkesenian mengikuti hukum yang berlaku di setiap negara. Masing-masing negara mempunyai ketentuan tersendiri mengenai tingkat kebebasan berkesenian, sehingga tidak ada “kebebasan berkesenian yang mutlak” karena hak tersebut perlu diimbangi dengan hak-hak lainnya.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun juga, street art merupakan media yang mampu berkontribusi tidak hanya bagi kegiatan aktivisme sosial, namun juga berkontribusi dalam aspek sumber daya manusia melalui pengasahan kreativitas dan seni sebagai bagian dari kehidupan budaya itu sendiri. Sebagaimana disebutkan oleh John Locke, hukum harus menjadi cara untuk memperluas kebebasan, bukan untuk mengekangnya. Satu hal yang pasti, kebebasan berkesenian adalah hak setiap seniman dan tidak ada pihak yang boleh mengambil hak tersebut dari seniman itu sendiri. Para pembuat kebijakan di setiap yurisdiksi harus mempertimbangkan hal ini untuk memastikan hak-hak tersebut dilindungi bagi para seniman street art sekaligus mendukung dan membimbing mereka untuk menghasilkan karya seni yang indah dan bermakna untuk menjaga perkembangan sektor kreatif di Indonesia.
Penulis: Nicholas Glenn (Corporate Lawyer/Co-Founder Komunitas Imajikara) dan Fadhilatul Ulfah (Analis Kebijakan Ekonomi Kreatif/Tim Riset Komunitas Imajikara)