Konten dari Pengguna

Kebijakan Politik Luar Negeri Sutan Syahrir dalam Mempertahankan Kemerdekaan

Imam Khairul Muslim Hawari
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia
26 Desember 2022 15:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imam Khairul Muslim Hawari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto wilayah kedaulatan Indonesia. Sumber: https://www.shutterstock.com/image-photo/flag-indonesia-world-map-1817863334
zoom-in-whitePerbesar
Foto wilayah kedaulatan Indonesia. Sumber: https://www.shutterstock.com/image-photo/flag-indonesia-world-map-1817863334
ADVERTISEMENT
Adanya kekosongan kekuasaan di Indonesia setelah kekalahan Jepang terhadap sekutu dan belum diserahkan kembali kekuasaan wilayah Indonesia ke Belanda oleh pihak sekutu, hal itu membuat para pejuang bangsa memanfaatkan kesempatan tersebut. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta yang didukung oleh para pejuang bangsa memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kedua proklamator tersebut ditetapkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (Wuryandari, 2018).
ADVERTISEMENT
Pada masa awal kemerdekaan, situasi dan kondisi Indonesia saat itu serba keterbatasan. Namun, hal tersebut tidak membuat para pemimpin dan pejuang bangsa ini putus asa dan patah semangat, justru membuatnya semakin berupaya untuk memperjuangkan kedaulatan bangsa ini terutama agar diakui oleh dunia internasional. Oleh karena itu pasca kemerdekaan, founding father bangsa ini mulai memikirkan dan merumuskan terkait politik luar negeri yang ideal bagi kepentingan nasional.
Selain itu, Indonesia juga memiliki sejumlah problematika, yaitu terkait bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang telah diraihnya dan bagaimana cara untuk dapat melawan atas kembalinya kekuatan-kekuatan asing, terutama Belanda yang berambisi untuk dapat kembali berkuasa dan menjajah bangsa ini (Wuryandari, 2018). Kepentingan nasional yang paling utama pada saat itu adalah untuk memperoleh pengakuan kedaulatan oleh dunia internasional. Hal ini sangat penting dilakukan karena pada saat itu negara Indonesia belum diakui eksistensinya dalam hukum internasional. Sebagaimana yang terdapat pada konvensi hukum internasional, bahwa syarat terbentuknya suatu negara adalah adanya pengakuan kedaulatan dari berbagai negara.
ADVERTISEMENT
Dalam mewujudkan kepentingan nasionalnya, Soekarno menyadari bahwa cita-cita bangsa ini perlu dicapai dengan cara diplomasi untuk mendapatkan dukungan internasional. Namun, kenyataannya perjuangan melalui jalur diplomatik tidaklah mudah, hal itu disebabkan Belanda tidak ingin berunding dan tidak mau mengakui kedaulatan Indonesia. Sebagai anggota Sekutu yang menang dalam Perang Dunia II, Belanda menganggap bahwa negaranya berhak untuk kembali menduduki bekas wilayah jajahannya di Indonesia. Apalagi ketika itu Belanda menganggap Soekarno sebagai kolabolator Jepang, hal itu membuat hubungannya dengan Indonesia semakin memburuk. Akhirnya para pemimpin bangsa melakukan strategi politik dengan menggantikan sistem pemerintahan Indonesia yang awalnya presidensial menjadi parlementer.
Pada 14 November 1945, Sutan Syahrir dilantik menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia. Dalam perjalanannya, Syahrir banyak melakukan kebijakannya dengan menggunakan jalur diplomasi, hal itu dilakukan karena kebijaksanaannya dalam melihat situasi dan kondisi Indonesia saat itu yang masih sangat lemah dibanding dengan pasukan Belanda yang lebih unggul. Kebijakan Syahrir banyak pro dan kontranya, berbagai perdebatan hadir dalam memberikan solusi terbaik dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, beberapa kelompok ada yang menginginkan Indonesia agar melalui jalur diplomatik, namun hal ini ditentang oleh kelompok lain yang menginginkan agar Indonesia menggunakan kekuatan militer, salah sah satunya adalah Tan Malaka dengan kelompoknya yang menginginkan pemerintah agar bersifat agresif dalam politiknya dengan menggunakan kekuatan senjata dalam melawan ancaman dari Belanda.
ADVERTISEMENT
Walapun terdapat perdebatan terkait solusi terbaik terkait kebijakan politik luar negeri bangsa ini, hal itu menyurutkan pemerintah Indonesia dalam melakukan politiknya dengan jalur diplomasi, Syahrir menganggap kebijakannya merupakan cara terbaik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia (Sabiring, 2014). Hal itu tercapai dengan adanya Perjanjian Linggarjati dan keterlibatan Indonesia dalam Asian Relation Conference, yang mana hal itu membuat Indonesia mendapatkan dukungan dari dunia internasional untuk mencapai kemerdekaan yang sebenarnya.
Syahrir sebagai diplomat Indonesia sangat pandai dalam berdiplomasi, hal itu bisa dilihat daripada kebijakan Sutan Syahrir dalam Perjanjian Linggarjati yang disetujui oleh Belanda pada 15 November 1946 dan ditandatangani pada 25 Maret 1947. Akhirnya Inggris, Amerika Serikat, China, dan Australia pun memberikan pengakuan de facto Republik Indonesia, yang mana pengakuan diplomatik ini juga meluas ke negara-negara Timur Tengah berkat misi diplomasi yang dikerahkan oleh Agus Salim sebagai Wakil Perdana Menteri saat itu (Wuryandari, 2018).
ADVERTISEMENT
Hasil Perjanjian Linggarjati membuat membuat perundingan-perundingan Indonesia kedepannya lebih mudah, walaupun sebagian besar isi perjanjian tersebut merugikan Indonesia karena kedaulatan Indonesia belum diakui sepenuhnya, namun dengan kecerdasannya, Sutan Syahrir mengusulkan pasal terkait perundingan tingkat PBB, ini merupakan langkah apabila sewaktu-waktu terjadi pertingkaian antara Belanda dan Indonesia agar bisa diselesaikan dalam perundingan di sidang internasional. Belanda akhirnya menyetujui perjanjian tersebut karena merasa telah diuntungkan daripada perjanjian tersebut (Kompasiana, 2021). Dengan adanya perjanjian ini diharapkan mendapatkan simpati dan diketahui oleh dunia internasional dengan memberitahukan kondisi Indonesia yang sedang ditindas.
Dalam rangka untuk memperjuangan eksistensi kedaulatan Indonesia di kancah internasional, tepat setelah dua hari Perjanjian Linggarjati, Sutan Syahrir diundang untuk menghadiri “Asian Relation Conference” di New Delhi oleh PM India Jawaharlal Nehru, tujuan dari konferensi ini adalah untuk saling kerja sama antar negara Asia dalam mencapai kepentingan bersama dalam kemerdekaan, ekonomi maupun keamanan. Undangan tersebut dilatar belakangi sebagai bentuk apresiasi India atas bantuan dari Indonesia yang telah mengirim 500.000 ton beras pada 20 Agustus 1946, yang mana ketika itu India sedang mengalami krisis kelaparan akibat defisit pangan di berbagai dunia (Kompas, 2022). Pada waktu pemberangkatannya Sutan Syahrir diantar oleh pembesar Belanda, dan perwakilan dari Inggris, Amerika, dan India. Hal tersebut menjadi bukti bahwa eksistensi Indonesia atas Perjanjian Linggarjati telah diakui secara internasional (Wuryandari, 2018). Dampak dari bantuan Indonesia terhadap India adalah kemerdekaan India dari jajahan Inggris pada tahun 1947, dan hal itu membuat India sangat aktif dalam mendukung kedaulatan Indonesia di forum-forum PBB. Peran Indonesia terhadap krisis di India dan keterlibatannya dalam Asian Relation Conference membuat citra Indonesia semakin dikenal baik oleh dunia internasional, sehingga mulai didukung dan diakui kedaulatan Indonesia oleh dunia Internasional.
ADVERTISEMENT